Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Racun Popularitas di Usia Dini Merusak Psikis Anak

13 Agustus 2014   00:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:42 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tapi ternyata kecepatan saya bertemu dan berkumpul dengan orang-orang shaleh kalah cepat dengan ketemu pejabat, artis, selebritis...” begitu kata Aa’ Gym dalam acara Satu Jam Lebih Dekat (SJLD) di TV One, mengomentari soal popularitas yang memabukkannya dulu, yang kemudian membuat hidupnya terasa hampa. “Di rumah, anak-anak pada kabur kalo bapaknya datang. Sementara di luar ibu-ibu malah antri minta foto bareng. Padahal, yang asli mah orang-orang terdekat”, sambungnya. Aa’ Gym menyesali saat-saat yang ia sebut “mengurus anak asal-asalan” karena semua waktu sudah habis untuk tampil di televisi, memenuhi undangan ceramah dimana-mana dan bertemu sejumlah tokoh dan orang penting. Begitulah popularitas telah merampas waktu yang berharga dan menjauhkannya dari keluarga sendiri (anak-anak dan orang tua).

Kalau orang dewasa yang sudah punya banyak pengalaman, plus pemahaman agama bagus seperti Aa’ Gym saja masih bisa “limbung” dengan popularitas, apalagi seorang anak yang sejak kecil sudah hidup dalam popularitas dan sorotan media massa. Kalau orang dewasa saja bisa merasa hampa karena seluruh waktunya sudah habis terbagi untuk pihak lain, apalagi anak-anak yang dipaksa mematuhi serangkaian jadwal syuting yang padat untuk sinetron kejar tayang dan pemotretan untuk produk iklan. Belum lagi dikuntit pemburu berita infotainment. Tentu membuat mereka bukan saja kehilangan waktu belajar dan bermain, namun juga kehilangan hak untuk menjadi diri sendiri yang mungkin ingin marah, ngambek, kesal. Sesuatu yang wajar dilakukan anak seusianya, tapi jadi terlarang untuk dilakukan seorang bintang cilik yang harus selalu senyum ceria.

Tahun 2012 lalu, ada seorang anak (kalau tak salah usianya 12 th) yang jadi bintang iklan beberapa produk dan sempat membintangi sinetron meski bukan sebagai pemeran utama, yang sempat menggegerkan karena penolakannya terhadap ibu kandungnya. Gadis cilik itu menolak ibu kandungnya hanya karena ia merasa cantik dan berkulit putih sementara ibunya jelek dan berkulit hitam. Ia ragu apakah benar ia anak ibunya. Kemudian ia memilih ikut seseorang yang dipanggilnya “bunda”, yang sebetulnya bukan kerabat, hanya kenal di rumah produksi. Secara kelas sosial ekonomi, ibu kandungnya yang buruh cuci dan tinggal di rumah kontrakan di gang kampung dengan harga sewa Rp. 500 ribu, berbeda jauh dengan “bunda” yang kaya raya tapi rumahnya di Papua. Anak itu lari tanpa pamit meninggalkan ibunya hanya untuk ikut “bunda”. Bahkan ketika dipertemukan dengan ibu kandungnya oleh sebuah stasiun TV, si anak tetap ngotot benar-benar tak mau pulang ke rumah ibu kandungnya.

Anak itu yang sebenarnya (seharusnya) sudah cukup bisa mengerti, kalau ditanya apa cita-citanya, dia selalu jawab “jadi Miss Universe”. Dia tak paham bahwa Miss Universe itu cuma gelar yang disandang setahun saja, bukan sebuah profesi. Sepertinya anak itu meski di satu sisi kelihatan pintar (setidaknya mampu menghafal script dan dialog), tapi tampaknya pemikirannya jauh di bawah anak seusianya. Ironisnya lagi, si anak sudah tidak sekolah sejak umur 10 tahun. Alasannya : capek shooting! Dan si ibu menuruti saja keinginan anaknya. Setiap hari aktivitasnya hanya ke warnet, maklum shooting juga tidak sering karena sebenarnya tak terlalu ngetop meski dia cantik. Kalau sudah begitu, hanya tinggal penyesalan ibunya. Si anak lebih suka tinggal dengan orang lain yang mampu memberikan kemewahan – meski beda agama (“bunda” yang tinggal di Papua kebetulan Muslim sedang si anak dari keluarga non Muslim) – dan dianggap mampu mewujudkan keinginannya jadi Miss Universe. Sementara, pendidikan si anak justru terbengkalai, karena sejak awal ibu kandungnya menuruti saja keinginannya untuk tidak sekolah.

Joshua Suherman yang sejak masih cadel sudah populer berkat lagu “AIR” (diobok-obok, airnya diobok-obok...), pernah bercerita betapa dia menderita di sekolah, selalu di bully teman-temannya. Sampai akhirnya memilih home schooling karena tak tahan bullying.

Dan kini..., yang sedang ramai dibincangkan publik : tragedi Marshanda, mantan “bidadari” cilik yang sudah 2 kali mengunggah video di youtube yang menunjukkan kelabilan emosinya, sekejap tertawa terbahak, sedetik kemudian menangis pilu. Sebentar menghujat, kemudian memelas. Pada 2009 lalu Marshanda juga mengunggah video di youtube yang isinya caci maki dan sumpah serapahnya untuk teman-teman SD-nya. Chacha tampaknya menyimpan dendam pada teman-teman masa kecilnya, meski kejadian itu sudah lama berlalu (saat video diunggah Chacha sudah umur 19 tahun). Dendam itu tidak tuntas, lalu dilampiaskan dalam video yang tampaknya Chacha ingin semua orang tahu. Bukankah mengunggahnya ke youtube artinya dia ingin dilihat banyak orang? Begitu pun ketika dia merasa “kesal” dan ingin “menggugat” Tuhannya, Chacha sengaja merilis sebuah video curhat, yang diatur sedemikian rupa setting lokasi dan busananya. Padahal, sebelumnya Chacha pernah membuat pengakuan betapa ia nyaman berhijab.

Bukan hanya di Indonesia, Hollywood juga mencatat beberapa bintang besar yang sudah memulai akting sejak usia 3 – 4 tahun, namun di usia menginjak dewasa mereka jadi pribadi yang bermasalah, gamang, dirusak oleh popularitas. Salah satunya adalah Macaulay Culkin yang masuk industri hiburan sejak usia 4 tahun dan sangat populer sebagai aktor film maupun serial TV. Sebuah situs http://www.boxofficescoop.com/ memuat daftar 20 bintang top anak-anak yang masa depannya dirusak oleh popularitas. Berita itu dimulai dengan kalimat : “Hollywood can be a dream maker, but more often than not, it’s a dream breaker. The pressures put on child stars are enormous, and not all child actors can handle the stress, particularly if they don’t have the loving support of a sane family. Unfortunately, bright lights, fame and fortune sometimes come at a high price for such young blood.

Ironisnya, kini justru makin banyak orang tua yang ingin anaknya populer dengan cara sedini mungkin meng-endorse anak-anaknya ikut kontes popularitas, ajang pencarian bakat yang penjuriannya tidak murni karena kehebatan talenta tapi juga karena banyaknya SMS dukungan. Banyak ortu yang mengikutkan anaknya casting untuk jadi bintang iklan dan sinetron. Mereka bangga anaknya jadi bintang tenar, selebritis. Kalau perlu, jika ada salah satu anak yang populer dan laris di dunia hiburan, segera saja kakak atau adiknya diikutkan. Aji mumpung, mumpung dekat dengan produser dan rumah produksi. Padahal, mereka tak sadar sedang menjadikan anak mereka budak industri hiburan. Yang bisa sangat kejam merampas seluruh waktu sang anak dan menjadikan mereka robot-robot bernyawa yang seluruh hidupnya diatur oleh jadwal shooting, diikuti sorot kamera dan diintip jurnalis infotaiment yang siap memberitakan gosip apa saja tanpa perasaan. Makin buruk berita tentang mereka, makin ramai dibahas.

Para orang tua yang bermimpi punya anak populer, ngetop, bisa jadi tulang punggung keluarga, sebaiknya berpikir ulang tentang kesiapan mental si anak dan masa depan psikisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun