[caption id="attachment_172512" align="aligncenter" width="565" caption="Suasana di pasar tradisional, pembeli selalu kalah (www.tribunnews.com)"][/caption]
Masih ingat siaran RRI jaman tahun '80an - '90an? Siaran yang wajib di-relay radio-radio swasta itu belakangan, setelah tahun '90an juga disiarkan TVRI dan wajib pula di-relay TV swasta. Biasanya - kalo ingatan saya tak salah - dilakukan seusai rapat Kabinet bidang Ekuin, setiap hari Rabu minggu pertama setiap bulannya. Siaran yang saya maksud adalah pengumuman harga-harga sembako dan sayur mayur.
Diawali dengan pembukaan oleh Pak Moerdiono sambil tergagap-gagap dengan "eeehm.., eeehm..."-nya lalu dilanjutkan oleh Harmoko, Menteri Penerangan, mengumumkan "Harga di Pasar Induk Kramatjati..." Dst. Diawali kalimat paling "sakti" yang diucapkan dengan mantap dan penuh percaya diri : "Menurut petunjuk Bapak Presiden...", maka meluncurlah daftar harga kebutuhan dapur dan pelengkapnya.
"Beras kualitas sedang per kg.., beras kualitas baik per kg.., jagung pipilan per kg.., minyak goreng curah per liter.., gula pasir per kg.., terigu eceran per kg.., wortel per kg.., cabe merah keriting per kg.., tomat sayur.., tomat buah.., kol bulat.., kol panjang.., kentang.., buncis.., bawang merah.., bawang putih.., bawang daun.., telur ayam kampung.., telur ayam negeri.., daging ayam.., daging sapi.., dll, dst.
Bersamaan dengan pengumuman daftar harga itu, diumumkan juga prosentase inflasi/deflasi bulan kemarin. Jadi, jelas dan transparan apa penyebab inflasi dan deflasi bulanan. Apakah karena dipicu naiknya harga cabai atau bawang karena curah hujan terlalu tinggi, atau karena panenan gagal akibat kemarau panjang sehingga harga beras melonjak. Di Indonesia yang hampir semua daerah masakannya berbumbu dan pedas, bawang merah dan putih serta cabai cukup pegang peranan penting dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan sehari-hari. Karena itu, tak salah kalau Pemerintah merasa perlu mengumumkan patokan harga komoditas dapur itu.
[caption id="attachment_172513" align="aligncenter" width="360" caption="Cabe, meski kecil tapi penting. Kalau harganya tak terkendali, pemilik warung Padang pasti bingung (www.republika.co.id)"]
Sekarang, Pemerintah tak merasa perlu mengaturnya. Urusan pasar tradisional dibebaskan seperti super market, alias diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas. Supply dan demand dibiarkan bertanding sendiri tanpa wasit. Meski demand sedang naik, para supplier boleh saja menimbun stock untuk mempermainkan harga. Mungkin ini praktek yang dinamakan NEOLIB itu, pasar bebas yang jadi dewa penentu harga.
Sejak pertengahan Maret 2012, ketika issu kenaikan harga BBM makin menguat, sejumlah penjual di pasar induk dan pasar tradisional yang melakukan "aksi jual untung". Mereka berspekulasi dan mengambil ancang-ancang menaikkan harga dagangannya, sebelum harga BBM benar-benar ditetapkan naik. Akhirnya, meski harga BBM urung naik, harga sejumlah kebutuhan pokok dan sayur mayur di sejumlah pasar tradisional di berbagai kota di hampir semua wilayah Indonesia, tetap tak juga turun. Alasan para pedagang : barang jualannya dikulak dengan harga tinggi, jadi mereka juga tak mau rugi menjualnya dengan harga turun.
Tadi pagi, saya lihat tayangan TV tentang liputan harga-harga di beberapa pasar dari kota dan propinsi yang berbdea-beda. Harga gula pasir curah dari semula Rp. 9.000,-/kg naik jadi di atas Rp. 10.000,-/kg, didaerah lain ada yang di kisaran Rp. 11.000,-/kg bahkan Rp. 12.000,-/kg. Disparitas harga sangat lebar. Telur ayam yang semula Rp. 800,-/butir menjadi Rp. 1.200,-/butir alias naik 50%, suatu lonjakan harga yang luar biasa! Begitu pula dengan harga cabe, bawang, tomat. Tak terbayang betapa pusingnya ibu-ibu yang berbelanja untuk makan keluarganya. Uang yang biasa dibawanya kini mungkin hanya cukup untuk 2x makan, bukan 3x seperti dulu.
[caption id="attachment_172514" align="aligncenter" width="360" caption="Bumbu dapur, bagian terpenting dari masakan tradisional Indonesia (www.republika.co.id)"]
Tukang sayur langganan kami yang biasa berjualan di komplek, juga mengeluhkan mahalnya harga-harga yang ditetapkan pedagang pasar langganannya. Bang Amin – tukang sayur langganan kami – sudah komplen ke pedagang pasar, tapi ia dapat jawaban : barang yang dijual masih dibeli dengan harga minggu kemarin. Sampai kapan ketidakpastian harga ini akan terus membebani masyarakat? Selama masih diserahkan sepenuhnya pada pasar bebas, pemenangnya pastilah tengkulak dan pedagang besar. Dan yang paling menderita kekalahan telak adalah konsumen eceran : ibu rumah tangga, pemilik warung nasi, dan pedagang kecil lainnya.
Saya pernah mampir di rest area jalan toll di Malaysia, di sana saya temui sejumlah warung makan yang sebagian menu yang ditawarkan sama. Untuk menu yang sama harganya pun sama persis. Ternyata, di sana diberlakukan aturan patokan harga untuk setiap menu yang umum di jual. Misalnya kalau diibaratkan warteg di sini, nasi pecel harganya dipatok Rp. 5.000,- ; nasi uduk taripnya Rp. 6.000,-; nasi lauk rendang dibandrol Rp. 10.000,-; dst. Jadi penjual hanya perlu bersaing soal rasa, penampilan penyajian dan kebersihan out let agar pembeli sudi mampir ke warungnya.
Kenapa pihak berwenang setempat bisa mengatur harga makanan olahan begitu? Teman Malaysia saya menjelaskan, di sana Pemerintahnya memberlakukan regulasi bahan-bahan pangan pokok sehingga harganya seragam. Nah, kalau harga bahan bakunya sudah diseragamkan, maka mengatur harga makanan olahan bukanlah suatu hal yang mustahil. Bandingkan dengan kondisi kita saat ini, harga bahan pokok dan sayuran serta bumbu (bawang, cabe, tomat, pala, merica) antara satu pasar dengan pasar lain di seantero Jakarta saja sudah terpaut jauh. Lalu bagaimana penjual warteg bisa mengatur harga makanannya agar tak fluktuatif?
[caption id="attachment_172515" align="aligncenter" width="400" caption="Sayuran, "]
Setahu saya, di sejumlah negara Pemerintahnya juga mengatur dan mengintervensi harga bahan pokok yang jadi kebutuhan rakyat banyak. Di Jepang misalnya, harga roti dengan ukuran standar di berbagai kombini (mini market) harganya juga sama 100 Yen plus pajak 5%, harga jualnya 105 Yen, meski beda merk dan aneka rasa (isi sayuran, kismis, keju, selai kacang, daging ham). Lalu, di negara kita yang daya beli masyarakatnya masih tergolong rendah dan penghasilannya pas-pasan, kenapa Pemerintahnya selalu menyerahkan sepenuhnya pada harga pasar?
Katanya kita punya Wapres seorang ekonom handal, mestinya beliau bisa merumuskan strategi bagaimana mengendalikan harga pasar agar tidak melambung tanpa batas. Apalagi sekarang, ketika Pemerintah masih menunda kenaikan harga BBM, seharusnya Pemerintah peduli untuk menstabilkan harga dan mengembalikannya ke harga asal, agar jika nanti 6 bulan lagi BBM benar-benar dinaikkan, beban hidup rakyat tak makin berat. Apalagi bagi rakyat miskin yang urung mendapat BLSM karena pengurangan subsidi BBM tak jadi dilakukan. Saya tak tahu, apa peran Pak Boediono dalam mengurus perekonomian negara ini? Atau justru karena beliau – seperti diissukan sejak awal – seorang penganut paham “neolib” sehingga beliau lebih percaya pada kekuatan pasar bebas? Kalau begitu, kasihan rakyat. Kalau Pemerintahnya saja sudah tak peduli ikut mengendalikan harga, maka mereka harus berperang sendiri melawan tengkulak dan pemilik modal. Serahkan semuanya pada kapitalisme, maka tinggal tunggu kebangkrutannya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H