Apakah yang terlintas dipikiran teman-teman tentang Tarakan ? Okay, Saya coba ganti pertanyaannya. Apa yang terlintas dipikiran teman-teman tentang Kalimantan? Jika Saya simpulkan dari pandangan dari beberapa teman-teman Saya, ada yang bilang semua barang pasti mahal, daerah penghasil minyak, dan masih banyak lagi. Memberi pendapat menurut Saya sah- sah saja, tetapi sebaiknya jangan langsung mengasumsikan sesuatu tanpa mencoba membaca maupun mengunjungi daerahnya dulu.
Pada tahun 2017, Saya pernah mengunjungi daerah Kalimantan Utara yaitu sebuah pulau yang disebut Tarakan. Jangan tanya sedang apa Saya disana, mari fokus saja dengan alur cerita yang akan Saya ceritakan disini. Saat itu Saya stay kurang lebih sepuluh hari dan Puji Tuhan kami diterima oleh sebuah keluarga kecil yang sudah kami anggap keluarga sendiri, sebentar Saya sapa mereka dulu (Hai mama Olin dan Papa Olin....).
Ketika berangkat ke Tarakan, Saya bersama seorang teman yang Saya panggil "Kak Emma" berangkat bersama melalui Bandara Kuala Namu, kemudian transit di Soetta (Jakarta), Sepinggan (Balik Papan) dan tiba di Bandara Juwita (Tarakan).
Setibanya di Juwita, kami dijemput oleh Papa Olin, ya... seperti pada umumnya, sesampainya dirumah kami bercerita dan saling martarombo (karna kami adalah suku batak dan pada umumnya diskusi pertama adalah membicarakan hunungan marga masing-masing dan melihat apakah ada garis keturunan yang sama) dan setelah martarombo kami memutuskan untuk saling menyapa dengan panggilan sesuai tarombo tadi.Â
Semuanya berjalan dengan baik. Setelah seluruh urusan utama kami selesai, waktunya untuk menikmati suasana Tarakan yang hangat lengkap dengan  keramahan  masyarakat disana. Saya memiliki lima rangkuman mengenai perjalanan Saya ke Tarakan yaitu Tarakan sebagai daerah penghasil minyak, Kuliner di Tarakan, Tempat Bersejarah di Tarakan,  Hutan Manggrove dan Harga Makanan di Tarakan.Â
Tidak salah jika banyak orang berpendapat bahwa Kalimantan adalah daerah penghasil minyak terbesar di Indonesia. Hal ini sudah saya buktikan sendiri. Teman-teman akan menemukan ada banyak alat penyedot minyak yang bertebaran di banyak lokasi bahkan dipinggir jalan sekalipun. Jangan heran jika beberapa alat penyedot minyak ini tidak beroperasi sama sekali, karna alat-alat penyedot minyak ini sudah sangat tua bahkan kebanyakan adalah sisa-sisa pada penjajahan Belanda dulu. Tetapi bagi alat penyedot minyak yang masih beroperasi, teman-teman akan temukan bagaimana alat ini bergerak menyedot minyak dengan suara alatnya yang cukup berat ditelinga.
Untuk Kuliner di Tarakan, Saya berkesampatan mencoba Kepiting Soka, nama restaurantnya adalah KFC (Kaltara Fried Crab). Restoran ini adalah restauran favorit di kota ini, hal ini dibuktikan dengan banyaknya artis dan para pejabat dari pemerintah pusat yang selalu mengunjungi restauran ini jika berkunjung ke Tarakan. Untuk Saya sendiri, ini adalah menu yang unik karna disinilah pertama kali Saya menikmati Kepiting Tulang Lunak yang tanpa cangkang.
Menu makanan berikutnya adalah Soto Banjar, Soto ini cukup berbeda dari Soto di Medan. Di Medan kita bisa menikmati soto dengan tambahan santan, sementara di Tarakan sajian soto tidak dimasak dengan Santan. Berikutnya adalah buras, ini seperti sejenis lontong yang dibungkus dengan dedaunan dan biasanya dimakan sebagai pengganti nasi. Yang tidak kalah menyenangkan adalah adalah sajian makanan seafoodnya. Menurut Saya sajian seafood disini sangat beragam dengan harga yang cukup miring.
Sajian seafood ini juga dimasak dengan ala nasional dan Saya rasa semua orang bisa menikmatinya. Saat itu kami berkesempatan menikmati sajian seafood di Pantai Amal (Saya lupa apakah di pantai Amal lama atau baru). Sajian seafood yang murah ini sebenarnya tidak begitu mengherankan karena ternyata hasil laut disini sangat murah, Saya dan Kak Emma pernah mengunjungi pusat penjualan ikan disana dan memang harga-harga ikan sangat murah dengan kualitas ikan yang masih sangat fresh. Sebagai contoh, ikan tongkol di brandol dengan harga lima ribu rupiah perkilonya (harga di tahun 2017). Sangat murah bukan?
Selain meriam ada juga beberapa bunker-bunker peninggalan sejarah yang bisa dikunjungi. Situs-situs bersejarah ini tidak hanya berupa meriam dan bunker, tetapi masih banyak tempat sejarah yang dapat dikunjungi jika teman-teman sangat tertarik dengan sejarah Tarakan. Sejarah tidak hanya berkaitan dengan peninggalan penjajahan, Budaya juga merupakan bagian dari sejarah, oleh karena itu
Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke Rumah Adat Tidung, sekilas menurut Saya sangat mirip dengan budaya melayu karena warna kuning yang mendominasi interior rumah adat tersebut. Â Tetapi setelah Saya amati lebih teliti, rumah adat ini sangat berbeda dengan rumah adat lainnya khususnya melayu.
Rumah adat ini berbentuk panggung (terbuat dari kayu ulin) dan memiliki struktur yang berbeda dan pastinya memiliki nilai-nilai filosofis tersendiri. Ketika mengunjungi rumah adat ini, pengunjung biasanya akan disajikan musik adat daerah setempat berupa instrumental yang sangat menenangkan hati pengunjung karena musik instrumental ini sangat lembut dan mendayu seakan mencoba memberikan rileksasi kepada para pengunjungnya.
Saat ini, Saya tetap merasa hewan punya peran penting dalam kehidupan manusia dan memberikan banyak pengaruh terhadap bumi. Oleh karena itu, tidak lengkap rasanya jika  pergi ke Tarakan tanpa mengunjungi Hutan Manggrove Bekantan.
Jika di Medan (tepatnya Bukit Lawang) kita bisa temukan Orang Utan, di Tarakan kita bisa temukan Bekantan (monyet hidung panjang). Bekantan ini hidup di Hutan Manggrove yang merupakan kawasan konservasi dengan luas kurang lebih 22 hektar. Jalan untuk menyusuri hutan ini adalah jambatan panjang yang terbuat dari kayu ulin.
Sangat disayangkan disaat itu tak ada satupun Bekantan yang muncul. Saya mendapat informasi bahwa hewan Bekantan ini adalah hewan yang sangat pemalu, Â mungkin inilah sebabnya kami tidak menemukan Bekantan disaat itu.
Menurut info yang Saya dengar saat itu, harga-harga yang menjulang tinggi lebih kepada hasil pertanian, mungkin karena hasil pertanian tidak cukup baik di pulau tersebut. Orang-orang di Tarakan juga tidak kalah dengan orang-orang di kota-kota besar lainnya, hal ini dibuktikan dengan pengamatan Saya ketika berada di taman berlabuh.
Mereka sama sekali tidak ketinggalan dalam pemahaman teknologi. Pada saat itu, saya malah cukup kaget melihat suasana di taman berlabuh, sudah banyak anak-anak yang bermain dengan Smart Balance Wheel dan Grab Wheels. Disaat itu alat ini masih jarang ditemukan, bahkan untuk Grab Wheels malah penyewaannya masih baru-baru ini diadakan  di Soetta.Â
Sebenarnya ada satu tempat yang harus dikunjungi disekitar Tarakan yaitu Pulau Derawan. Â Pulau ini mirip dengan Raja Empat di Papua. Semoga suatu hari bisa mengunjungi Derawan. See you teman-teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H