Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ini yang Membuat Saya Masih Bisa Optimis

6 Mei 2014   20:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:48 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_322781" align="aligncenter" width="536" caption="Desi Priharyana, remaja penjual kerupuk slondok (foto : www.merdeka.com)"][/caption]

Di tengah beragam kabar kurang menyenangkan seputar karut marutnya dunia pendidikan dan makin memprihatinkannya perilaku pelajar remaja yang banyak di sorot akhir-akhir ini, selalu saja masih ada anak-anak bangsa yang membanggakan. Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei lalu, TV One menyuguhkan episode “Sepenggal Asa Siswa Penjaja” dalam acara Meja Bundar. Acara yang biasanya menghadirkan keluarga dan korban-korban kekerasan, pelecehan seksual, tawuran dan beragam kasus ketidakadilan lainnya, kali ini justru mengetengahkan 2 figur yang menginspirasi. Keduanya bukan sosok populer yang banyak dikenal orang, bukan motivator profesional yang mendapatkan banyak rupiah dari petuahnya, namun hanyalah 2 siswa setingkat SMA yang kesehariannya melakoni perjuangan berat demi tetap bisa melanjutkan sekolah.

Dua siswa itu adalah Muhammad Rizal Fauzi, siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, yang kesehariannya berjualan gorengan yang dijajakan kepada teman-teman sekolahnya sebagai penyambung “nyawa”nya bersekolah. Yang satu lagi Desi Priharyana, siswa SMKN 2 Jetis, Jogjakarta, yang harus menjajakan kerupuk slondok sambil bersekolah. Keduanya benar-benar bergantung dari keuletannya sendiri menjajakan jualan.

Rizal berasal dari keluarga miskin, ibunya sudah meninggal, kini ia tinggal bersama kakaknya yang jadi buruh serabutan. Jarak dari rumah ke sekolahnya belasan kilo meter. Dulu ia berjalan kaki ke sekolah, sampai akhirnya guru-guru sekolahnya merasa iba dan bersimpati padanya, apalagi Rizal siswa yang prestasi akademiknya membanggakan. Akhirnya, para guru patungan membelikannya sepeda. Kini, dengan sepeda itu ia jalani rutinitas dari rumah ke sekolah, tak lupa membawa makanan gorengan yang dibungkus plastik. Saat istirahat tiba, Rizal berkeliling dari kelas ke kelas menjajakan dagangannya, termasuk kepada para guru. Dari hasilnya berjualan gorengan itulah Rizal mendapatkan keuntungan 10 – 15 ribu rupiah sehari. Uang itulah yang jadi penyambung hidupnya. Terkadang ia puasa karena tak memiliki bekal.

Di kala senggang, saat teman-temannya asyik dengan gadgetnya, gaul di facebook dan twitter, Rizal memilih membaca buku fisika, karena tak punya uang untuk internetan. Karena itu tak heran jika Rizal meraih juara I Olimpiade Fisika Kompetensi Sains Madrasah (KSM) tingkat Jawa Barat, pada 2013 lalu. Ia juga jadi juara II Olimpiade Fisika tingkat Jawa Barat yang diadakan Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Bukan hanya di tingkat propinsi saja, prestasi Rizal juga menasional ketika ia menjuarai Olimpiade Sains Tingkat Nasional mewakili Jawa Barat di Malang, Jawa Timur, pada November 2013. Dalam event itu Rizal menyabet juara II.

[caption id="attachment_322782" align="aligncenter" width="400" caption="Rizal, sang juara olimpiade fisika yang menjajakan gorengan di saat jam istirahat (foto : www.kabar-priangan.com)"]

1399356377342324646
1399356377342324646
[/caption]

Tak beda jauh dengan Rizal, Desi Priharyana yang lebih ngetop dipanggil “Desi slondok” juga harus mengayuh sepeda onthel dari rumahnya di Pendowoharjo, Kecamatan Sleman ke sekolahnya di Jetis, Jogjakarta, sejauh 12 kilo meteran. Sepeda onthelnya bukan sepeda biasa, di jok belakang bertengger 2 buah keranjang besar di sisi kanan dan kiri, yang biasa dipakai bakul kerupuk untuk meletakkan jualannya. Belum lagi di bagian depan sepeda, ia juga menggantungkan seplastik besar slondok. Sepanjang jalan menuju sekolah, di sekolah dan sepulang sekolah, Desi menyempatkan diri menjajakan slondoknya.

Berjualan sudah terbiasa dilakoninya sejak kelas 3 SD. Saat itu, karena tak mendapatkan uang saku untuk jajan dari orang tuanya yang tidak mampu, Desi terpaksa memeras otak agar bisa jajan. Tetangga menawarinya menjualkan roti dagangannya. Semula hanya disuruh membawa 10 buah roti, kalau laku, Desi mendapatkan upah. Awalnya memang sulit, tapi lama-lama jadi terbiasa dan kini berjualan bukanlah hal sulit bagi Desi. Ia sudah punya pelanggan ibu-ibu arisan. Dimana ada ibu-ibu sedang berkumpul, Desi berhenti sejenak menawarkan kerupuk slondoknya. Bahkan di sekolah pun ia tak ragu menjajakan slondok kepada para guru. Sepulang sekolah, Desi meneruskan jualan slondok, sampai tiba waktunya bimbel. Desi bisa ikut bimbel karena ada dermawan yang membiayai.

Beragam profesi pernah dilakoninya sejak masih bocah. Mulai dari beternak bebek, berjualan telor, tahu dan tempe bahkan jadi buruh bangunan serabutan. Kerja apa saja asal halal, barokah dan tak merugikan orang lain, katanya, akan dijalani demi bertahan hidup, bisa tetap sekolah dan memberi adiknya uang saku. Keuntungan berjualan slondok yang tak seberapa itu – hanya sekitar 250 ribuan sebulan – masih disisihkannya untuk persiapan biaya kuliah nanti. Ibunda Desi sudah lama meninggal, kini tinggal ayahnya yang hidup bersamanya dengan kerja serabutan yang tentu tak cukup untuk menyekolahkan Desi. Ketika harus mendaftar ke SMKN 2 Yogya, Desi juga terpaksa memakai uang tabungan hasil berjualan sejak SD, karena ayahnya tak juga berhasil mendapatkan uang untuk biaya masuk sekolah.

==========================================

Satu kesamaan yang ada pada kedua siswa itu : rasa percaya diri yang tinggi sanggup mengusir rasa malu karena gengsi. Meski berasal dari keluarga miskin yang harus menjajakan gorengan di saat teman-temannya justru jajan, Rizal tak sedikitpun minder, ia bahkan jadi Ketua OSIS di sekolahnya. Seorang yang rendah diri tak mungkin bisa terpilih sebagai Ketua OSIS, yang tentunya mensyaratkan punya jiwa kepemimpinan. Begitupun Desi, siswa jurusan Teknik Konstruksi Batu dan Beton ini tak pernah malu memarkirkan sepedanya lengkap dengan keranjang kerupuk itu di sekolahnya, sejak awal mula hendak mendaftar ke SMK. Ketika anak lain yang baru lulus SMP didampingi orang tuanya mencari sekolah, Desi melakukannya secara mandiri.

Rizal berpandangan tak ada yang perlu membuatnya malu, baginya semua orang itu sama, perlu dihormati, apapun profesinya, termasuk pesuruh sekalipun. Alfito Dean Nova yang menjadi host acara, menanyakan apakah dirinya tak pernah menyesali nasib yang kurang beruntung. Tegas Rizal menjawab “Tidak!”. Bukankah anak lain terkadang menyalahkan Tuhan yang dianggap tidak adil, tanya Alfito. Jawaban Rizal sangat dewasa dan menunjukkan tingginya keimanannya. “Berarti orang itu belum bertawakkal pada Allah, belum sempurna taqwanya kalau masih seperti itu”, kurang lebih begitu sepenggal kalimatnya yang saya ingat.

Remaja yang hampir berusia 18 tahun ini terlihat jauh lebih dewasa dari usianya dalam bertutur tentang konsep hidup yang dijalaninya. Terlihat jelas ia sangat percaya diri, yakin dengan tujuannya, optimis dengan masa depannya kendati belum tahu kelanjutan pendidikannya. Sebuah keyakinan dan optimisme yang didasari dari spiritual quotient yang baik. Meski terlahir dari keluarga miskin, sudah tak punya ibu yang melimpahinya kasih sayang, tak membuat Rizal menjadi anak liar yang menghujat takdirnya.

[caption id="attachment_322783" align="aligncenter" width="402" caption="Desi dengan slondok di tangan, siap menjajakan disela-sela jam sekolah (foto : www.merdeka.com)"]

13993565121313217427
13993565121313217427
[/caption]

Desi pun demikian. Saat Alfito menanyakan hendak jadi apa ia kelak, tegas Desi mengatakan ia memilih jadi pengusaha nanti selepas kuliah. Tak ingin bekerja di perusahaan atau instansi, pancing Alfito. “Tidak!”, sekali lagi Desi yakin dengan pilihannya. Sebab menjadi pegawai itu terbatas, orang bayaran tak bisa mengembangkan penghasilannya, beda dengan pengusaha, katanya. Alfito sampai mengatakan dirinya merasa tersindir, meski sambil tertawa lepas.

Desi yakin sekali ia bakal bisa mengembangkan bisnis jualan slondoknya. Sekarang ia sedang mencoba juga merintis jualan kerupuk rambak (kerupuk kulit). Prinsipnya, berjualan apa saja, asal tak melanggar hukum dan halal, pasti akan membawa barokah. Desi tak ingin meminta uang pada bapaknya yang hanya jadi buruh bangunan serabutan. Karena itu tekadnya untuk terus berjualan seiring dengan asanya untuk bisa melanjutkan kuliah nanti. Alfito sempat mencandainya, apa tak ada keinginan untuk mendekati teman wanita. Dengan lugas Desi menjawab : nanti kalau kuliahnya sudah selesai, usahanya sudah sukses, dengan sendirinya akan ada wanita yang mendekati. Kontan jawabannya itu disambut tawa ngakak Alfito.

==========================================

Rizal dan Desi, sedikit contoh anak miskin dari daerah yang bertekad kuat untuk terus sekolah, tanpa meminta orang tuanya membiayai, mereka mencari jalan keluar sendiri. Sungguh kontras dengan realitas anak-anak kota besar, yang umumnya bergaya dengan gadget model terbaru dan tercanggih yang didapat dengan merengek pada orang tua, membawa motor atau mobil milik orang tua, lalu petantang petenteng kesana kemari. Di saat remaja lain mengisi waktu senggang dengan hura-hura, ikut geng motor atau bahkan tawuran, keduanya tak melewatkan waktu untuk berjuang mengais rejeki demi menggapai asanya.

Dari cara keduanya menjawab pertanyaan, sikap tubuh (gesture) dan mimik wajahnya yang penuh percaya diri, serta kalimat-kalimat bernas yang mengalir dari mulut keduanya, tampak mereka memiliki kepribadian yang sudah matang. Tidak labil seperti umumnya anak sebayanya, yang masih suka ikut-ikutan teman mereka. Keduanya sudah menemukan jatidirinya, sudah yakin dengan konsep dirinya, sama sekali tak perlu merasa malu hanya karena gengsi. Mereka berdua tak merasa perlu menjadi orang lain, tak merasa perlu menutupi keadaannya, sebab mereka yakin betul apa yang dijalaninya sekarang sudah benar.

Kedua sosok pelajar miskin dari daerah itu sudah mampu mewujudkan “ing ngarso sung tulodo”, setidaknya menjadi teladan bagi saudara dan teman-temannya, termasuk bagi kita orang dewasa yang mungkin bahkan masih lebih suka bertopeng demi gengsi, masih malu mengakui jati diri sendiri dan memilih menjadi orang lain agar terlihat lebih berkelas. Mereka juga mampu “mangun karsa” (memotivasi) dirinya sendiri sejak kecil, justru karena kesulitan yang mendera. Setiap tahun, ketika hasil UN di umumkan, kerap kali para peraih nilai tertinggi justru berasal dari sekolah ndeso atau sekolah kota kecil, bukan sekolah “wah” dengan label mentereng. Anak-anak juara pun umumnya berasal dari keluarga kelas menengah bawah, yang ironisnya kesulitan biaya untuk bisa terus menyekolahkan anak mereka.

Memang figur para pemenang selalu lahir dari tempaan kesulitan dan segunung hambatan. Tidak ada petarung sejati yang lahir dari kemudahan dan banyaknya fasilitas. Kalau anak pejabat atau anak pengusaha kaya bisa dengan mudah masuk ke sekolah mahal bertaraf internasional, lulus SMA tinggal sebut saja hendak melanjutkan kemana, bahkan ke luar negeri sekalipun, itu hal biasa, tak ada yang istimewa karena semua fasilitas tersedia. Tapi kalau anak ndeso, dari keluarga miskin, letak sekolah saja jauhnya belasan kilo meter, untuk bisa sekolah harus berjibaku dulu mengalahkan kemalasan, rasa letih dan gengsi, fasilitas belajar jauh dari memadai, tapi mereka bisa menyelesaikan SMA apalagi bisa kuliah, tentu ini hal yang sangat luar biasa. Sesuatu yang didapat dari pengorbanan dan perjuangan panjang, biasanya berbuah manis.

Semoga ada perhatian serius dari Pemerintah daerah setempat atau lembaga yang punya kepedulian pada pendidikan, untuk Rizal dan Desi, agar asa keduanya untuk melanjutkan kuliah tak putus begitu saja. Saya berdoa keduanya kelak bisa jadi pemimpin, minimal menularkan pengaruh baik di lingkungannya, bermanfaat bagi lebih banyak orang. Anak-anak seperti inilah yang membuat saya masih bisa optimis, bahwa di negeri ini masih tersisa generasi penerus yang bisa diharapkan.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun