Sekitar 14 tahun lalu,saat masih bekerja di Surabaya, saya punya seorang atasan yang bijak. Beliau senang bercerita sambil menyelipkan nasehat tentang kehidupan. Nasehatnya tak terkesan menggurui, malah menarik karena selalu didahului dengan cerita atau perumpamaan yang sangat mengena dengan petuah yang bakal diberikan. Itu sebabnya banyak nasehatnya yang melekat kuat dalam ingatan saya dan sering menginspirasi saya.
Salah satu nasehatnya yang masih saya ingat sampai sekarang, kurang lebih begini : ”Orang cenderung marah dan benci pada orang lain yang mengalahkannya, meski orang itu sebenarnya tidak sedang mengalahkannya”. Nah lho, bingung kan mencerna kalimatnya? Analoginya begini : seorang bocah cilik yang baru saja mendapat adik baru, biasanya tak suka pada adiknya. Si bocah beranggapan adiknya telah merebut perhatian dan cinta kasih ibu-bapaknya. Itu sebabnya ada anak balita yang diam-diam suka mencubit adik bayinya, memukul, bahkan menggigit, jika kebetulan orang tuanya tak melihatnya. Padahal, adik bayinya tak mungkin punya niat untuk sengaja mengalahkan si kakak dan merebut perhatian orang tuanya.
Kecenderungan ini ternyata manusiawi dan tak hanya terjadi pada anak balita. Sampai usia sekolah bahkan remaja pun, kelakuan macam itu masih terbawa. Buktinya : murid baru di suatu sekolah seringkali mengalami bullying dari murid asli sekolah itu. Apa lagi kalau murid baru itu cantik, pintar, anak orang kaya, makin lengkaplah alasan untuk membencinya. Juara kelas merasa terancam prestasinya, siswi idola terancam reputasinya. Begitu juga siswa senior gemar banget mem-plonco juniornya. Itu sebabnya acara opspek susah sekali dihapuskan. Meski secara formal sekolah tak mengadakan, dengan dalih apapun kakak kelas akan berusaha mengagendakan acara yang mengakomodir keinginan terpendam mereka untuk menunjukkan senioritasnya. Di kalangan mahasiswa yang usianya sudah memasuki dewasa pun, hal seperti ini tetap terjadi.
Bagaimana di kehidupan orang dewasa? Fenomena ini juga tidak bisa dibilang tidak ada. Seorang karyawan baru seringkali harus menahan diri dijadikan bahan omongan di lingkungan kantor. Kalau dia rajin, pasti dibilang cari muka. Kalau performanya baik dan atasan suka hasil kerjanya, diissukan “ada apa-apa” dengan boss. Apalagi kalau dia seorang karyawati yang berpenampilan menarik pula! Gak ganjen pun akan digossipkan macam-macam.
Siswa baru di kelas, anak kelas 1 yang baru masuk SMP/SMA, mahasiswa baru, karyawan baru, mereka semuanya sebenarnya tidak sedang mengalahkan teman-teman sekelasnya, kakak kelasnya, seniornya, dan karyawan lama. Apa salah kalau kebetulan mereka cantik? Apa salah kalau memang siswa baru itu pintar dan cerdas? Apa salah kalau pegawai baru itu rajin karena tak ingin kehilangan pekerjaan yang mungkin sangat dibutuhkannya? Tentu tidak salah! Lalu kenapa harus di-bullying, di-plonco, digossipkan, bahkan dikucilkan? Ya, karena kehadiran mereka dianggap ancaman yang bisa mengalihkan perhatian teman sekelas, guru, dosen, boss di kantor. Mereka yang nota bene siswa lama, kakak kelas, mahasiswa senior, karyawan lama, tak mau kehilangan comfort zone dan reputasi yang sudah mereka miliki.
-----------------------------------------------------------
Hampir seminggu ini, hampir semua pemberitaan di TV dan koran – terutama koran lokal Solo dan Jawa Tengah – menyajikan berita soal mobil nasional karya siswa SMK di Solo, yang bermerk Kiat Esemka. Mungkin berita ini tak akan jadi polemik kalau hanya membahas soal mobnas saja. Masalahnya : Jokowi, Walikota Solo menjadi pemakai pertama mobil itu dan memutuskan memilih Kiat Esemka jadi mobil dinasnya. Pemberitaan pun jadi bias. Bukan cuma mobnasnya yang ngetop, Jokowi yang sudah ngetop pun jadi makin ngetop. Anehnya, langkah Jokowi diikuti kepala daerah lain yang ikut-ikutan memesan mobil itu jadi mobil dinas, termasuk Bupati Karanganyar, Rina Ariani. Bahkan tadi saya baca di media online, para selebritis pun ikutan latah memesan mobnas bikinan anak SMK Solo itu.
Apa yang dilakukan Jokowi sebenarnya masih proporsional dan tak berlebihan. Ibarat seorang Bapak yang anaknya menunjukkan hasil karyanya, maka Jokowi mengapresiasi karya anaknya dan bersedia membelinya. Langkah Jokowi yang mau menjadi pemakai mobil karya anak Esemka bisa menimbulkan rasa bangga dan memotivasi mereka untuk terus berkarya. Tidak aneh sebenarnya. Yang membuatnya jadi berita besar justru karena akhir-akhir ini nama Jokowi memang mulai me-nasional. Jangankan beli mobnas bikinan anak SMK, Jokowi makan pakai lauk kerupuk pun mungkin bisa jadi berita heboh. Padahal bisa jadi kerupuk itu memang favorit Jokowi sejak kecil dulu.
Setidaknya selama masa jabatannya 5 tahun pertama, Jokowi sudah membuktikan prestasi kerjanya dan menunjukkan sikapnya yang merakyat. Kalau apa yang dilakukan Jokowi selama ini dibuat-buat dan hanya pencitraan saja, tak mungkin akan bertahan selamanya seperti itu. Orang bersandiwara pasti akan ketahuan. Justru karena warga Solo yakin dan percaya bahwa Jokowi memang pemimpin mereka yang layak dijadikan panutan dan dicintai rakyatnya, maka mereka memilihnya kembali dengan raihan suara 90%. Jarang incumbent yang terpilih kembali dengan semutlak itu. Bahkan kalau kepala daerah lain didemo disuruh turun dari jabatan, Jokowi justru didemo tidak boleh meninggalkan Solo, ketika ada issu yang mengatakan Jokowi layak memimpin Jakarta. Ya, warga Solo tak rela melepas Jokowi, meski untuk naik jabatan.
Sebenarnya Jokowi tak butuh mobnas untuk jadi tunggangan cari popularitas. Jokowi sudah populer sebelum mobil itu dibuat. Justru mobnas itulah yang mendadak dangdut jadi populer karena Jokowi jadi “penunggang” pertamanya. Coba kalau yang pesan mobnas itu Menristek atau Menteri Perdagangan atau Menteri Perindustrian, belum tentu follower-nya banyak. Bahkan seandainya Pak Beye yang pesan mobil Esemka, mungkin yang pesan hanya para Menteri yang sengaja ikut himbauan Presidennya. Bupati Karanganyar atau kepala daerah lain yang ikut-ikutan memesan, saya yakin bukan karena takut dan sungkan pada Jokowi, sebab posisi mereka setara.
Tapi apa daya, penyakit “anak kecil” yang saya sebutkan di atas ternyata tak hilang ketika seseorang sudah jadi pejabat publik sekalipun. Yang pertama bereaksi “kakak kelas”Jokowi : Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. “Jokowi ngawur beli mobil yang belum laik jalan. Kalo nabrak kebo gimana?” omel Bibit. Walikota Semarang, Soemarmo – “rekan sekelas" Jokowi –ikutan : “Jokowi ojo narsis-lah!” katanya di depan wartawan. Soemarmo mengklaim di Jawa Tengah belum ada yang bisa menandingi kemampuan siswa-siswa SMK 7 dan SMK 1 Semarang terkait perakitan mobil siswa. "Belum sempat diluncurkan sudah keduluan," katanya. Lho, kenapa sampai keduluan? Apa karena kurang pembinaan dan kurangnya kepedulian Walikota Semarang? Padahal meski seandainya Soemarmo mendahului Jokowi meluncurkan mobnas karya siswa SMK Semarang, belum tentu gaungnya sebesar ini, sebab Soemarmo selama ini bukan pusat berita seperti Jokowi.
Rupanya tak cukup di kalangan Jawa Tengah saja kecemburuan itu terjadi. kini giliran Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengeluarkan sindiran serupa atas wacana Jokowi menggunakan mobil Esemka untuk mobil dinasnya. Kata Pakde Karwo – sebutan untuk Gubernur Jatim – ide Jokowi itu hanya bagus untuk tag line untuk pencalonan presiden atau gubernur. Nah, sebenarnya ketahuan kan siapa yang punya pikiran menunggangi mobnas untuk promosi saat maju dalam ajang Pemilu?! Padahal ketika Pakde Karwo jadi bintang iklan pasta gigi, tak ada yang usil mengkritiknya.
Begitulah manusia, seringkali watak aslinya kelihatan justru disaat emosi menguasai mereka. Dalam kondisi cemburu, marah, iri, maka tanpa sadar keluarlah ucapan atau pengakuan yang menggambarkan isi hati dan apa yang ada dalam benak mereka. Bibit Waluyo misalnya, yang dengan sinis mengatakan bagaimana kalau mobil itu nabrak kebo, sama saja dengan mengatakan dia tak mempercayai kehandalan mobil itu. Sikap Bibit yang sinis dan pesimis, menunjukkan bahwa dia memang enggan mengakomodir sesuatu yang baru hasil karya anak bangsa. Dengan sinismenya itu, siapa tahu kelak kalau ada mahasiswa Undip yang punya penemuan spektakuler jadi enggan memamerkannya pada Bibit karena takut dicemooh. Mereka akan cari figur lain yang mengayomi dan mau meng-endorse mereka. Dan figur itu kebetulan ada dalam diri Jokowi. Bukan Jokowi yang menawarkan diri untuk numpang beken.
Begitulah para pejabat kita. Persaingan untuk mendapat tempat di hati rakyat ternyata tidak membuat mereka berlomba-lomba berusaha dicintai rakyatnya. Keberpihakan mereka kepada investor dan pengusaha – sampai rela jadi bintang iklan produk pasta gigi milik pengusaha besar Jatim – sebenarnya sudah memberikan pilihan pada rakyat untuk tidak dekat dengan pemimpinnya. Lihat saja bagaimana warga Solo dan Jawa Tengah lebih membela Jokowi ketimbang Bibit ketika berselisih soal pabrik es Sari Petojo. Herannya, para pejabat itu bukannya berkaca pada cara Jokowi merebut hati rakyat, tapi malah mencerca. Kalau begitu cara mereka, bagaimana mungkin rakyat akan membelanya? Publik sekarang sudah melek informasi kok. Jadi segala tingkah polah mereka dibaca dan direkam publik. Makin kekanak-kanakan mereka bereaksi atas suatu hal, makin tak suka rakyat kepadanya. Nah, Gubernur Jateng, Gubernur Jatim dan Walikota Semarang, mumpung masih ada waktu sebelum Pilkada, segera ubah perilaku kalian. Cari cara merebut hati rakyat, tak usah rebutan mobnas untuk jadi tunggangan. Masih banyak issu kerakyatan yang bisa digarap. Tentu digarap dengan hati, bukan sekedar proyek pencitraan semata! Nah, selamat berkompetisi tanpa rasa iri, semoga semuanya sukses.
Referensi :
http://id.berita.yahoo.com/walikota-semarang-jokowi-jangan-narsis-080304104.html
http://id.berita.yahoo.com/kata-pakde-karwo-mobil-esemka-jokowi-cocok-buat-064402320.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H