[caption id="attachment_314330" align="aligncenter" width="576" caption="Bukan hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau ketinggalan mendukung Bu Risma. Keluarga Mahasiswa ITS melakukan longmarch dengan bersepeda dari kampus ITS menuju Balaikota Surabaya (foto by R Panji Bambang Kuntjoro)"]
Tak usah mundur terlalu jauh sampai ke masa Orba dimana Mega disingkirkan PDI kubu Surjadi. Mari kita tengok peristiwa Maret 2003, ketika Mega merasa ditelikung SBY yang diam-diam ternyata akan mencalonkan diri jadi capres. Itu baru mau akan maju jadi pesaing di Pilpres lho, bukan melengserkan, Megawati sudah sedemikian marahnya pada SBY. Bahkan Taufik Kiemas waktu itu sempat melontarkan ejekan pada SBY yang akhirnya membuat SBY mundur dari Kabinet dan pasca peristiwa itu justru membuat elektabilitas SBY naik. Sejarah kemudian mencatat, hubungan Mega dengan SBY bak perseteruan dua musuh bebuyutan. Mega tak pernah mau bersalaman dengan SBY, menoleh pun tidak meski berada dalam satu forum acara yang sama. Mega baru mau menerima salaman SBY 10 tahun kemudian, yaitu pada pemakaman Taufik Kiemas, tahun 2013. Jadi, cobalah Megawati sedikit berempati, bagaimana sulitnya bersanding seperahu dengan orang yang jelas-jelas pernah menjadi dalang “penikaman” dirinya. Tidak nyaman sekali bukan?
[caption id="attachment_314331" align="aligncenter" width="200" caption="KM ITS berhasil menemui Bu Risma di Balaikota (foto by R Panji Bambang Kuntjoro)"]
Pernyataan-pernyataan elite PDIP seperti Tjahjo Kumolo dan Puan Maharani justru menjadi blunder yang tidak menyelesaikan masalah. Puan mengatakan, sebaiknya Risma tak berbicara keluar partai, jika ada yang ingin disampaikan pada Bu Mega, sampaikan saja pada Puan nanti akan diteruskan kepada Ketua Umum (Megawati). Ini justru menunjukkan bahwa Risma memang tak semudah itu bertemu – apalagi curhat langsung – dengan Megawati. Masalah sudah berlarut-larut pun Mega tetap duduk di menara gading dan tak turun tangan. Pembelaan-pembelaan politisi PDIP terhadap Wisnu, justru mengesankan WSB jauh lebih dipertahankan ketimbang Risma. Banyak kalangan, termasuk pengamat politik, menilai PDIP lebih memilih kehilangan Risma ketimbang WSB. Tak sedikitpun ada upaya PDIP – yang selalu mengusung jargon partai wong cilik – untuk menengok ke Surabaya dan melakukan jajak pendapat langsung kepada warga Surabaya, apakah mereka lebih menghendaki WSB atau Risma. Padahal, bagi partai sebesar PDIP, semestinya punya “intel politik” yang bisa menyusup ke komunitas-komunitas dukungan terhadap Risma, untuk mendengar langsung kegeraman warga Surabaya. Bagi arek-arek Suroboyo, peduli amat dengan politik, “atiku loro, ibukku dilarani, tak bales sing ngelarani ibukku” (Hatiku sakit, Ibuku disakiti, akan kubalas yang menyakiti Ibuku). Maka, bersiaplah PDIP menerima punishment politik dari warga Surabaya pada Pileg yang tinggal 40 hari lagi.
[caption id="attachment_314333" align="aligncenter" width="370" caption="Selebaran woro-woro untuk aksi mendukung Bu Risma oleh mahasiswa ITS. Mereka menyebut para pengganggu merecoki Bu Risma yang sedang bekerja (foto by R Panji Bambang Kuntjoro)"]
Kemarin, Kamis, 27 Pebruari 2014, beberapa elemen masyarakat memaksa menemui Bu Risma. Beliau sedang ada kegiatan di Jambangan, Surabaya Barat. Arek-arek Suroboyo yang sangat ingin bertemu Walikotanya siap menunggu sampai Bu Risma kembali ke Balaikota. Kepada Bu Risma warga Surabaya memohon dengan sangat agar jangan mundur. Seseorang melukiskan suasana aksi sebagai berikut : suasana haru yang tak biasa dalam unjuk rasa... Polisi, wartawan dan semua yang ada di balaikota merasakan kesedihan yang menganga... Begitu lama kita merindukan sosok pemimpin yang amanah... Bu risma tak perlu dukungan kita, tapi kita yang masih membutuhkan Bu Risma... hanya satu kata pintanya "saya istikharohkan dulu"... (Ferry Riawan). Bahkan sekelompok ibu-ibu majelis taklim memohon-mohon agar Bu Risma tetap memimpin Surabaya, “anakku sing gak iso sekolah disekolahno karo Bu Risma” (anakku yang tak bisa sekolah disekolahkan oleh Bu Risma).
[caption id="attachment_314334" align="aligncenter" width="576" caption="Warga swadaya memasang atribut apapun di baju/jaket yang penting ada tulisan Save Risma (foto by Iwan Hadi)"]
Warga Surabaya paham, yang membuat Ibu Risma tak nyaman adalah keberadaan WSB. Nah, masihkah PDIP akan tutup mata dan telinga atas kondisi riill aspirasi masyarakat Surabaya yang menolak Wisnu dan mempertahankan Risma? Akankah PDIP yang katanya ‘partainya wong cilik’ berbalik jadi ‘partainya wong licik’? Upaya PDIP mempertahankan BDH sebagai caleg meski telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi japung dan kini kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, serta upaya untuk mempertahankan WSB, makin menunjukkan bahwa PDIP berkhianat atas slogannya sendiri, PDIP menutup telinga atas aspirasi rakyat. Semoga belum terlambat bagi PDIP untuk menyadari bahwa kebencian dan antipati warga Surabaya sudah mencapai puncaknya.
Catatan : foto-foto diambil dari FB Grup #SaveRisma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H