Mohon tunggu...
Iqlima Naqiyya
Iqlima Naqiyya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi UIN SUKA ILKOM 23107030056

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar Asik dengan Mengenalkan Budaya Indonesia di Hoikuen Jepang

7 Juni 2024   22:11 Diperbarui: 8 Juni 2024   09:06 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak sedang mempraktekkan cara menganyam, Hoikuen Hikari Kodomoen, Kanazawa, Prefektur Ishikawa | Dokumentasi Pribadi

Setelah hampir 2 bulan berada di Negara Sakura, saya sudah dapat menyimpulkan jika Jepang adalah kota yang sibuk. Di mana semua orang berbondong-bondong untuk bekerja ataupun menempuh pendidikan. Maka dari itu hampir semua wilayah di Jepang pasti terdapat Daycare atau biasa disebut dengan Hoikuen.  

Tempat tersebut memberikan pelayanan berupa penitipan anak ketika orang tua sedang bekerja ataupun untuk pra-sekolah. Salah satunya adalah ketika kami mendapatkan kesempatan untuk mengajar di Hoikuen Hikari Kodomoen, Kanazawa, Prefektur Ishikawa. Pada saat itu kami mengajar anak yang berusia sekitar 3-4 tahun.

Di sana kami ditemani oleh Matsui, orang Jepang yang menikah dengan orang Indonesia dan sudah lancar berbahasa Indonesia. 

Mengajar di sana tidak semudah mengajar Taman Kanak-kanak (TK) di Indonesia karena keterbatasan bahasa menjadi salah satu penghalangnya. Terutama mengajar anak-anak yang pasti memiliki berbagai pertanyaan serta rasa keingintahuan yang sangat tinggi. Maka dari itu, kadang kami kesusahan untuk menanggapi serta harus menggunakan google translate ataupun hanya mengangguk-anggukan kepala sebagai bentuk untuk merespon.  

Untuk tingkat day care tidak mungkin kami mengajarkan pelajaran umum seperti matematika, sains, ataupun pelajaran umum lainnya. Maka kami mendapatkan saran untuk membacakan sebuah cerita. Darisitu kami berpikir untuk membacakan cerita dengan memakai bahasa Indonesia dan memberikan pengetahuan terkait kreasi khas Indonesia.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Kemudian kami mengambil keputusan untuk membacakan cerita legenda "Malin Kundang" dengan memberikan sebuah peraga tokoh seperti pewayangan. 

Setibanya di hoikuen, kami disambut hangat oleh pemilik dari sekolah tersebut. Ia menjelaskan bahwa di hoikuen tersebut terdapat tiga lantai, dengan fasilitas yang sangat memadahi seperti; pintu tidak otomatis guna mencegah anak keluar dengan sendirinya, lift, taman bermain, serta kelas yang nyaman untuk belajar-mengajar. 

Sebelum memulai acara, Matsui membuka kelas dengan memberikan sedikit pengetahuan mengenai Indonesia. Mulai dari jumlah penduduk, keberagaman, pulau-pulau yang ada, bahkan terkait cuaca di Indonesia.

Pada saat itu terdapat satu anak yang menanyakan kepada Matsui "itu yang dipakai di kepala kakaknya apa?" seraya menunjuk salah satu dari kami. Di situlah Matsui menjelaskan bahwasannya "di Indonesia mayoritas menganut aga muslim, lalu muslim mengajarkan untuk menutup rambut, yang kakaknya pakai namanya hijab." 

Lalu kami-pun memperkenalkan dan mereka menyambut kami dengan sangat hangat. Setelah itu langsung saja kami membacakan cerita legenda "Malin Kundang" menggunakan Bahasa Indonesia yang kemudian diterjemahkan oleh Matsui. Pada saat itulah saya merasakan perbedaan dengan sikap anak-anak yang ada di sana, di mana mereka benar-benar memperhatikan tanpa ada yang ramai atau bahkan sampai lari-lari. Mereka mendengarkan dengan seksama.

Setelah cerita selesai dibacakan, banyak sekali anak-anak yang bertanya "apakah cerita itu nyata?" Kemudian kami menunjukkan foto batu Malin Kundang yang terdapat di Pantai Air Manis, Kota Padang. Sontak mereka berkomentar "wah berarti setelah ini aku harus membantu ibuku." Mereka langsung dapat menyimpulkan pesan yang terdapat dalam cerita tersebut.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Setelah membacakan cerita, dilanjutkan dengan mambuat kerajinan tangan khas Indonesia yakni menganyam. Biasanya menganyam dilakukan pada waktu menduduki bangku Sekolah Dasar (SD) dengan tema yang sedikit rumit. Pada kesempatan ini kami hanya menyiapkan kertas yang sudah dipotong-potong panjang sebagai isinya dan kertas persegi panjang sebagai alasnya.

Dengan sigap mereka langsung mempraktekkan apa yang sudah diajarkan, kami memutari setiap meja untuk membenarkan beberapa anak yang belum mengerti. Pada waktu itu kami merasa kewalahan karena untuk membenarkan pekerjaan mereka harus menggunakan bahasa Jepang, di situlah menjadi penghambatnya. Namun, akhirnya kami membenarkan dengan bahasa tubuh seraya dipraktekkan teknik yang benar.

Di saat kami memutari meja, tidak jarang dari mereka yang masih menanyakan terkait kebenaran cerita "Malin Kundang" tersebut. Mereka masih penasaran bagaimana Malin benar-benar dikutuk dan menjadi sebuah batu. Kami hanya bisa tertawa tanpa bisa menjawab pertanyaan tersebut, terkadang kami dibantu oleh guru yang mengajar di sana.

Setelah selesai kami-pun berpamitan untuk pulang. Sebelum beranjak pulang, Matsui mengajak anak-anak di sana untuk mengucapkan terima kasih dalam bahasa Indonesia. Dengan kompak mereka mengucapkan terima kasih dan memberikan kami sebuah "tos" satu-persatu.

Kami merasa sangat bangga mendapatkan kesempatan mengajar di salah satu sekolah yang ada di Jepang. Sekaligus mengajarkan kebudayaan yang ada di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun