A. Teori Fraud Hexagon (Fraud Hexagon Theory)
Fraud Hexagon adalah pengembangan dari Fraud Triangle, Fraud Diamond, dan Fraud Pentagon. Fraud Triangle theory yang dikenalkan oleh Cressey Donald (1953) dalam penelitiannya yang berjudul "Other People's Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement". Pada penelitiannya tersebut dijelaskan terdapat tiga faktor pada situasi fraud, yaitu:
1. Pressure (Tekanan)
Cressey dalam Theodorus M (2018) menyimpulkan bahwa tekanan sebagai masalah keuangan
seseorang yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain atau dalam bahasa inggris disebut dengan perceived nonshareable financial need. Cressey juga menjelaskan bahwa terdapat masalah non keuangan tertentu yang dapat diselesaikan dengan mencuri uang atau asset lainnya, jadi dengan melanggar kepercayaan yang terkait dengan kedudukannya.
2. Opportunity (Peluang)
Opportunity (Peluang) merupakan peluang yang memungkinkan kecurangan terjadi. Hal ini dapat terjadi akibat dari pengendalian internal yang lemah, kurangnya pengawasan, atau penyalahgunaan wewenang. Cressey dalam Theodorus M (2018) berpendapat bahwa terdapat dua komponen persepsi tentang peluang yaitu:
a. General information, yaitu pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi.
b. Technical skill, merupakan keahlian atau atau keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan kecurangan.
3. Rationalization (Rasionalisasi)
Rationalization (Rasionalisasi) adalah mencari kebenaran atas tindakan kecurangan yang dilakukan oleh pelaku. Seseorang yang melakukan kecurangan akan merasionalisasi perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya (Cressey dalam Tuanakotta, 2018).
Teori kecurangan selalu mengalami perkembangan. Teori kecurangan yang muncul setelah fraud triangle yaitu fraud diamond theory yang dikembangkan oleh D. T. Wolfe & Hermanson (2004). Fraud diamond merupakan penyempurnaan dari fraud triangle yang dicetuskan oleh Cressey Donald (1953). Fraud diamond menambahkan satu komponen sebagai komponen keempat setelah pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), rationalization (rasionalisasi) yang diyakini berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan, yaitu kemampuan (capability).
Menurut D. T. Wolfe & Hermanson (2004), kecurangan tidak akan terjadi tanpa orang yang tepat dengan kemampuan yang tepat. Tekanan, peluang dan rasionalisasi dapat mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, namun menurut D. T. Wolfe & Hermanson (2004) orang tersebut harus memiliki kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan adanya peluang untuk melakukan kecurangan.
Perkembangan teori selanjutnya yaitu Fraud Pentagon Theory yang dikemukakan oleh Jonathan (2011) yang merupakan pengembangan dari teoriteori sebelumnya. Fraud pentagon menyempurnakan dan menambahkan komponen dari teori sebelumnya dengan mengenalkankomponen kompetensi (competence) dan arogansi (arrogance). Sehingga pada teorinya memuat lima komponen yaitu pressure (tekanan), opportunity (peluang), rationalization (rasionalisasi), competence (kompetensi), dan arrogance (arogansi). Kompetensi (competence) pada teori ini memiliki arti dan maksud yang sama dengan kemampuan (capability) pada teori sebelumnya yaitu fraud diamond theory oleh D. T. Wolfe & Hermanson (2004). Menurut Crowe (2011), kompetensi (competence) merupakan kemampuan karyawan untuk mengesampingkan kontrol internal, mengembangkan strategi penyembunyian, dan untuk mengendalikan situasi sosial demi keuntungannya dengan menjualnya kepada orang lain. Komponen penambahan selanjutnya yaitu arogansi (arrogance), dimana menurut Crowe (2011) merupakan sikap superioritas atas hak yang dimiliki dan merasa bahwa control internal atau kebijakan perusahaan tidak berlaku untuk dirinya.
Teori terbaru mengenai kecurangan yaitu fraud hexagon theory yang dikemukakan oleh Georgios L. Vousinas dari National Technical University of Athens, Athens, Greece pada tahun 2017 dalam tulisannya yang berjudul "Advancing theory of fraud: The S.C.O.R.E. Model." Teori ini merupakan pengembangan dari teori kecurangan sebelumnya yaitu teori fraud triangle yang dikemukakan oleh Cressey Donald (1953), teori fraud diamond yang dikemukakan oleh (Wolfe and Hermanson 2004), dan teori fraud pentagon yang dikemukakan oleh Jonathan Marks (2011). Fraud hexagon terdiri dari enam komponen yaitu stimulus (tekanan), capability (kemampuan), collusion (kolusi), opportunity (kesempatan), rationalization (rasionalisasi), dan ego. Enam komponen dalam teori fraud hexagon merupakan hasil pengembangan dari teori fraud triangle, fraud diamond, dan fraud pentagon dengan menambahkan komponen collusion (kolusi). Terdapat perbedaan pada teori ini yaitu pada nama komponen yang digunakan. Beberapa komponen dengan nama yang berbeda pada teori ini memiliki arti yang sama dengan teori-teori sebelumnya.
Komponen tekanan pada teori ini disebut dengan stimulus, dimana memiliki arti yang sama dengan pressure (tekanan) yang telah stimulus, dimana memiliki arti yang sama dengan pressure (tekanan) yang telah dijelaskan pada teori sebelumnya oleh Cressey Donald (1953), D. T. Wolfe & Hermanson (2004), dan Marks (2011). Selanjutnya adalah komponen ego yang memiliki arti yang sama dengan arrogance (arogansi) telah dijelaskan sebelumnya oleh Marks (2011) pada teori fraud pentagon. Komponen yang ditambahkan pada teori fraud hexagon adalah komponen kolusi (collusion). Menurut Vousinas, kolusi merupakan kerjasama yang dilakukan oleh beberapa pihak baik oleh kelompok individu dengan pihak di luar organisasi, maupun antarkaryawan di dalam organisasi. Pada saat kecurangan kolusi terjadi, karyawan yang jujur akan ikut serta melakukan kecurangan dikarenakan lingkungan organisasi yang tidak jujur. Akibatnya, lingkungan yang tidak jujur ini akan semakin berkembang dan menjadi budaya organisasi yang sulit untuk dihilangkan. Vousinas juga menjelaskan bahwaia seseorang dengan kepribadian yang persuasif akan lebih mudah untuk mengajak lingkungannya untuk melakukan kecurangan. Kolusi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan yang dimiliki untuk mengambil posisi orang lain.
B. Fraud Tree
Penipuan di tempat kerja merupakan tindakan karyawan, manajer, pejabat, atau pemilik organsisi melakukan Fraud yang merugikan organisasi atau perusahaan tersebut. Tiga jenis utama Fraud yaitu : Korupsi, Penyalagunaan Aset, dan Kecurangan Laporan Keuangan. Klasifikasi lengkap penipuan pekerjaan, yang sering disebut dengan Fraud Tree.
1. Korupsi (Corruption)
Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion) (ACFE, 2000). Sedangkan pada fraud tree, korupsi digambarkan pada ranting-ranting yaitu : conflict of interest, bribery, illegal gratuities, dan economic extortion. Korupsi merupakan fraud yang paling sulit dideteksi karena korupsi biasanya tidak hanya dilakukan oleh satu orang akan tetapi melibatkan pihak lain. Bentuk korupsi menurut Priantara (2014).
2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)
Penyalahagunaan aset dapat digolongkan ke dalam 'Kecurangan Kas' dan 'Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya', serta pengeluaranpengeluaran biaya secara curang (ACFE, 2000). Asset misappropriation merupakan jenis kecurangan yang mudah dideteksi karena dapat diukur dan sifatnya yang berwujud. Berdasarkan fraud tree, asset misappropriation dibagi menjadi dua kecurangan yaitu penyalahgunaan kas serta penyalahgunaan persediaan dan aset lainnya. Penyalahgunaan aset dalam bentuk penyalahgunaan kas terdiri dari tiga kategori, yaitu theft of cash on hand, theft of cash receipts, dan fraudulent disbursements.
3. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji (misstatement) yang material dan juga memberika keyakina yang memadao atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan. Mekanisme misstatement terdiri dari dua bentuk yakni kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Menurut standar pengauditan, factor yng membedakan kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat salah saji dalam laporan keuangan berupa tindakan sengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001).
C. Kasus Fraud di Indonesia
Kecurangan (fraud) merupakan sebuah perbuatan yang dilakukan secara sengaja baik dalam bentuk individu ataupun suatu pihak yang merugikan pihak lainnya demi mendapatkan keuntungan masing-masing. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2018) menuliskan dalam laporannya, bahwa tindakan kecurangan mengalami pertumbuhan sepanjang berjalannya waktu yang diawali dengan niat buruk seseorang untuk bertindak melakukan kejahatan secara sengaja yang merugikan perusahaan ataupun entitas yang beroperasi, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan guncangan dalam perekonomian. Pihak perusahaan harus memperhatikan dengan seksama bahwa hal ini bukanlah sebuah hal sepele yang mudah ditangani, karena pelaku kejahatan pasti memiliki banyak strategi untuk dapat menjalani aksinya. Pihak perusahaan harus dapat mengidentifikasi risiko yang menimbulkan kecurangan agar dapat menekan kerugian seminimalisir mungkin dengan meningkatkan pengendalian internal yang berjalan dalam perusahaan, dimana kejahatan dapat berjalan dengan melakukan pencurian asset, manipulasi laporan keuangan, kerjasama antar karyawan, dan lainnya (Sari & Nugroho, 2020).
PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPS Food) adalah perusahaan yang bergerak di sektor makanan dan minuman, terkenal dengan produk seperti mie kering dan beras. Perusahaan ini sempat menjadi salah satu perusahaan besar di industri makanan Indonesia dengan kode saham AISA di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun, skandal manipulasi laporan keuangan dan praktik bisnis yang tidak sehat menghancurkan reputasinya. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 2018, pemegang saham mengajukan investigasi terhadap laporan keuangan 2017 dan menunjuk Ernst & Young Indonesia (EY) untuk melakukan audit kembali atas laporan keuangan tahun 2017.
Kasus fraud yang terjadi pada PT Tiga Pilar Sejahtera dapat dijelaskan melalui beberapa faktor yang kompleks. Salah satu penyebab utama adalah lingkungan pengendalian intern yang lemah. Perusahaan yang tidak memiliki struktur pengawasan yang kuat cenderung lebih rentan terhadap kecurangan. Di PT Tiga Pilar Sejahtera, kurangnya prosedur audit yang ketat dan monitoring transaksi keuangan secara aktif memungkinkan manajemen untuk melakukan manipulasi laporan keuangan tanpa terdeteksi.
Lingkungan budaya perusahaan juga berperan penting dalam fenomena ini. Bila budaya perusahaan tidak menekankan etika dan integritas, maka karyawan mungkin merasa terdorong untuk mengikuti jejak manajemen dalam melakukan kecurangan. Selain itu, motivasi pribadi dari manajemen, seperti bonus berbasis kinerja, dapat mendorong tindakan curang demi keuntungan pribadi. Ketika manajemen merasa bahwa keberhasilan mereka diukur berdasarkan kinerja finansial, mereka mungkin tergoda untuk melakukan manipulasi demi keuntungan pribadi.
Teknik shenanigans keuangan yang digunakan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera juga merupakan indikator yang kuat. Contohnya, perusahaan mungkin menggunakan metode pencatatan pendapatan terlalu cepat, seperti mencatat pendapatan sebelum produk dikirim atau diterima oleh pelanggan. Atau, mereka mungkin mengakui pendapatan fiktif, seperti mencatat penerimaan kas dari peminjaman sebagai pendapatan. Semua ini merupakan bentuk manipulasi yang dapat menyembunyikan kondisi keuangan sebenarnya dan menipu investor.
Dalam rangka mencegah ulangnya kasus fraud di masa depan, PT Tiga Pilar Sejahtera perlu memperkuat pengendalian intern, meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan, dan mempromosikan budaya perusahaan yang menekankan integritas. Langkah-langkah ini akan membantu mengurangi risiko kecurangan dan mempertahankan kepercayaan investor.
D. Pembahasan
Berdasarkan pembahasan kasus dan analisa terhadap laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), perusahaan telah melakukan tindakan fraud yaitu merekayasa laporan keuangan tahun 2017 dengan menggelembungkan laba bersih perusahaan dan menyebabkan harga saham perusahaan yang melonjak, tindakan kecurangan ini telah membawa kerugian terhadap investor dan para pemangku kepentingan lainnya.
Berdasarkan analisa perbandingan laporan keuangan tahun 2017 sebelumnya dengan laporan setelah disajikan kembali terdapat penggelembungan dengan total lebih dari 5 triliun rupiah terutama pada akun aset tetap terdapat penggelembungan sebesar Rp 2,35 triliun, akun piutang usaha sebesar Rp 1,63 triliun dan akun persediaan sebesar Rp 1,31 triliun. Peningkatan piutang usaha tentu akan menyebabkan penggelembungan pada akun penjualan neto yang berselisih cukup besar sejumlah Rp 2,97 triliun.
Dari proses persidangan kasus ditemukan adanya dugaan pelarian dana ke perusahaan milik manajemen lama yang seharusnya sebagai pihak berelasi akan tetapi dilapor hanya sebagai pihak ketiga dan menggunakan dana hasil pencairan pinjaman dan deposito yang sebagai gantinya direkayasa denganmeningkatkan angka piutang usaha sebagai hutang yang belum tertagih. Dengan ini dapat ditemukan bahwa AISA telah melakukan pelanggaran yaitu mengakui adanya pendapatan fiktif sebagai pendapatan dengan mencatat penjualan yang tidak memiliki substansi ekonomi di mana penjualan tersebut dari arti ekonomisnya tidak pernah terjadi transaksinya sehingga tidak boleh diakui sebagai pendapatan perusahaan.
Manajemen lama mencatat dana hasil pencairan pinjaman sebagai piutang usaha yang merupakan mengakui kas diterima dalam transaksi pinjaman sebagai pendapatan. Dalam kasus ini, telah melanggar Undang-undang Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal dan Keputusan Bapepam No. KEP-412/BL/2009 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu.
Kasus fraud yang terjadi pada PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk merupakan contoh nyata dari praktik shenanigans keuangan yang melibatkan manipulasi laporan keuangan untuk menyembunyikan kondisi finansial yang sebenarnya. Perusahaan ini terlibat dalam beberapa teknik kecurangan, termasuk pencatatan pendapatan terlalu cepat dan pengakuan pendapatan fiktif. Misalnya, mereka mencatat pendapatan sebelum produk dikirim kepada pelanggan atau mengakui pendapatan dari transaksi yang tidak memiliki substansi ekonomi. Selain itu, perusahaan juga diduga melakukan pengalihan biaya dari periode saat ini ke periode mendatang untuk memperlihatkan laba yang lebih tinggi. Lingkungan pengendalian internal yang lemah dan tekanan untuk menunjukkan kinerja positif kepada investor menjadi faktor pendorong terjadinya kecurangan ini. Akibat dari praktik tersebut, kepercayaan investor menurun, dan nilai saham perusahaan mengalami penurunan drastis, menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam laporan keuangan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
E. Penyebab terjadinya kasus fraud pada PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk
Kasus fraud yang terjadi pada PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk merupakan contoh dari praktik financial shenanigans, di mana manajemen perusahaan melakukan manipulasi laporan keuangan untuk menyembunyikan kondisi finansial yang sebenarnya. Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kasus fraud di perusahaan ini:
1. Lingkungan Pengendalian yang Lemah
Perusahaan dengan pengendalian internal yang lemah cenderung lebih rentan terhadap kecurangan. Pada PT Tiga Pilar Sejahtera, kurangnya prosedur pengawasan dan audit yang ketat memungkinkan manajemen untuk melakukan manipulasi tanpa terdeteksi1.
2. Tekanan untuk Menampilkan Kinerja Positif
Manajemen sering kali merasa tertekan untuk menunjukkan hasil keuangan yang baik kepada investor dan pemangku kepentingan. Dalam upaya untuk meningkatkan harga saham dan menarik investasi, mereka mungkin menggunakan teknik manipulasi seperti pencatatan pendapatan terlalu cepat atau mengakui pendapatan fiktif1.
3. Penggunaan Teknik Manipulasi Keuangan
PT Tiga Pilar Sejahtera diduga menggunakan berbagai teknik shenanigans keuangan, antara lain:
Pencatatan Pendapatan Terlalu Cepat: Mencatat pendapatan sebelum produk benar-benar dikirim atau diterima oleh pelanggan.
* Mencatat pendapatan dari transaksi yang tidak memiliki substansi ekonomi, seperti penjualan kepada pihak terafiliasi tanpa adanya transaksi yang sah
* Menggeser pengeluaran dari periode saat ini ke periode mendatang untuk memperlihatkan laba yang lebih tinggi saat ini1.
4. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Praktik pelaporan yang tidak transparan dan kurangnya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan juga berkontribusi pada terjadinya fraud. Ketidakjelasan dalam laporan keuangan dapat mempersulit pemangku kepentingan untuk memahami kondisi sebenarnya dari perusahaan.
5. Motivasi Manajerial
Motivasi pribadi dari manajemen, seperti bonus berbasis kinerja atau tekanan dari pemegang saham, dapat mendorong tindakan curang. Ketika manajemen merasa bahwa keberhasilan mereka diukur berdasarkan kinerja finansial, mereka mungkin tergoda untuk melakukan manipulasi demi keuntungan pribadi.
6. Budaya Perusahaan
Budaya perusahaan yang tidak menekankan etika dan integritas dapat menciptakan lingkungan di mana kecurangan dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk mencapai tujuan bisnis. Jika karyawan melihat bahwa tindakan curang tidak ditindaklanjuti atau bahkan dihargai, mereka mungkin merasa terdorong untuk mengikuti jejak tersebut.
Dengan memahami penyebab-penyebab ini, PT Tiga Pilar Sejahtera dapat mengambil langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif untuk menghindari terulangnya kasus fraud di masa depan.
F. Pencegahan kasus fraud pada PT Tiga Pilar Sejahtera, Tbk
Untuk mencegah terjadinya kasus fraud di PT Tiga Pilar Sejahtera, beberapa langkah strategis dapat diimplementasikan berdasarkan teori-teori fraud dan praktik terbaik dalam pengendalian internal. Berikut adalah beberapa cara pencegahan yang dapat diterapkan:
1. Memperkuat Pengendalian Internal
* Melakukan audit internal secara berkala untuk memastikan bahwa semua laporan keuangan akurat dan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Audit ini juga dapat membantu mengidentifikasi potensi risiko fraud sebelum menjadi masalah besar.
* Memastikan bahwa tidak ada satu individu yang memiliki kontrol penuh atas semua aspek transaksi keuangan. Misalnya, pemisahan antara fungsi penerimaan kas dan pencatatan akuntansi.
2. Menerapkan Kebijakan Etika yang Kuat
* Mengembangkan dan menerapkan kode etik yang jelas bagi semua karyawan, termasuk konsekuensi bagi mereka yang melanggar. Ini membantu menciptakan budaya perusahaan yang menekankan integritas.
* Memberikan pelatihan kepada karyawan tentang bagaimana mengenali dan melaporkan kecurangan serta pentingnya etika dalam bisnis.
3. Meningkatkan Pengawasan dan Pengendalian
* Menyediakan saluran pelaporan anonim bagi karyawan untuk melaporkan kecurangan atau perilaku tidak etis tanpa takut akan pembalasan.
* Menggunakan teknologi untuk memantau transaksi keuangan secara real-time dan mendeteksi anomali yang dapat menunjukkan adanya kecurangan.
4. Mengadopsi Teori Fraud Hexagon
* Memahami enam komponen dalam Fraud Hexagon (stimulus, capability, collusion, opportunity, rationalization, ego) dapat membantu perusahaan mengidentifikasi potensi risiko fraud di dalam organisasi.
* Mengurangi tekanan finansial pada karyawan melalui program kesejahteraan.
* Memastikan bahwa hanya karyawan yang berkompeten yang memiliki akses ke informasi sensitif.
* Mendorong transparansi dan komunikasi antar departemen untuk mengurangi kemungkinan kolusi.
5. Transparansi dalam Laporan Keuangan
* Menyusun laporan keuangan dengan transparan dan jelas agar mudah dipahami oleh pemangku kepentingan, serta melakukan pengungkapan penuh terhadap transaksi afiliasi dan potensi konflik kepentingan.
* Mengundang auditor eksternal untuk meninjau laporan keuangan secara independen guna meningkatkan kredibilitas laporan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari kasus fraud di PT Tiga Pilar Sejahtera adalah bahwa praktik shenanigans keuangan dapat memiliki dampak yang merugikan tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi pemangku kepentingan, termasuk investor dan karyawan. Kasus ini menunjukkan bagaimana manipulasi laporan keuangan, seperti pencatatan pendapatan terlalu cepat dan pengakuan pendapatan fiktif, dapat dilakukan untuk menyembunyikan kondisi keuangan yang sebenarnya dan meningkatkan citra perusahaan di mata investor. Selain itu, lingkungan pengendalian yang lemah dan tekanan untuk menunjukkan kinerja yang baik berkontribusi pada terjadinya kecurangan ini. Fenomena ini menekankan pentingnya pengawasan internal yang kuat, transparansi dalam pelaporan keuangan, serta budaya perusahaan yang menekankan etika dan integritas untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Dengan demikian, perusahaan perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk memperbaiki sistem pengendalian internal dan mempromosikan akuntabilitas guna melindungi nilai pemegang saham dan reputasi perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H