[caption id="attachment_182696" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption]
Senin malam, saya saksikan tayangan di acara “Suara Anda”, Metro TV – karena di TV One berita semacam ini pasti tak bakal tayang – sekelompok warga korban luapan lumpur panas Lapindo bentrok dengan polisi. Jika dibandingkan dengan demo menolak rencana kenaikan harga BBM sekitar akhir Maret lalu, demonstrasi yang dilakukan warga korban lumpur itu tak ada apa-apanya. Mereka hanyalah sekelompok warga yang putus asa, bersama-sama bergerak, ada yang naik truk, menuju ke jalan raya Porong. Tapi polisi memperlakukan mereka dengan kasar, digebukin dan dikejar-kejar seolah mereka akan melakukan demo anarkhis. Padahal mereka hanya ingin menuntut hak-nya saja, yang seharusnya sudah sejak lama dibayarkan.
[caption id="attachment_175404" align="aligncenter" width="434" caption="sumber : www.tempo.co"]
Tadi pagi, saya baca judul tulisan di Kompasiana : “Apa Kabar Lapindo?” Rupanya bukan kabar baik. Kemarin, saya baca running text di Metro TV : “warga korban lumpur Lapindo menduduki tanggul di titik 25 (mungkin maksudnya km 25)”. Masih running text yang sama : “PT. Minarak Lapindo Jaya menyerah tak mampu lunasi ganti rugi akhir Juni”. Ini sungguh mengejutkan bagi saya, yang kebetulan tahu tentang kronologi peristiwa meluapnya lumpur panas hingga merendam daerah hunian warga dan pabrik-pabrik di sekitarnya, sekitar 6 tahun lalu.
PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) adalah anak perusahaan dari Lapindo Brantas Incorporation (LBI) yang dibentuk beberapa bulan setelah semburan lumpur panas menelan korban dengan menenggelamkan ribuan rumah di wilayah 4 Desa, yaitu Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo. PT. MLJ ditunjuk sebagai “juru bayar” yang mengurus ganti rugi tanah dan bangunan milik warga yang menjadi korban, yang dalam perspektif Lapindo adalah jual-beli asset.
Padahal, sebetulnya transaksi itu tak layak disebut jual beli, sebab warga tak pernah berniat menjual assetnya kepada Lapindo dan harga yang ditetapkan pun bukan atas persetujuan kedua belah pihak. Para korban harus menerima begitu saja nilai “jual” tanah dan bangunan milik mereka yang sudah terlanjur terendam lumpur. Belum lagi ditetapkannya sejumlah persyaratan administratif dan legalitas formal yang diminta oleh MLJ, yang pada prakteknya menyulitkan sebagian besar warga yang sudah terlanjur menjadi korban.
Skema pembayaran pun di tentukan sepenuhnya oleh MLJ, yaitu 20% dibayar tunai setelah dokumen diverifikasi, sedangkan sisanya 80% akan dibayar 2 (dua) tahun kemudian. Dalam kenyataannya, ganti rugi yang 80% inilah yang paling rentan dimanipulasi. Karena tanpa persetujuan dan tanpa ada payung Keppres, Perpres atau apapun, tiba-tiba saja MLJ menetapkan sisa ganti rugi yang 80% itu diangsur Rp. 15 juta setiap bulan, tak peduli berapapun total nilai ganti rugi yang harus dibayarkan. Bayangkan seorang pemilik tanah sawah yang luas yang dimiliki dari hasil warisan, dimana nilai sawah dihargai Rp. 1 milyar, baru dibayar Rp. 200 juta, sisanya yang Rp. 800 juta dicicil Rp. 15 juta, maka butuh waktu 54 bulan baru lunas dan itu berarti hampir 4,5 tahun kemudian. Itupun dengan catatan angsuran lancar dibayar setiap bulan tanpa menunggak. Faktanya?!
[caption id="attachment_175405" align="aligncenter" width="300" caption="sumber : grafisosial.wordpress.com"]
Menurut pengakuan Andi Darussalam Tabussala, MLJ memiliki kewajiban membayar ganti rugi senilai Rp 3,9 triliun. Sampai saat ini Lapindo masih baru membayar sebesar Rp 2,8 triliun dan sisanya masih kurang Rp 1,1 triliun. Perlu diketahui bahwa kewajiban membayar ganti rugi yang dibebankan kepada Lapindo hanyalah sebatas peta area terdampak sampai Desember 2006 saja. Sedang sisanya kemudian di tanggung oleh negara melalui APBN, pasca ditetapkannya semburan lumpur panas di Sidoarjo itu sebagai “bencana nasional” oleh Komisi VII DPR periode 2004 – 2009.
Dengan kata lain, kewajiban sebesar Rp 3,9 Triliun itu seharusnya paling lambat sudah dilunasi pada tahun 2009, jika mengacu pada perjanjian bahwa ganti rugi yang 80% harus sudah dilunasi setelah 2 (dua) tahun suatu daerah terkena dampak luapan lumpur. Lalu, kalau sekarang, hampir 6 tahun pasca semburan lumpur keluar dari jarak 100 meter dari lokasi pengeboran minyak si sumur Banjar Panji – 1 milik LBI, barulah MLJ menyatakan tak sanggup memenuhi kewajiban ganti rugi, bagaimana nasib para warga yang sudah menjadi korban selama 6 tahun?
Perlu diketahui, MLJ menyatakan “MENYERAH” setelah pengajuan kreditnya sebesar lebih dari Rp 900 milyar kepada Bank Jatim resmi ditolak pada 11 April 2012. Semula, Lapindo meminta Gubernur Jatim agar mendesak Bank Jatim untuk mengabulkan kredit yang diajukan MLJ. Ini tercermin dari pernyataan Gubernur Jatim, Soekarwo : “…meskipun mereka selalu bilang pemerintah harus menekan Bank Jatim, ya tetap ndak bisa.”. Karena menurut Soekarwo agunan yang disampaikan MLJ nilainya hanya sebesar Rp. 200 milyar sedangkan kredit yang diajukan nilainya lebih dari Rp. 900 milyar. Artinya, semula ada upaya Lapindo untuk meminta Pemerintah Propinsi mengintervensi dan menekanBank Jatim agar meloloskan kreditnya.
Kalau karena faktor ditolaknya kredit oleh Bank Jatim ini kemudian MLJ menyatakan menyerah, maka di mana letak rasa tanggung jawab MLJ?! Bukankah kewajiban membayar ganti rugi itu sama sekali tidak memerlukan persyaratan jika Bank Pemerintah memberikan pinjaman kepada MLJ? Apa saja yang sudah dilakukan MLJ sampai kini, 6 tahun kemudian belum juga merampungkan kewajibannya? Bahkan kemudian mereka menjadikan penolakan atas kredit itu sebagai kambing hitam untuk mangkir dari tenggat waktu pada Juni 2012 nanti.
----------------------------------------------------------
[caption id="attachment_175406" align="aligncenter" width="300" caption="sumber : dbcmalang.blogspot.com"]
KILAS BALIK TERJADINYA SEMBURAN LUMPUR PANAS
Dalam buku “Banjir Lumpur Banjir Janji – Gugatan Masyarakat Dalam Kasus Lapindo” terbitan Kompas, yang berisi kumpulan tulisan, berita, reportase dan artikel yang ditulis oleh wartawan Kompas maupun para pakar, para saksi peristiwa dan operator pengeboran, yang semuanya pernah di muat di Kompas dalam kurun waktu 2006 – 2007, tampak jelas bahwa semburan lumpur panas itu sama sekali tak ada kaitannya dengan gempa yang terjadi di Jogja pada 26 Mei 2006. Berikut kutipan dari buku tersebut halaman 18 – 19 :
Berdasarkan kronologi kejadian pada tanggal 27 Mei 2006, pengeboran dilakukan dari kedalaman 9.277 kaki ke 9.283 kaki. Pukul 07.00 hingga 13.00 pengeboran dilanjutkan hingga ke kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman ini sirkulasi lumpur berat masuk ke dalam lapisan tanah. Peristiwa ini disebut loss. Lumpur berat ini digunakan sebagai semacam pelumas untuk melindungi mata bor sekaligus untuk menjaga tekanan hidrostatis dalam sumur agar stabil.
Peristiwa loss yang lazim dalam pengeboran pada umumnya diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas untuk memasukkan casing sebagai pengamanan sumur. Sebagai catatan, casing terakhir dipasang di kedalaman 3.580 kaki. Saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki pada 28 Mei 2006 pukul 08.00 – 12.00, terjadilah kick. Kekuatannya 350 psi. Kemudian disuntikkan lumpur berat ke dalam sumur.
Ketika hendak ditarik lebih ke atas, bor macet atau stuck di 3.580 kaki. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah, maupun merotasikannya gagal. Bahkan pipa tetap bergeming saat dilakukan penarikan sampai dengan kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai pukul 12.00 hingga 20.00. Selanjutnya untuk mengamankan sumur, disuntikkan semen di area macetnya bor. Akibat macet, akhirnya diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian pipa dengan cara diledakkan. Pada 29 Mei 2006 pukul 05.00, terjadilah semburan gas berikut lumpur k epermukaan.
Ahli Geologi Perminyakan, Andang Bachtiar menyatakan persoalan lumpur panas pertama-tama muncul karena adanya ketidakstabilan atau peningkatan tekanan dalam formasi. Menurut Andang, persoalan utama dipicu adanya kekeliruan dalam pemasangan selubung (casing implementation). “Menurut perkiraan saya, casing tidak kuat. Maka ketika terjadi kick atau pada saat memompakan killing mud, formasi di sekitar casing pecah”, kata mantan Ketua Ikatan Asosiasi Geolog Indonesia (IAGI). (kutipan dari halaman 20)
Menyimak dari fakta dan keterangan ahli di atas, pantaskah Lapindo lari dari tanggung jawab? Wajarkah jika kemudian negara (Pemerintah) menyerah pada sebuah korporasi dan bersedia menanggung kewajiban ganti rugi akibat kesalahan dan kelalaian pengeboran yang dilakukan sebuah korporasi? Mestinya, jika Partai Golkar benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, ketimbang menggagas interpelasi untuk Dahlan Iskan – tanpa bermaksud membela Dahlan Iskan – bukankah lebih besar dampak dan manfaatnya melakukan interpelasi pada Presiden karena dengan mudah terus menerus menaikkan alokasi dana APBN untuk pembayaran ganti rugi pada korban lumpur Lapindo, sementara pihak Lapindo sendiri dengan mudah dan seenaknya menyatakan “menyerah” begitu saja.
Interpelasi untuk Dahlan Iskan didasari dugaan tindakannya “berpotensi” menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Direksi BUMN. Sedangkan penyalahgunaan APBN – yang nota bene uang yang diperoleh dari pajak rakyat dan seharusnya menjadi hak rakyat – telah terbukti selama bertahun-tahun selama masa Pemerintahan SBY dipakai untuk mem-back up kewajiban Lapindo. Ini bukan lagi sekedar dugaan dan bukan pula “berpotensi”, tapi sudah terjadi.
Sementara, rakyat Sidoarjo yang sudah 6 tahun terusir dari kampung halamannya, mendadak jadi tuna wisma, harus tinggal di barak penampungan di Pasar Baru Porong yang belum sempat diresmikan, berdesakan dalam kios ukuran 4x5 meter untuk ditinggali 3 (tiga) keluarga. Belum lagi dampak sosialnya dan gesekan horisontal antar warga karena kondisi psikis yang tak lagi sehat karena sekian lama hidup di pengungsian dengan fasilitas jauh dari memadai.
Pada awal 2007 saja, Disnaker Sidoarjo mencatat setidaknya 15 pabrik yang mempekerjakan sekitar 1.736 karyawan terpaksa menghentikan produksinya karena pabriknya terendam lumpur. Pengusaha bangkrut dan pekerja mendadak jadi pengangguran tanpa pesangon. Pekerja sektor informal dan wirausahawan mandiri pun banyak yang terpaksa menghentikan usahanya. Kondisi perekonomian warga yang semula relatif cukup, mendadak lumpuh. Tanpa penghasilan, tanpa pekerjaan dan tanpa rumah tingal. Kini, tanpa kepastian ganti rugi! Lengkaplah sudah nestapa para korban lumpur panas Lapindo. Jika Minarak Lapindo menyerah, seharusnya Pemerintah jangan menyerah menuntut Lapindo agar bertanggung jawab. Jika bukan negara (Pemerintah) yang melindungi rakyatnya, siapa lagi?!
Referensi :
2. tempo.co
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H