Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya (Anti) Antri dan Mentalitas Gratisan/Diskonan

12 Mei 2014   21:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_323397" align="aligncenter" width="460" caption="Kerusakan Taman Bungkul Surabaya akibat terinjak-injak ribuan massa (foto : news.detik.com)"][/caption]

Orang Jawa punya falsafah mensyukuri apapun yang terjadi dalam kondisi terburuk sekalipun. Biasanya selalu terucap “untung mung ngene, gak ngunu” (untung hanya begini, tak sampai begitu). Kalau mau dicari “untung”nya dalam acara Wall’s Ice Cream Day di Surabaya Minggu pagi kemarin, untungnya adalah : tak ada korban jiwa, tak ada anak kecil terinjak-injak, tak ada yang pingsan. Selebihnya cuma rugi, taman kebanggaan arek-arek Suroboyo yang sudah mendapat penghargaan internasional, hancur lebur berantakan dalam waktu singkat, padahal menatanya butuh waktu 10 tahun dan memakai dana APBD yang tak sedikit.

Kericuhan pembagian es krim Wall’s gratis seolah melengkapi sederet chaos antrian apa saja. Ramadhan 2009, di Pasuruan seseorang membagikan zakatnya secara langsung pada ribuan orang. Sejak Subuh, ribuan orang sudah mengantri di depan pintu gerbang pagar rumah sang pengusaha. Tak sedikit dari mereka datang dari luar kota, sudah berusia lanjut atau kaum ibu menggendong balita. Tiba saat pembagian zakat yang waktu itu hanya selembar pecahan 20 ribuan, suasana chaos tak bisa dihindari. Semua berebut ingin mendapat lebih dulu. Kalau bisa, yang sudah mendapat menjulurkan tangan lagi. Akibatnya, puluhan orang terluka dan pingsan karena terinjak-injak, 21 nyawa melayang sia-sia. Sebelumnya, entah tahun berapa saya lupa, pernah juga terjadi ricuh saat pembagian daging qurban yang ironisnya justru terjadi di Kepolisian. Massa membludak susah diatur dan semua ingin menang sendiri. Masih mending kalau pengantri memang benar-benar kaum fakir yang kesehariannya tak mampu membeli daging. Sebagian dari pengantri justru sengaja antri untuk mendapatkan daging gratis yang akan dijual lagi.

[caption id="attachment_323398" align="aligncenter" width="320" caption="Korban antrian zakat di Pasuruan tahun 2009 (foto : ramadhan.detik.com)"]

13998769641125154147
13998769641125154147
[/caption]

Nopember 2011, ricuh BlackBerry harga diskon terjadi di mall Pacific Place, salah satu mall elite yang terletak di kawasan bisnis di jantung kota Jakarta. BlackBerry Bellagio yang baru di-launching dengan harga bandrol Rp. 4,6 jutaan, saat itu ditawarkan dengan harga diskon 50% untuk 1000 pembeli. Sehari sebelumnya, peminat sudah antri mendaftarkan diri untuk mendapatkan gelang penanda. Antrian untuk mendapatkan gelang saja dimulai sejak Kamis siang jam 2 dan baru dibagi petang harinya jam 18.00. Calon pembeli bahkan rela menginap di pelataran mall sejak jam 22.00 malam harinya. Akibatnya, Jumat, peminat membludak hingga melebihi kuota.

Ricuh tak terhindarkan, 4 orang pingsan dan 1 orang patah tulang. Untung polisi sigap menghentikan acara. Nah lho! Apakah mereka orang miskin? Tentu saja bukan! Mereka rela bolos kerja demi bisa klaim dialah pemilik pertama gadget type terbaru. Padahal, membelinya harus pakai kartu kredit, artinya pembeli adalah pemilik kartu kredit, bukan orang tak berpunya. Kalau saja mau bersabar tanpa harus ingin menjadi pemilik pertama begitu barang di-launching, para pemegang kartu kredit itu bisa membelinya dengan harga normal namun dengan skema pembayaran diangsur 3-12 bulan. So..., yang miskin rebutan zakat dan daging qurban, yang kaya rebutan smartphone type terbaru. Kedua kelompok itu mempertontonkan perilaku yang sama barbar-nya : siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia menang. Aku ada karena aku mendapatkannya!

[caption id="attachment_323399" align="aligncenter" width="663" caption="Antrian BlackBerry Bellagio di Pacific Place (foto : bisnis.news.viva.co.id)"]

13998770421592255205
13998770421592255205
[/caption]

=====================================

Pagi ini saya membaca Jawa Pos online, makin miris lagi, tak tahu harus berucap apa. Ini kesaksian salah satu pengunjung Car Free Day di Taman Bungkul, yang anaknya berminat ingin mendapatkan es krim gratisan, namun urung karena ia lebih mementingkan keselamatan anaknya agar tak ikut berdesakan di antara ribuan orang. Berikut kesaksiannya yang saya kutip dari Jawa Pos : “Anak saya sempat menangis ketakutan di antara kerumunan itu. Ribuan orang menyerbu 30 gerobak es krim Walls. Dalam waktu 15 menit rebutan es krim itu bubar. Ada banyak orang yang mendapatkan es krim begitu banyak. Saking banyaknya, es krim tersebut dibawa dengan kaus. Anak saya beruntung dikasih satu es krim oleh orang itu.” (Waduh, saya bayangkan itu kaos sudah basah keringat karena usai jogging di seputaran Taman Bungkul, jadi es krim-nya aroma keringat, rasanya nano-nano! – Pen.)

Nah kan? Mana bisa berlaku adil dan jujur kalau sudah ada pembagian gratisan. Sampai-sampai tangannya tak sanggup memegang, diwadahi dengan kausnya. Kalau anda sering nonton National Geographic Wild, hewan buas di pedalaman rimba belantara Afrika sekalipun, setelah mengejar mangsa dan memakannya, begitu kenyang ditinggalkan, predator berikutnya yang akan menghabiskannya. Ketika sekumpulan hewan buas bersama-sama mengejar buruannya, begitu tertangkap, mereka menyantapnya beramai-ramai. Tak ada adegan saling sikut dan mencurangi anggota kelompoknya. Jadi, apakah kita manusia lebih barbar dari hewan buas sekalipun?

[caption id="attachment_323400" align="aligncenter" width="400" caption="Bu Risma tercenung menekuri taman kebanggan warga Surabaya kini hancur dalam sekejap (foto : news.detik.com)"]

13998771131320889174
13998771131320889174
[/caption]

=====================================

Memecahkan rekor MURI, itu agenda “bergengsi” yang akhir-akhir ini banyak dikejar produsen fast moving consumer goods product (FMCG) untuk mempromosikan dagangannya. Persaingan ketat di sektor yang sama, membuat nyaris tak ada produk dengan brand loyalty yang kuat. Mana yang memberikan harga diskon, itu yang dipilih. Sekedar contoh, setiap akhir bulan saya belanja di sebuah supermarket besar, setiap bulan pula saya dapati selalu ada merk minyak goreng yang sedang diskon 10-20% dari harga normal. Tiap bulan, merk yang di diskon pihak retailer berbeda-beda, bergantian. Tapi selalu saja stok ludes, tanpa pandang merk apa. Begitupun detergen pencuci baju, selalu saja ada yang sedang diskon dan item diskon itulah yang laris sampai ada batasan pembelian. Artinya, orang tak lagi fanatik pada merk tertentu, tapi orientasinya pada harga.

Kembali ke soal memecahkan rekor MURI, saya tak paham apakah MURI menerima begitu saja proposal yang diajukan, tanpa mengevaluasi nilai tambah dari pencapaian rekor tersebut. Saya pernah nonton di TV, produsen suatu merk mie instant menggelar acara pemecahan rekor MURI, makan mie instant terpanjang. Peserta berjajar memenuhi jalanan, duduk berhadapan, makan semangkuk mie instan di tempat dan waktu yang sama. Sudah, begitu saja, tak ada yang istimewa selain jumlah massa yang berkumpul. Apakah yang jadi peserta kalangan kelas bawah yang miskin dan tak sanggup beli sebungkus mie instan? Tidak! Saya lihat keluarga-keluarga yang datang dan diwawancarai tergolong keluarga kelas menengah, yang saya rasa membeli paket hemat di Mc.* atau K*C juga masih sanggup.

[caption id="attachment_323401" align="aligncenter" width="275" caption="Pemecahan rekor MURI memasak mie instant dengan peserta terbanyak. Tak ada prestasi hanya banyak-banyakan peserta (foto : www.indofood.com)"]

1399877611335976952
1399877611335976952
[/caption]

Pernah juga dulu diadakan pemecahan rekor MURI mencuci bersama oleh produsen suatu merk sabun cuci. Kalau tak salah ingat, di taman Monas juga pernah ada acara memecahkan rekor MURI keramas bersama oleh produsen shampoo merk tertentu. Acara seperti ini memang murah meriah. Produsen hanya tinggal menyediakan produknya dalam jumlah tertentu, lalu undang massa lewat iklan di media cetak atau radio. “Anda akan tercatat sebagai peserta memecahkan rekor MURI”, mungkin begitu iming-imingnya. Massa pun datang dengan sendirinya, membludak, target jumlah minimal peserta pasti terlampaui. Yang lebih penting lagi : mereka datang atas inisiatif sendiri, tanpa perlu diberi uang transport! Nah lho! Padahal, untuk mendatangkan massa ke kampanye parpol saja perlu rekrut koordinator massa dan tidak gratis, harus siap saweran uang bensin dan nasi bungkus. Artinya : acara memecahkan rekor MURI kalau hanya mengandalkan jumlah massa, benar-benar sebuah acara yang murah meriah bagi produsen penyelenggara.

Namun, adakah dampak manfaat sosialnya? Merujuk kejadian di Surabaya, pembagian es krim gratis itu malah menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Tak hanya Taman Bungkul yang rusak, jalur hijau di jalan Raya Darmo sepanjang 1 km mulai depan Graha Wonokoyo hingga traffic light depan KBS rusak. Juga pepohonan di sekitar jalan Progo hingga Bengawan. Di Taman Bungkul sendiri, tak kurang 40-an jenis tetumbuhan dan bebungaan mati dan hancur terinjak-injak massa, 5 jenis diantaranya termasuk tanaman langka. Padahal, pepohonan dan aneka tetumbuhan itu tak bakal tumbuh dalam waktu sepekan. Entah berapa milyar dana yang dibutuhkan untuk menyulapnya kembali seperti semula. Meski pihak Unilever menyatakan siap mengganti rugi, Tri Rismaharini tak membuang waktu, bersepatu boots warna pink dengan sapu serta pacul di tangan, kemarin Risma langsung turun tangan memimpin timnya untuk membenahi Taman Bungkul.

Ternyata, yang dilakukan Wall’s tak hanya di Surabaya, tapi juga di Bandung dan Jakarta. Di Bandung digelar di Balai Kota Bandung dan menimbulkan kemarahan dan kegeraman Ridwan Kamil, Walikota Bandung, sebab menyebabkan kemacetan parah di sejumlah ruas jalan dan menyisakan lautan sampah, ribuan bungkus es krim berserakan di mana-mana dan ditinggalkan begitu saja. Kemarin, warga Surabaya yang melintasi jalan Raya Darmo pun sempat terhalang kemacetan parah. Seorang teman menulis komentar di FB saya, putranya memaksa ingin ikut pesta Wall’s karena diajak sepupunya. Acara yang semula diinfokan di Plaza Senayan, ternyata harus berjalan kaki ke sekitar pelataran yang stand-standnya jelas tak sanggup menampun ribuan orang. Jam 8 pagi, es krim sudah habis dan ribuan kepala dengan menahan haus harus pula kecewa.

[caption id="attachment_323403" align="aligncenter" width="460" caption="Sampah sisa acara Wall"]

13998777161657763543
13998777161657763543
[/caption]

Layakkah rekor MURI disematkan jika tak ada manfaat yang bisa dirasakan pihak ketiga? Jika Unilever ingin memberi manfaat, kenapa mereka tak mengajak saja anak-anak Panti Asuhan? Kalau pemecahan rekor difokuskan di Surabaya, maka ajak semua anak panti asuhan se-Surabaya untuk bersama-sama menikmati es krim gratis. Selain jumlahnya lebih bisa diprediksi, koordinasinya juga mudah, sebab anak-anak lebih mudah diatur ketimbang orang dewasa. Siapkan tempatnya di lapangan yang benar-benar luas, banyak tempat di Surabaya bisa dipilih. Atau undang anak-anak jalanan, jaring mereka dari rumah-rumah singgah, terminal-terminal tempat mereka mangkal, sewakan angkot menuju ke lokasi. Ajak pula anak-anak pemulung yang hidup di sekitaran lokasi TPA.

Bukankah es krim itu akan lebih terasa nikmat jika penerimanya anak-anak yang memang jarang bisa menikmati es krim? Maaf saja, es krim yang dibagikan bukan jenis yang mahal. Mereka yang antri pun bukan orang yang tak sanggup membeli es krim seharga 3000 perak. Tapi begitulah mentalitas bangsa kita, selama itu gratisan, harga berapapun seolah cukup berharga untuk dipertaruhkan. Panitia yang tak berpikir panjang, lalai mengantisipasi – acara di Surabaya bahkan tak mengantongi ijin – ditambah perilaku warga yang gampang euphoria, jadi paduan klop untuk ricuh.

[caption id="attachment_323405" align="aligncenter" width="300" caption="Antrian di depan mini market di Jepang pasca gempa dan tsunami, untuk membeli bahan makanan dan minuman (foto : happymirai.blogspot.com)"]

13998784541560780397
13998784541560780397
[/caption]

Saya pernah menyaksikan tayangan bagaimana warga Jepang tertib antri pembagian bantuan pangan. Pasca gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan prefektur Fukushima, para pengungsi hidup dalam kondisi mengenaskan dan sangat butuh bantuan. Ketika bantuan didistribusikan, mereka antri dengan tertib, tak tampak ada yang berusaha mendahului, berebut dan saling sikut. Semuanya tenang sehingga pembagian bantuan bisa lancar. Bandingkan dengan aktivitas serupa di tenda-tenda pengungsian pasca bencana di Indonesia. Bahkan ketika ada evakuasi pun, warga dengan tertib antri menuju bis yang akan membawa mereka. Satu persatu naik bis, mungkin bagi kebanyakan orang Indonesia itu terlalu lama, padahal harus buru-buru. Tapi ternyata, justru dengan tertib dan disiplin, tak ada insiden yang tak perlu dan memperlambat proses evakuasi.

[caption id="attachment_323407" align="aligncenter" width="600" caption="Antri bahan bakar di Jepang pasca tsunami (foto : baltyra.com)"]

1399878527441162543
1399878527441162543
[/caption]

Orang Jepang memang paling hebat budaya antrinya. Mereka bangga bisa melakukan antrian dengan tertib dan disiplin. Lalu, apa yang kita banggakan sebagai budaya bangsa? Sudah tak terbiasa tertib dan disiplin antri, masih ditambah mentalitas yang gampang larut dalam euphoria saat ada woro-woro pembagian barang gratisan atau diskonan. Jangan-jangan, kalau ada perusahaan rokok mau memecahkan rekor MURI dengan tagline “sejuta orang merokok bersama”, bisa-bisa para smokers dari berbagai penjuru kota siap datang, tak peduli apapun merk rokoknya. Sama dengan rekor mie instan, tak peduli apapun merk dan rasa mie-nya, atau es krim Wall’s tanpa perlu tahu es krim jenis apa yang digratiskan. Sedih rasanya, sudah merdeka hampir 70 tahun, mentalitasnya kok banyak yang masih seperti itu. Dan terjadi di hampir semua lapisan masyarakat : yang melarat, yang sedang-sedang saja, sampai yang lumayan kaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun