Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

The Jakarta Post, The Washington Post dan Nara Sumber Anonim

16 April 2014   00:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:38 2412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_320082" align="aligncenter" width="299" caption="Keakraban Puan dan Jokowi (foto : nusatoday.com)"][/caption]

Sabtu sore, saya membaca sebuah berita dari media onlen yang di-share seorang teman di facebook. Saya lupa media onlen apa, namun isinya mengutip berita dari The Jakarta Post tentang rumor Jokowi diusir oleh Puan Maharani, di rumah Megawati saat jelang rapat evaluasi hasil Pileg pada malam seusai pencoblosan. Saya tak terlalu serius menyikapi berita itu, apalagi media onlen tersebut hanya mengutip The Jakarta Post (TJP) tanpa menyertakan kutipannya. Saya pikir itu hanya issu saja yang masih diragukan kebenarannya. Minggu malam ketika membuka beberapa situs portal berita, saya temukan berita-berita bantahan Jokowi atas pemberitaan TJP. Umumnya isinya sama : Jokowi menyatakan berita yang dilansir TJP tidak benar, sebab sejak coblosan dirinya tak pernah bertemu lagi dengan Mbak Puan karena Puan pergi ke Hongkong. Oke, saya pikir polemiknya selesai dan mungkin TJP sudah mengklarifikasi, saya tak tahu karena tak membuka situs TJP.

Saya kaget ketika Senin siang membuka Kompasiana, ternyata tulisan seputar berita pengusiran Jokowi oleh Puan Maharani yang bermula dari TJP, masih panas dibahas. Bahkan tulisan HL hilir mudik pro kontra tentang itu. Termasuk soal diragukannya berita TJP karena menggunakan nara sumber yang dirahasiakan namanya, yang kemudian disebut narasumber anonim. Dari situ kemudian ada yang mengatakan bahwa TJP telah merusak kredibilitasnya sendiri. Dalam tulisan ini, saya tak hendak mengatakan Jokowi dan Puan benar atau TJP benar, karena kita konsumen media juga sama-sama tak tahu pasti apa yang terjadi malam itu di Tengku Umar. Semua serba mungkin dalam ranah politik, bahkan hal paling absurd sekalipun. Hanya orang-orang yang benar-benar berada di ruangan tersebut pada saat itu saja yang tahu kebenaran atau ketidakbenarannnya. Maka, saya memilih untuk membiarkan saja semuanya mengalir, biarlah waktu yang membuka kebenarannya kelak.

Saya pribadi ingin melihatnya dari sisi jurnalistik. Benarkah menggunakan nara sumber berita anonim mengurangi kredibilitas media atau wartawan? Mari kita lihat tonggak sejarah yang telah ditorehkan oleh 2 jurnalis The Washington Post. Anda pernah dengar istilah “the Deep Throat”? Itulah nara sumber yang di-anonim-kan oleh 2 jurnalis The Washington Post (TWP), Carl Bernstein dan Bod Woodward ketika mereka melakukan perburuan berita soal skandal Watergate. Semula kabar soal ditangkapnya 5 orang penyusup ke Markas Besar Partai Demokrat kurang menarik perhatian media massa. Bahkan media terbesar, The New York Times pun tak terlalu ngebet menelusurinya. Namun kegigihan Bernstein dan Woodward akhirnya mempertemukan mereka pada seorang nara sumber yang diduga orang dekat di lingkaran Presiden Richard M. Nixon. Nara sumber itu kemudian di-anonim-kan dengan julukan the Deep Throat.

Kegigihan 2 jurnalis TWP sekaligus komitmen Katherine Graham sebagai Pemimpin Umum dan Benjamin C. Bradlee sang Pemimpin Redaksi untuk melindungi kerahasiaan nara sumbernya, akhirnya membuahkan hasil. Kasus yang bermula pada 17 Juni 1972 itu, pada 8 Agustus 1974 atau 2 tahun kemudian, telah membuat Richard M. Nixon menjadi Presiden Amerika Serikat pertama yang menyatakan mundur, setelah pada 27-30 Juli 1974 Komite Judicial AS meloloskan tuntutan untuk melakukan impeachment kepada Nixon. Sebab dari rekaman percakapan, jelas bahwa Nixon terlibat mendiskusikan pembobolan Watergate. Sebelumnya pada 4 Maret 1974, diumumkan 7 orang tersangka kasus Watergate yang dikenal dengan “Watergate 7” yang tak lain semuanya adalah tim kampanye/tim pemenangan dan penasihat Nixon dari Partai Republik, yang dibentuk untuk pemenangan kembali Nixon pada Pemilu 1972.

[caption id="attachment_320085" align="aligncenter" width="512" caption="Sebuah buku yang menjadi tonggak jurnalisme investigatif yang mampu mengalahkan penguasa (foto : dokpri)"]

13975580062036255332
13975580062036255332
[/caption]

Sebelum penetapan 7 tersangka itu, pada Februari 1974, 2 jurnalis TWP, Bob Woodward dan Carl Bernstein menerbitkan buku berjudul ALL THE PRESIDENT’s MEN yang berisi pengungkapan skandal Watergate. Buku itu laris manis dan langsung jadi best seller. Itulah tonggak jurnalisme investigasi, dimana anonimitas nara sumber utama dirahasiakan. Sampai Nixon mundur dan Amerika telah berganti presiden beberapa kali, silih berganti presiden dari Partai Republik maupun Partai Demokrat menjabat, tak jua nama the Deep Throat dirilis. Namun sejak itu, metode investigasi ala 2 jurnalis TWP dijadikan standar acuan jurnalisme investigasi.

Pada 22 April 1994 Richard M. Nixon meninggal dunia. Pada 8 April 2003, University of Texas di Austin membeli arsip reportase investigasi atas kasus Watergate senilai US $ 5 juta. Barulah pada 31 Mei 2005, The Washington Post merilis siapa the Deep Throat itu, yang tak lain adalah William Mark Felt, mantan Wakil Direktur FBI. Hal itu dilakukan setelah Joan, putri Mark Felt membujuk ayahnya untuk membuat pengakuan kepada majalah Vanity Fair. Saat itu usianya sudah 92 tahun dan pengakuan itu adalah katarsis. 3 tahun kemudian W. Mark Felt meninggal dunia di usia 95 tahun. Sang tokoh utama di balik pengungkapan skandal Watergate itu tutup usia setelah semua rahasianya dia buka. Salut atas kegigihan The Washington Post menjaga kerahasiaan nara sumber yang telah berkontribusi membawa kedua jurnalisnya mengungkap kasus yang nyaris tak terungkap tersebut. Etika jurnalistik dipegang teguh, wartawan juga tidak ditekan untuk membocorkan siapa yang memberikan informasi pada mereka.

Jadi, sekali lagi mari kita pahami, bahwa merahasiakan nara sumber dalam prinsip jurnalistik sama sekali bukan hal yang tabu dan haram, juga sama sekali tidak berarti kredibilitas media yang bersangkutan turun. Justru media yang mampu melindungi nara sumbernya adalah media yang menjunjung tinggi prinsip jurnalisme investigatif.

BANTAHAN JOKOWI DAN PUZZLE KEJADIAN

Nah, setelah kita clear soal boleh tidaknya memakai nara sumber rahasia, kini kita kembali ke soal rumor pengusiran Jokowi oleh Puan. Seperti saya katakan tadi, kita semua tak ada yang tahu kebenaran atau ketidakbenarannya. Hanya mereka yang benar-benar berada di ruangan itu pada saat kejadian (jika memang kejadian itu ada), yang tahu benar tidaknya. Maka, saya lebih baik menunggu kelanjutannya. Sambil menunggu, saya pribadi, memilih mencoba menyusun kepingan puzzle fakta yang ada dan sudah diketahui masyarakat.

Mari kita kembali ke bantahan Jokowi semula. Kata Jokowi, dia tak pernah bertemu Puan sejak usai coblosan karena Puan ke Hongkong sampai saat Jokowi membantah kepada insan pers. Oke, kita simpan dulu pernyataan Jokowi dan kita anggap ini adalah benar.

[caption id="attachment_320088" align="aligncenter" width="620" caption="Puan berpose di rumahnya setelah menuliskan target perolehan PDIP sebear 27,02%. (foto : Tempo.co)"]

13975582611166357753
13975582611166357753
[/caption]

Lalu, kapan Puan ke Hongkong? Sebab saya ingat betul, petang hari 9 April itu, selepas maghrib, PDIP mengadakan konpers kepada media soal pernyataan sikap resmi PDIP terkait hasil quick count. Saya ingat karena saat itu saya agak terlambat sholat maghrib, sehingga saya hanya kebagian sessi terakhir dari konpers. Yang berbicara adalah Puan Maharani, ini sesuai dengan jabatannya sebagai Ketua Bidang Pemenangan Pemilu di DPP PDIP. Seusai konpers, Puan dan ibu Megawati kemudian berpelukan dan cipika cipiki. Moment itu diabadikan puluhan kilatan lampu blitz wartawan berbagai media massa. Artinya, sampai sekitar pukul 18.30-an lebih, Puan masih berada di Jakarta dan tak tampak buru-buru meninggalkan lokasi konpers.

Jam 19.00, Metro TV masih dalam rangkaian Pileg 2014, menampilkan Najwa Shihab yang mengundang 4 tamu : Jokowi, Ahok, Dahlan Iskan dan Jusuf Kalla. Di awal acara Najwa sudah menjelaskan bahwa Pak Jokowi hanya akan hadir sebentar saja karena sudah ditunggu Ibu Mega. Karenanya Najwa memberikan porsi wawancara terlebih dahulu kepada Jokowi, lalu sekitar 10-15 menit kemudian Najwa menyudahinya sambil berseloroh “Baiklah Pak Jokowi, saya antar saja bapak dari pada nanti saya dimarahi Bu Mega”, kemudian Najwa Shihab mengantar Jokowi turun dari stage dan Jokowi bergegas keluar.

[caption id="attachment_320213" align="aligncenter" width="288" caption="Caption tayangan TV Konpers PDIP soal hasil hitung cepat lembaga survey pada Rabu petang, 9 April 2014. (foto : http://www.manadosatunews.com/2014/04/puan-maharani-hasil-hitung-cepat-ini.html?m=1)"]

1397617400878371756
1397617400878371756
[/caption]

Malam harinya, Jokowi kembali tampil di stasiun TV Indosiar. Esok paginya banyak media memberitakan soal pertemuan Jokowi dan Megawati di Tengku Umar yang kabarnya hanya 5 menit saja. Kompas.com menulis pertemuan itu 15 menit. Pertemuan yang kabarnya membahas soal koalisi itu super singkat. Menjadi menarik untuk dicermati karena untuk membahas masalah sepenting itu, dan segenting itu pula Jokowi dipanggil mendadak dan ditunggu, kok hanya berlangsung 5-15 menit saja.

Belakangan ada bantahan dari Puan, katanya Puan tidak hadir dalam pertemuan tersebut, sebab Puan berada di rumah Jalan Kebagusan sedang pertemuan evaluasi hasil Pileg dilakukan di rumah Megawati di Tengku Umar. Oke, kembali kita terima penjelasan Puan, namun ini berarti ada sedikit kontradiksi dengan penjelasan Jokowi yang mengatakan Puan langsung ke Hongkong. Agak janggal pula jika pertemuan yang membahas evaluasi hasil Pemilu tidak dihadiri oleh Ketua Bapilu yang menetapkan target perolehan suara 27,02%.

Itulah beberapa kepingan puzzle yang saya temukan dari pemberitaan di media massa. Namun tetap saja puzzle itu belum utuh jika disusun, belum membentuk gambar yang sempurna. Karena itu saya kembali ke sikap awal : mari kita tunggu saja lebih lanjut, kira-kira fakta apa saja yang akan tersaji. Pilpres masih 3 bulan kurang sepekan lagi. Dalam dunia politik tak ada yang tak mungkin, termasuk hal yang paling absurd sekalipun. Dan sudah jadi keniscayaan pula dalam politik bahwa tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

[caption id="attachment_320089" align="aligncenter" width="480" caption="Puan yang menuliskan target 27,02% maka selayaknya dia hadir dalam rapat evaluasi hasil pemilu (foto : kaskus.co.id)"]

13975583281678689445
13975583281678689445
[/caption]

Berharap Jokowi atau Puan akan menuntut The Jakarta Post yang menyebarkan berita bohong dan fitnah? Sepertinya tidak mungkin. Dan selama tidak ada tuntutan hukum, tak ada kewajiban bagi TJP untuk membuka identitas nara sumbernya, seperti yang dilakukan The Washington Post. Kalau begitu, kita hanya bisa menebak-menebak saja. Setiap orang mungkin punya kepingan puzzle yang berbeda dalam ingatannya. Selama kita bukan orang yang berada di lokasi kejadian di waktu kejadian, maka tak satupun dari kita yang bisa mengklaim mana yang benar dan mana yang salah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun