Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kartini Modern Merawat Indonesia (Resensi Buku "25 Kompasianer Wanita Merawat Indonesia")

21 April 2014   13:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_320805" align="aligncenter" width="327" caption="foto : dokpri"][/caption]

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan, agar perempuan lebih cakap melakukannya kewajibannya yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi IBU, pendidik manusia yang pertama-tama.”

(Surat Raden Adjeng Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, tanggal 4 Oktober 1901)

===================================

Itulah sepenggal kutipan salah satu dari sekian banyak surat yang ditulis Kartini pada sahabat-sahabatnya yang kemudian dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon dengan judul “Door Duisternis tot Licht” yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Sebuah frasa yang inspirasinya didapat Kartini dari sepenggal ayat Al Qur’an yang berbunyi “minadzdzhulumaati ilan nuur” (dari kegelapan menuju cahaya). Oleh Armijn Pane buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1922.

Di abad ke-21 ini, 110 tahun setelah R.A. Kartini berpulang (17 September 1904), kaum perempuan Indonesia dengan mudah mendapat akses pendidikan bahkan hingga ke mancanegara. Namun hendaknya tetap tak melupakan intisari dari tujuan mulia Kartini : menjadi pendidik manusia yang pertama-tama. Penggalan kalimat itu pula yang saya temukan dalam tulisan Arek Tembalangan (mbak Susi Diah Hardaniati), “Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya”, demikian ia menutup tulisannya. Begitupun dalam tulisan Dewi Sumardi (Erna Riyana Dewi) yang menuliskan “Ibu adalah madrasah awal anak-anaknya”.

Buku “25 KOMPASIANER WANITA MERAWAT INDONESIA” ibarat kumpulan pena ‘Kartini-Kartini’ modern yang berisi kisah, berbagi pengalaman, ajakan, untuk merawat Indonesia dimulai dari keluarga sendiri, terlebih dimulai dari peran seorang IBU sebagai pendidik. Kebetulan, 13 dari 25 penulis itu memang berprofesi – setidaknya pernah menekuni profesi – sebagai pendidik. Yang 3 orang lainnya menekuni bidang Sumber Daya Manusia. Sehingga buku ini kaya dengan sentuhan “keibuan” dan “keguruan”.

Kompasianer Bu Anni yang ngetop sebagai “juragan es jeruk”, mengungkapkan keprihatinan tentang maraknya pencabulan sesama anak yang seharusnya masih polos dan tak terkontaminasi oleh hal-hal yang hanya patut dilakukan pasangan suami istri. Tak ada cara lain, orang tualah yang harus menjaga dan menyelamatkan anak-anak yang akan jadi tumpuan masa depan. Untuk itu, Dewi Sumardi menghimbau kaum ibu untuk terus mawas diri dan mengevaluasi “Sudah Cukup Bijaksanakah Aku Sebagai Seorang Ibu?” karena kesenjangan jaman menjadi salah satu kendala dalam mendidik anak. Karena itu Cay Cay (Tri Ari Wahyuningsih) memilih untuk mencoba memahami cita-cita putranya yang tak pernah berubah untuk menjadi masinis kereta api. Sebab ia menyadari dirinya bukan pemilik masa depan anaknya, tugasnya hanya mempersiapkan anak memasuki masa depannya.

Buku ini juga mengingatkan betapa pentingnya mendidik anak sejak usia dini, seperti dituturkan Find Leilla yang menghimbau sebaiknya kita tak membiasakan menyebut “tangan bagus” dan “tidak bagus” untuk tangan kanan dan kiri, agar si anak memahami bahwa ciptaan Tuhan itu sempurna, jika digunakan untuk melakukan kebaikan. Juga perjuangan Maria Margaretha mengajarkan disiplin pada murid-muridnya dengan menanamkan pride agar anak bangga jika ia bisa datang tidak terlambat dan malu jika sebaliknya. Juga pengalaman Mbak Lis – yang dikenal dengan nama pena Aurora Borealisa – membiasakan putranya belajar bersabar antri dan tak menyerobot giliran orang lain, termasuk berani menegur seorang ibu yang seenaknya menyerobot antrian. Bukan hanya anak ‘normal’ yang perlu dibekali dengan pendidikan, anak yang diciptakan Tuhan dengan “keistimewaan” pun berhak untuk berkembang sesuai potensi yang mereka miliki, tanpa harus dihindari. Seperti sosok seorang anak bernama Dina yang memiliki hambatan pendengaran namun ia cerdas, seperti dikisahkan Theeadomo dalam pengalamannya di SLB Ayah Bunda.

Para penulis perempuan yang mukim di luar negeri, berbagi pengalaman tentang kronika mendidik putra-putri mereka di negeri seberang tanpa melupakan akar budayanya sebagai anak Indonesia. Gaganawati Stegman, misalnya, yang mengajarkan anak-anaknya untuk tetap menjadi anak Jerman dengan rasa Indonesia. Misalnya dengan mengajari mereka untuk tidak membantah, tidak memanggil orang yang lebih tua dengan nama saja, duduk yang sopan, berpamitan setiap keluar rumah. Vely Zega yang juga tinggal di Jerman, berbagi cerita beragam perbedaan hal-hal yang dianggap sopan dan tidak di Jerman dibandingkan dengan di Indonesia.

Parastuti, yang sedang menyelesaikan studi di Nagoya, mengisahkan para ibu asal Indonesia yang merawat “Pertiwi” di negeri Sakura. Ely Agha bercerita tentang bagaimana murid TK di Belanda tidak dikenalkan pada sistem ranking, demi menjaga perasaan anak, sehingga tak perlu ada yang jadi murid terbaik sehingga yang lain merasa kecil dan tak berarti. Edrida Pulungan yang pernah punya pengalaman menjadi Duta Pertukaran Pemuda Antar Negara, mencoba menyarankan solusi untuk mengatasi memanasnya hubungan RI-Australia lewat apa yang disebut “Diplomat Citizen”.

[caption id="attachment_320806" align="aligncenter" width="315" caption="foto : dokpri"]

13980365281232648195
13980365281232648195
[/caption]

Menjadi ibu tak hanya dihadapkan pada soalan mendidik anak, tapi juga merawat dan menjaga kesehatan anak. Kompasianer Dee, salah satu ‘penghuni’ Rumah Kayu, berbagi beberapa resep tradisional herbal alami untuk ambeien, batuk dan demam. Khasiat daun sirih sebagai antiseptik alami, membuatnya membiasakan memandikan anak-anaknya dengan air rebusan daun sirih beberapa kali seminggu, agar daya tahan tubuh mereka baik.

Menjadi seorang ibu dan istri juga harus pandai mengatur keuangan agar seberapapun hasil jerih payah suami tetap bisa cukup. Ngesti Setyo Moerni berbagi tips bagaimana mendaur ulang pakaian yang dibutuhkan kreatifitas. Hal ini juga untuk mendidik anak agar tak terbiasa bersikap konsumtif dan bisa berpikir kreatif. Banyak hal yang bisa di daur ulang di lingkungan kita. Kompasianer Mutiaraku (Nurlaela Amin Awalimah) juga bercerita bagaimana ia mendidik ibu-ibu di lingkungannya agar bersikap peduli, kreatif dan produktif, ketimbang hanya ngerumpi tanpa tujuan yang jelas. Sekaligus mengenalkan taman bacaan pada anak-anak mereka.

Jaman modern membawa kaum perempuan pada dunia internet yang tak bisa dinafikan kehadirannya. Ibu Rokhmah Nurhayati yang pernah 17 tahun berdomisili di Ohio, USA, berbagi pengalamannya menjalani peran sebagai ibu di era digital, yang mengenalkan komputer dan internet pada putranya sejak usia 3 tahun dan mendampinginya mencari informasi di internet. Puri Areta yang berprofesi sebagai multimedia programmer dan berkutat di bidang IT, berbagi tips tentang “Bijak Menggunakan Internet”. Puri menekankan betapa pentingnya ortu tak gagap internet agar bisa mendampingi anak-anak mereka berselancar di dunia maya.

“Perempuan Jangan Hanya Belajar Menjadi Ibu”, kata ibu dosen Aridha Prasetya, yang berbagi pengalamannya bagaimana ia berguru pada kematian ibundanya. Seyogyanya seorang anak perempuan juga belajar menjadi anak yang berbakti, agar ia tahu apa yang harus dilakukannya ketika ibundanya sedang bersiap untuk pulang ke RahmatuLlah. Sebuah pengalaman batin yang menarik sekaligus mengharukan, semoga saya bisa melakukannya pada Ibu saya kelak jika Allah sudah menetapkan waktunya.

Kaum perempuan adalah pemilik rahim peradaban. Generasi yang lahir dari rahim perempuan terdidik beda dengan yang dilahirkan perempuan tak terdidik. Karena itu menjadi seorang ibu rumah tangga (IRT) memiliki peran yang amat penting dalam melahirkan generasi bangsa yang berkualitas secara intelektual, emosional dan spiritual. Karena itu, di mata Isti, menjadi IRT adalah profesi yang amat mulia. Sementara, Arek Tembalangan belajar dari Mamanya bagaimana menjadi seorang ibu bekerja yang menyeimbangkan antara karir dan rumah tangga. Seperti juga Josephine Winda, yang banyak belajar dari Maminya yang sejak dia berusia 10 tahun sudah menjadi single parent. Baginya, anak-anak yang hebat adalah cerminan dari seorang ibu yang luar biasa. Senada dengan renungan Rita Kunrat (Rita Audriyanti) bahwa “Ada Ibu di Belakang Sukses Anak”. Ketika seorang anak berteriak “Aku berhasiiiilll!!!”, maka seorang ibu akan tetap tersenyum meski sang anak lupa dengan kedua tangan ibunya.

Tytiek Widyantari mengingat selalu pesan ibundanya : “ojo mung iso nyadong!” yang artinya “jangan hanya bisa menadahkan tangan”. Bahwa menjadi perempuan itu harus mandiri, tak bergantung pada orang lain. Ibu ‘Astutiana’ Sri Sugiastuti mengusik kaum ibu dengan sebuah tanya : “Sudahkah Kaum Ibu Merawat Asset Dunia dan Akhiratnya dengan Tepat?”. Mengutip kata bijak Henry Ward Beecher : “Hati seorang ibu adalah ruang kelas tempat anaknya belajar”, beliau berbagi 10 tips yang bisa dilakukan kaum ibu agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang berkualitas dan berakhlak mulia.

Ibu Roselina Tjiptadinata, istri terkasih dari Opa Tjiptadinata Effendi, berkisah tentang lika-likunya membesarkan putra pertamanya Irmansyah yang lahir di pertengahan dekade 60-an ketika kehidupan keluarganya masih dililit kesulitan ekonomi. Setelah mengalami beragam cobaan, maka “Habis Gelap Terbitlah Terang”, kata beliau, manakala putra pertamanya diwisuda dari California State University pada usia 21 tahun dengan predikat Magna Cumlaude. Lengkap sudah kebahagiaan dan kebanggaan sebagai seorang ibu, yang menurut beliau menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik adalah di atas segala-galanya.

Itulah sekelumit pesan yang terkandung dalam buku antologi “25 Kompasianer Wanita Merawat Indonesia”. Editornya, Thamrin Sonata, melihat bahwa kepekaan tangan perempuan berhati ibu akan menjadi kasih yang jejak panjangnya akan mampu menjadi solusi atas persoalan anak bangsa, dengan kearifan lokal yang terus dijaga dan dirawat. Selamat hari Kartini kaum perempuan Indonesia, teruslah menjadi “pendidik” manusia yang pertama-tama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun