Kita sudah melampaui Ramadan, Idulfitri (termasuk lebaran ketupat)  dengan riang gembira. Terlebih kita juga sudah menuntaskan Pemilihan umum yang punya angka partisipasi tinggi dalam sejarah. Meski kini dalam proses sengketa pemilu, namun kita sudah bisa meraba siapa pemimpin kita ke depan.
Saya berani menyatakan bahwa tahun ini adalah tahun yang sangat inklusif. Semua pihak bahu membahu saling peduli. Pada saat momen Ramadan kita sempat alami 'war takjil'. Situasi dimana non muslim dan muslim sama-sama mencari takjil dengan motivasi berbeda. Yang muslim karena tengah berpuasa, sedangkan non muslim mencari takjil  karena mereka menemukan beberapa makanan yang jarang ditemui sehari-hari .
Situasi yang mungkin saja menimbulkan konflik itu  ternyata terjadi sebaliknya. Para penjual senang dagangannya cepat laku, para muslim harus cepat membeli takjil, karena jika tidak akan kehabisan. Para non muslim juga membeli dengan sewajarnya. Itui situasi yang mungkin tidak akan terjadi di negara lain jika tidak terbiasa dengan perbedaan.
Aura positif , penuh kegembiaraan juga terjadi saat Idulfitri. Kita tahu pemerintah sudah memberi cuti bersama cukup banyak, Umat muslim sudah jauh-jauh hari merencanakan untuk mudik, bertemu dengan para orangtua dan kerabat. Dan karena libur yang begitu panjang, Non muslim juga banyak melakukan perjalanan ke kota asal, untuk sekadar belibur atau kesempatan tepat untuk reuni keluarga. Banyak sekali pertemuan atau reuni yang terjadi saat idulfitri . Ini kitab isa lihat di media-media sosial.
Ini membuktikan kepada kita bahwa sejatinya Idulfitri bukan hanya milik umat muslkim atau hari raya agama. Namun lebih dari itu, idulfitri atau lebaran dipresepsikan sebagai milik seluruh bangsa Indonesia. Hari itu diterima oleh semua umat dan disambut dengan riang gembira oleh semua orang juga dengan bermacam keyakinan dan etnis.
Fenomena inklusif ini tentu membahagiakan kita semua. Tidak semua bangsa mampu merobohkan sekat-sekat perbedaan yang ada dan menikmati suasana bersama sama dengan riang gembira. Bagi non muslim, idulfitri juga mereka nikmati karena bisa bertemu dengan banyak saudara atau pulang kampung dan bertemu mereka. Â
Jika kita dalami bersama, banyak sekali keluarga di Indonesia yang sesaudara tapi beda iman. Kita misalkan  keluarga besar Prabowo Subianto, calon presiden Indonesia. Prabowo sebagai anak ketiga adalah muslim, dua kakak perempuannya beragama Katolik, sedangkan adik laki-laki Prbowo beragama Protestan.Â
Hal ini lazim ada di tanah air. Bisa kita temukan di beberapa daerah di Jawa, di Bali dan beberapa wilayah di Indonesia. Apakah sesaudara ini saling membenci dan bermusuhan ? Jawabannya pasti tidak. Mereka merayakan Natal dengan makan bersama atau lebaran dengan mengunjungi adik atau kakak yang muslim itu. Inklusifitas itu sudah mendarah daging di Indonesia.
Sampai di sini, kita seharusnya bersyukur bisa hidup bersama dengan damai di tengah perbedaan. Kebinekaan adalah takdir kita , sehingga kita tidak perlu mengubahnya menjadi sama . Itu sama saja dengan membuat hal yang lebih buruk. Mari bersama membangun Indonesia yang penuh kebinekaan dan nilai-nilai toleransi ini menuju arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H