[caption id="attachment_313863" align="aligncenter" width="461" caption="Setelah dikelola di bawah Pemkot Surabaya namanya menjadi Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PD TS KBS)"][/caption]
Selasa, 11 Pebruari 2014, tepat jam 9 pagi saya sudah berdiri di depan pintu masuk KBS. Semalam saya diperkenalkan dengan Mbak Sutini, karyawan KBS, oleh Ibu Aridha Prasetya, sahabat Kompasianer yang tinggal di Surabaya. Setelah memberi tahu Mbak Sutini bahwa saya sudah di KBS, saya pun menuju loket penjualan tiket masuk, membeli selembar tiket dan menunggu Mbak Sutini. Setelah bertemu, Mbak Sutini memberi tahu kalau Pak Agus Supangkat, Humas KBS, belum ada di tempat. Saya pun memutuskan untuk berkeliling KBS dulu, nanti kalau Pak Agus sudah datang, Mbak Sutini akan menghubungi saya.
Karena yang terdekat dari pintu masuk adalah kandang unggas, saya berkeliling di sekitar kandang unggas dulu. Yang pertama menarik perhatian saya kandang merak. Saya lihat 2 ekor merak biru, bulu ekornya yang biasanya panjang, lebat dan berwarna-warni, kini hanya tersisa beberapa helai saja. Kebetulan ada petugas yang sedang membersihkan kandang. Saya tanyakan kenapa bulu ekornya jadi begitu. Petugas itupun menjelaskan kalau si merak sedang mengalami siklus pergantian bulu yang bisa berlangsung sekitar 3 bulanan, untuk nantinya berganti bulu yang baru. Petugas itupun menunjukkan saya jenis merak lain, yaitu merak hijau, yang ekornya “buntung”. Artinya semua bulu sudah rontok dan kini masih menunggu proses tumbuhnya bulu baru. Kini, mengertilah saya, bahwa merak pun seperti ular, ada masanya berganti bulu. Saya bayangkan, dalam kondisi KBS yang sedang disorot habis-habisan, lalu ada yang melihat si merak buntung dan si merak rontok bulunya, bisa jadi kabar yang keluar justru negatif : merak tak terawat sehingga bulunya habis.
Setelah berkeliling beberapa kandang unggas, saya berganti ke kandang binatang buas. Melihat 2 ekor beruang yang tampak sedang bersantai. Saya sempat berpikir : kasihan juga beruang yang habitat hidupnya di tempat yang bersuhu rendah, sementara Surabaya dari ‘sononya’ suhunya tinggi. Tapi tampaknya kedua beruang itu sudah terbiasa dengan kondisi kandangnya. Untung saja pepohonan di sekitarnya cukup banyak, sehingga suasana rindang masih bisa dirasakan.
[caption id="attachment_313868" align="aligncenter" width="576" caption="Beruang (atas) dan Harimau Sumatra (bawah)"]
Dari kandang beruang saya ke kandang harimau, dimana sekelompok anak TK dan guru-guru mereka disertai pemandu sedang bergerombol di depan kandang harimau Sumatra. Ada 3 ekor harimau Sumatra yang saya lihat, satu sedang asyik tidur, yang satu duduk manis dan cuek dengan ramainya pengunjung, sedang yang satu justru sibuk hilir mudik mengitari kandangnya. Tak ada yang istimewa dari kandang-kandang hewan yang saya kunjungi. Sebagian memang sedang direnovasi atau sedang dibangun sarana buatan dari semen mirip bebatuan alam, untuk kenyamanan satwa. Kesan yang saya tangkap, kondisi KBS cukup bersih. Lokasi-lokasi public facilities pun bersih, termasuk toilet umum yang lantainya putih, bersih dan tidak meruakkan bau pesing. Diantara kali buatan tempat kandang buaya, dipisahkan dengan jembatan. Jembatan itu pun bersih sekali, sampai-sampai sepasang pasutri membiarkan putri kecil mereka merangkak di jembatan itu.
[caption id="attachment_313871" align="aligncenter" width="576" caption="Jerapah, Unta dan Menjangan, berada dalam satu kandang besar"]
Tak sengaja langkah kaki saya tiba di suatu tempat yang sepi pengunjung. Ada tulisan “Dilarang memberi makan satwa dalam perawatan”. Saya tertarik, saya pikir ini satwa yang sedang sakit dan dipindahkan dari kandangnya. Ternyata dugaan saya keliru. Satwa yang ada disitu adalah anak satwa yang masih perlu perawatan khusus, namun induknya tak mau atau tak bisa merawat, sehingga perawatan anak satwa pun dilakukan oleh para petugas KBS yang disebut “keeper”. Ada anak orang utan dan sejumlah anak ular yang saya tak berani memotret karena saya ‘gilo’ (maaf, sulit menterjemahkan kata ‘gilo’ ke dalam bahasa Indonesia. Antara jijik dan takut, kira-kira begitu). Juga ada satu kandang khusus untuk bayi-bayi komodo yang mirip tokek raksasa.
[caption id="attachment_313872" align="aligncenter" width="672" caption="Jembatan pemisah habitat buaya yang sangat bersih (atas) dan kondisi jalanan serta area santai di dalam KBS (bawah)"]
Saya menyapa seorang petugas paruh baya yang ada di dekat kandang itu, sebut saja namanya Pak YS. Ketika saya hendak bertanya soal bayi komodo, Pak YS menunjukkan rekannya “Iki lho mbak, keeper e” (ini lho mbak, keepernya). “Iyo mbak, aku iki keeper e arek-arek sing nakal iku” candanya (Iya mbak, aku ini keepernya anak-anak yang nakal itu), sambil menunjuk sekelompok bayi komodo. Keeper yang murah senyum dan sabar itupun menjelaskan kalau di kandang itu ada 17 bayi komodo yang menetas tahun lalu, sayang salah satunya mengalami cacat bawaan sejak menetas. Yaitu tulang punggungnya agak bengkok. Keeper itupun menunjukkan mana bayi komodo yang mengalami kelainan tulang punggung. Memang geraknya terlihat lebih lamban dan ia selalu berada di sudut. Saya kemudian mencoba memotret berkali-kali aksi bayi-bayi komodo itu.
[caption id="attachment_313873" align="aligncenter" width="576" caption="Anak Orang Utan, ekspresinya lucu sekali"]
Pak YS menyapa saya “Mbak, sampean teko endi?” (Mbak, anda dari mana?). Ketika saya jawab dari Jakarta, Pak YS bertanya lagi bukankah di Jakarta ada bonbin yang lebih besar dan lebih bagus, ‘ngapain saya harus ke Surabaya. Saya jelaskan bahwa saya ini aslinya “arek Suroboyo”. Kebetulan ada saudara yang sedang punya hajat, jadi saya pulang kampung, sekalian ingin mengunjungi KBS. Pak YS tampak tak percaya alasan saya, meski saya berbicara dengan dialek Suroboyoan dan logat Suroboyo yang kental. Dia menebak saya ini awak media, katanya dilihat dari penampilan dan tas-nya. Saya sampai tertawa ngakak, karena penampilan saya jauh dari kesan wartawan atau reporter. Tapi Pak YS tetap saja tak percaya ketika saya jelaskan saya hanyalah. seorang warga Surabaya yang ingin melihat sendiri kondisi KBS yang belakangan ramai diberitakan.
[caption id="attachment_313875" align="aligncenter" width="576" caption="Kandang bayi komodo"]
Akhirnya, saya katakan padanya bahwa sesekali saya menulis, tapi tulisan saya itu bukan di koran atau majalah. Saya menulis di ‘internet’ – saya rasa dia tak paham apa itu citizen journalism – dan itu bukan profesi saya. Pekerjaan saya hanyalah seorang karyawan di perusahaan swasta. Lalu dia bertanya “Lha lapo sampean gawe gelang barang?” (Untuk apa anda pakai gelang segala), tanyanya. Saya sempat bingung. Tapi kemudian dia menunjuk pada tiket masuk yang dipakai melingkari pergelangan tangan. “Opo’o kok gak nduduhne kartune wae?” (Kenapa tak menunjukkan kartunya saja), tambahnya masih dengan pandangan menyelidik.
[caption id="attachment_313876" align="aligncenter" width="380" caption="Gelang kuning, tiket masuk hari Selasa"]
[caption id="attachment_313877" align="aligncenter" width="528" caption="Gelang hijau, tiket masuk hari Rabu"]
Saya katakan bahwa saya ini pengunjung umum, jadi wajib membeli tiket masuk dan mengenakannya selama di lokasi KBS. Profesi saya bukan wartawan, jadi tak memiliki kartu pers yang memungkinkan saya masuk gratis. Dan karena menulis bukan pekerjaan saya, jadi saya tak punya target untuk menulis suatu berita. Saya bisa menulis apa saja yang saya lihat, dengar dan rasakan, kapan saja saya mau, sebaliknya saya bisa juga tak menulis sampai kapanpun saya mau. Tampaknya dia mulai melunak dan mempersilakan saya duduk serta jagongan (mengobrol) bersamanya dan dua rekannya.
[caption id="attachment_313878" align="aligncenter" width="461" caption="Salah seorang keeper tengah beristirahat sejenak. Pak YS dan 2 rekannya tak bersedia difoto."]
Katanya dia mulai percaya saya “wartawan” yang lain dari wartawan biasanya. Wah, ternyata masih sulit untuk membuatnya percaya saya bukan awak media. Kebetulan melintas 2 reporter dan kameraman Metro TV, katanya mereka setiap hari membuat liputan di KBS untuk edisi berita Metro TV khusus channel Jawa Timur. Setelah awak Metro berlalu, dia bertanya pada saya, apa yang akan saya tuliskan. Saya katakan, sebagai arek Suroboyo, saya ingin tahu seperti apa kondisi KBS. Saya tunjukkan beberapa foto yang sudah saya ambil. Saya sampaikan kesan kekaguman saya pada kebersihan KBS, termasuk toiletnya. Tapi saya tetap ingin tahu, benarkah banyak satwa yang mati akhir-akhir ini.
[caption id="attachment_313880" align="aligncenter" width="461" caption="Toilet umum di KBS"]
Ketiga keeper itupun bergantian menjelaskan, bahwa fenomena satwa mati itu sudah sejak dulu selalu ada (lihat BAGIAN-1). Pemicunya ada 3 faktor, bisa karena usia satwa yang sudah tua, sakit yang tak bisa disembuhkan dan perkelahian antar satwa sekandang. Saya pun coba memancing soal kematian Michel, seekor singa yang matinya diduga tidak wajar. Mereka pun sama-sama geleng kepala, pertanda tak tahu kenapa bisa kejadian seperti itu. “Yang jelas, mbak, kalo kami-kami yang keeper ini, gak mungkinlah membunuh satwa asuhan kita”, kata mereka. Pak YS pun menjelaskan, bertahun-tahun merawat satwa, sudah terjalin hubungan batin yang erat antara keeper dengan satwa yang dipercayakan pada mereka. Sebuah hubungan yang dilukiskannya sebagai saling ketergantungan, saling membutuhkan, sudah seperti “saudara” sendiri. “Mana bisa mbak, kita ini mau menyakiti. Sedangkan kalo satwa itu sakit, dia gak ngomong aja kita tahu kok kalo dia itu pengen mengeluh”, katanya. “Coba kita tatap matanya, gak usah ngomong, ‘ooh..., iya, kamu ini yang ngasih makan anak-anakku, yang nyekolahin anak-anakku...’ perasaan kita begitu mbak”, tambahnya. Saya mendadak tercekat, apalagi melihat mata Pak YS seolah menerawang jauh. Saya pun membuang pandangan dan mengalihkan tatapan ke bayi-bayi komodo. Oh, Tuhan, mereka, struktur terendah dalam organisasi KBS, yang sampai tua mengabdi merawat satwa, sampai sebegitunya merasa diri bahwa kehidupannya tergantung pada keberadaan satwa-satwa yang diasuhnya. Sampai dia merasa bahwa satwa itulah yang memberi makan anak-anak mereka. Sehingga ada rasa memiliki yang kuat pada satwa yang dipercayakan ke tangan mereka.
[caption id="attachment_313882" align="aligncenter" width="538" caption="Komodo dewasa"]
Pak YS dan teman-temannya sempat curhat, mengungkapkan kekesalannya pada sejumlah media yang kerap memuat berita tak sesuai fakta. “Saya pernah, mbak, diwawancara, eeeh..., besoknya yang keluar ndak seperti yang saya omongkan”, katanya. Teman yang lain menimpali bahwa dirinya pernah disebut sebagai yang memberikan keterangan, tapi ternyata keterangannya sudah dipelintir. Makanya mereka berharap saya mau menuliskan keterangan dan curhat mereka apa adanya.
“Semua ini kan ada maksudnya, mbak. Kalau bilang KBS sekarang jelek, gak bisa merawat satwanya, berarti kan ndak percaya sama kita-kita ini. Kalo ndak percaya sama kita sih ndak apa-apa, ndak mungkin kita yang kena. Tapi ‘kan pasti bukan kita mbak, yang kena. Pasti Bu Risma yang kena. Nhaa..., jadinya yang dibilang ndak enthos (tidak becus) kan Bu Risma” katanya. Pemahaman wong cilik atas blow up dan over exposed media – terutama media asing – yang berlebihan atas KBS. “Namanya pulitik itu kan kotor, mbak! Pulitik itu bisa apa saja kalo sudah ndak suka, bisa lewat mana saja. Nhaa.., sampean ngerti toh maksudku?” tanyanya. Maksudnya, bidikan lewat ketidakbecusan mengurus KBS akan membuat Bu Risma terdeligitimasi dan Pemkot Surabaya tak mendapatkan ijin untuk mengelolanya lagi. Sehingga pihak yang punya kepentingan bisnis bisa lebih mudah masuk. Saya mengangguk mengiyakan.