Mohon tunggu...
Iqbal Themi
Iqbal Themi Mohon Tunggu... -

Penikmat Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentang Kereta Api dan Kereta Politik

6 Januari 2014   07:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi yang pernah mengalami naik kereta api, tentu bisa membayangkan bagaimana gerbong kereta api itu berjalan. Bermula dari stasiun sebagai titik awal keberangkatan, menanti penumpang. Penumpang yang telah memiliki tiket, masuk ke area dimana kereta berada. Lewat pintu masuk dan karcis diperiksa, oleh petugas.

Setelah berada di area pemberangkatan kereta, tiap penumpang bergegas mencari gerbong, yang menjadi tempat duduk mereka berada. Setelah waktu keberangkatan tiba, kereta pun berangkat melaju.

Menyerupai gerbong kereta api, gerbong kereta politik, yakni partai politik pun demikian. Bermula dari Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai stasiun keberangkatan. Masyarakat yang memilik hak pilih - setelah mendapat tiket (baca: undangan memilih) - datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak suaranya.

Setelah kartu undangan diperiksa oleh petugas, pemilih pun mendapat surat suara. Lalu bergegas menuju bilik suara. Untuk memilih satu diantara calon anggota (DPR/D & DPD) dan Calon Presiden-Wakil Presiden yang ada. Dan ketika waktu pemilihan ditutup, petugas pun merekapitulasi hasil pemungutan suara.

Selang beberapa waktu, setelah semua rekapitulasi dihimpun dari TPS ke KPU (Kab/Kota/Prov/Pusat), maka keluarlah siapa pemenang pemilu. Menjadi anggota DPR/D & DPD serta Presiden-Wakil Presiden. Kemudian dilantik, gerbong kereta politik baru pun resmi melaju. Memimpin negeri selama lima tahun berikutnya. Begitulah selalu.

Kereta Api dipuji, Kereta Politik dicaci

Pertanyaannya, kereta mana yang paling mengenakan ditumpangi? Kereta api kah atau kereta politik? Menjawabnya tentu kita tak bisa melepas dari apa yang disebut fenomena lapangan. Iya, fenomena yang terjadi pada kedua kereta tersebut secara kekinian.

Pada kereta api - setidaknya dalam dua tahun terakhir - para penumpang semakin mengakui enaknya naik kereta api. Karena, pelayanan dan kenyamanannya yang semakin membaik. Dihapuskannya kereta api tak ber-AC, penumpang tak bertiket dilarang masuk peron, dihapuskannya tiket penumpang berdiri, penjualan tiket secara online dan dilarangnya pedagang asongan berjualan di dalam kereta merupakan bentuk inovasi visioner manajemen PT KAI. Alhasil, kereta api pun perlahan menjadi pilihan alternative utama para penumpang. Dan pujian semakin banyak berdatangan.

Lantas bagaimana dengan kereta politik? Jauh panggang dari api, kereta politik justru semakin dijauhi. Bahkan disebagian penumpang (baca: Pemilih), telah antipati menumpangi kereta politik. Jangankan hendak mendapatkan pelayanan dan kenyamanan sebagai penumpang, di kereta politik para penumpang justru disakiti.

Jika di kereta api, penumpang merasakan betul dampak dari sebuah inovasi. Maka di kereta politik, para penumpangnya baru bisa ikhlas saat terus menerus dibohongi. Saat inovasi kereta api berbuah prestasi dan manajemennya dipuji. Maka kereta politik baru bisa korupsi dan dicaci maki.

Akibatnya, kereta politik pun semakin tak diminati lagi. Dibeberapa stasiun keberangkatan (baca: Pemilukada) misalnya, jumlah penumpang (baca: Pemilih) semakin rendah: turun drastis. Karena, memberikan hak suara telah dirasa sebagai sebuah kesia-sian. Semata memberi izin awak kereta politik untuk berlaku semaunya. Mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ujung-ujungnya korupsi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun