Mohon tunggu...
Sri Ken
Sri Ken Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Swasta

Suka masak sambal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Literasi Digital

29 Maret 2019   12:33 Diperbarui: 29 Maret 2019   12:42 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan Februari lalu, masyarakat Jawa Barat khususnya Karawang dikejutkan dengan video berdurasi 59 detik yang memperlihatkan sejumlah ibu-ibu tengah berbicara dengan seseorang didepan rumah. Video itu memperlihatkan ibu-ibu berusaha memberitahu (baca : mempengaruhi) rang tersebut soal pilihan calon di Pilpres.

Dalam bahasa Sunda terdengar pada video itu bahwa mereka berusaha mengajak agar tidak memilih capres tertentu dalam Pipres nanti, karena jika terpilih suasana Indonesia diprediksi akan berbeda. Kata mereka dalam lanjutkan ajakan : jika si A terpilih maka tidak ada suara azan, tidak ada lagi terdengar anak-anak ngaji, kaum perempuan tidak boleh berkerudung, perempuan dengan perempuan boleh kawin dan sesama laki-laki boleh menikah.  Tak peak video itu viralmenimbulkan pro kontra serta rasa resah di sebagian rakyat.

Tiga orang ibu-ibu tersebut berdasar UU ITE pasal 28 ayat 2 tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap individu ataupun kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan suku , agama , ras dan antar golongan dengan ancaman hukuman enam tahun atau denda sebesar 1 Miliar.

Apa yang dilakukan oleh tiga ibu-ibu dalam narasi adalah penyebaran berita bohong atau hoax. Terlepas dari apapun, tidak mungkin pasangan calon presiden tidak membolehkan rakyatnya menunaikan ibadah  seperti sholat dan mengaji, karena secara jelas bahwa Negara kita berdasarkan Pancasila dimana setiap agama yang diakui oleh Pemerintah dilindungi hak setiap anggota masyarakat untuk beribadah sesuai dengan agamanya itu. Apalagi Islam di Indoensia punya pemeluk agama paling besar yaitu sektar 82,5 % sehingga hasutan itu nyaris tidak terbukti.

Hoax di Indonesia amat sering menjebak masyarakat kita terlebih karena literasi digital yang relative minim. Masyarakat Indonesia terbiasa dengan gawai yang canggih dimana satu berita dapat dengan mudah bertukar dengan orang lain tanpa melalui filter apapun. Karena sebagian besar masyarakat belum paham bagaimana mengenali sebuah kabar itu benar atau palsu. Karena bisa saja sebuah berita meski dibawa atau dikirim oleh orang tenar sekalipun juga  bisa saja mengandung hoax.

Sebuah hoax pasti menyesatkan. Jarang sekali hoax tidak menyesatkan. Dan jangan lupa hoax selalu merugikan masyarakat karena informasi yang dikandungnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seperti apa yang dilakukan oleh tiga orang ibu di kabupaten Karaang tersebut adalah hoax  dan layak untuk segera diproses aparat keamanan.

Karena itu, seyogyakan kita yang paham bagaimana berliterasi digital  bisa membimbing orang lain atau masyarakat yang minim pengetahuan literasi digital. Sederhana saja , yaitu dengan memastikan berita yang didapat itu dengan berita lainnya di media online atau media mainstream . Dengan membandingkan maka kita akan segera paham mana berita yang benar.

Jika ini dilakukan oleh setiap orang maka bangsa kita akan relative aman dari bahaya hoax.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun