Bicara pandemi memang tak ada habisnya. Sangat menjemukan, tapi sayang jika melewati tahun 2020 dengan tak melihat ke belakang. Di sini, saya tak akan lebih jauh membahas soal virusnya, karena biarkan para ahli saja yang bicara. Saya ajak Anda untuk fokus pada perubahannya.
Satu yang kita bisa sepakati, tahun ini mengubah banyak hal dalam hidup kita. Dari yang trivial, hingga fundamental. Untuk ke sana, saya akan fokus kepada kita, subyek utama yang mengalami perubahan-perubahan itu.
Namun, sebelum giliran Anda, cerita akan dimulai dari pengalaman saya.
Jika ada sejumlah hal yang berubah secara fundamental, atau secara langsung saya sadari belakangan ini, hal itu ada dua. Menyangkut hobi dan cara belajar.
Pertama, hobi.
Per definisi, hobi adalah kegiatan yang dilakukan di luar rutinitas dengan tujuan untuk relaksasi. Hobi pun dipandang sebagai kegiatan menyenangkan, bisa menyehatkan, dan mampu melepas stres. Selain itu, hobi juga berperan sebagai penentu identitas seseorang. Tapi, to some extent, hobi juga membutuhkan investasi jangka panjang, yakni materi, pikiran, dan waktu.
Orang-orang yang saya kenal memiliki hobi yang sangat beragam. Mulai dari bersepeda, mengumpulkan lukisan, membaca dan menumpuk buku-buku, koleksi gunpla, mengumpulkan hingga menjual mobil dan barang-barang antik, olahraga lari, hingga merawat tanaman-tanaman hias.
Untungnya, mereka sudah menjalani hobi-hobi tersebut sejak lama. Jauh sebelum keadaan (pandemi) memaksa mereka untuk mencari kegiatan baru pengisi waktu luang.
Inilah bedanya dengan saya. Ketika banyak waktu luang, saya kesulitan mencari kegiatan baru yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Jangankan dilakukan, terpikirkan pun tak pernah. Repot. Ribet. Berbeda dengan mereka yang mungkin tak perlu kebingungan mengisi waktu luang karena sudah punya hobi. Sedangkan saya tak punya.
Hingga suatu saat, saya mulai coba melakukan lagi hal yang tak pernah dilakukan lagi sejak kuliah, memasak. Namun, memasak saat ini harus naik kelas. Mulai dari resep, hingga peralatannya.
Untuk resep, saya habiskan waktu luang untuk membaca, menonton, dan mencermati resep-resep masakan di internet. Saya lebih tertarik menonton, karena penjelasannya lebih menarik dan mudah dimengerti. Biasanya, resep diambil dari celebrity cook populer yang ada di Youtube. Karena selain dijamin enak, beberapa resep mereka pun tak begitu rumit, baik dari bahan maupun peralatan.
Selain masak, aktivitas yang jadi lebih sering dilakukan semasa pandemi adalah berolahraga. Bukan olahraga outdoor, melainkan senam lantai yang bisa dilakukan indoor. Saya beranikan diri untuk melakukan 30-days challenge, dengan full workout selama lima hari dalam seminggu, dan dua hari break. Hasilnya lumayan, BMIÂ yang sebelumnya berada di ujung kanan area hijau, kini bergeser ke tengah bahkan cenderung ke kiri.
Walau keduanya memang relatif lebih sering dilakukan saat ini, apakah sudah cukup dikatakan sebagai hobi? Belum tentu!
Kalau cuma sesaat, tetap belum bisa dikategorikan sebagai hobi. Dalam hobi, ada fokus, energi, perhatian, kecintaan, dan pengetahuan yang telah berubah menjadi ilmu, yang pada suatu titik seseorang bisa tau banyak tentang yang dikerjakan, menjadi mahir di sana, hingga, at some point, menginspirasi orang lain untuk mengikutinya.
Meski demikian, efeknya sudah bisa langsung dirasakan. Ada instant reward ketika menjalani itu. Ketika memasak, perlahan-lahan rasa masakan jadi lebih enak, varian resep bertambah, dan sebagainya. Ketika rutin berolahraga, badan terasa bugar, pikiran lapang, tak mudah mengantuk, dan langkah kaki menjadi lebih ringan, misalnya.
James Clear, dalam bukunya yang berjudul Atomic Habits menyebutkan instant reward menjadi poin penting, agar kita terus terpacu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Ini juga berlaku jika kita ingin mengubah kebiasaan lama dengan kebiasaan baru.
Kedua, cara belajar.
Waktu luang memang banyak memberi kesempatan untuk melihat ke dalam. Salah satu yang disadari belakangan ini adalah seperti apa metode belajar paling efektif versi saya.
Saya senang membaca buku. Hampir setiap bulan, bahkan mingguan, pasti mencari judul-judul buku terbaru dari website maupun rekomendasi sejumlah orang. Namun, akhirnya saya menyadari, yang saya senangi bukan kegiatan membacanya, melainkan menerima informasinya.
Ada perbedaan di sini. Karena, membaca itu perlu effort, fokus waktu dan pikiran. Jika tujuannya adalah menerima informasi, membaca hanya satu pilihan. Pilihan lainnya adalah mendengar.
Maka, sejak dua tahun lalu, saya berlangganan paket audiobook. Dari situ, saya bisa menamatkan judul buku sambil melakukan aktivitas lain. Dan waktu terbaik untuk mendengarkan audiobook adalah di mobil dan malam hari sebelum tidur. Dan saya tak menyangka, berlangganan audiobook adalah salah satu investasi terbaik dan berdampak besar bagi saya di masa pandemi.
Faktanya, menumbuhkan keinginan untuk belajar bisa dilakukan dengan cara mendengar. Ketika mendengar, atau di fase pertama, pikiran terbuka terhadap hal-hal baru. Aktivitas mendengar harus spesifik, seperti mendengar audiobook, mendengar podcast dan news broadcast setiap pagi, juga mendengar dan berdiskusi dengan orang lain.
Maka, hal berikutnya yang harus dilakukan, di fase ketiga, adalah menuangkan informasi dan pengetahuan baru tersebut ke dalam tulisan. Ketika menulis dengan subyek tertentu, ada proses decluttering isi kepala dari hal-hal yang kurang relevan.
Proses ini yang membentuk kerangka berpikir dan kristalisasi gagasan. Menulis ibarat memahat. Pengetahuan akan membekas dan menjadi wisdom ketika kita berhasil menuliskannya.
Terlebih jika kita menulis dan menyampaikannya kepada orang lain, yang saya sebut sebagai fase terakhir dalam belajar. Cara menyampaikannya pun beragam, mulai dari artikel, video, podcast, email, newsletter, infografis, postingan media sosial, dan bentuk-bentuk lain sesuai kemampuan kita.
Robert Greene menuliskan, dalam bukunya yang berjudul Mastery, seseorang melengkapi fase belajarnya dengan mengekspose pengetahuan dan ilmu yang dimiliki kepada orang lain (experimentation).
Ekspektasinya adalah menerima respons audiens pada pandangan kita terhadap suatu subyek. Dari feedback, kita bisa menilai kualitas isi gagasan, format penyampaian, dan hal-hal lain yang perlu dikembangkan berikutnya.
Belajar selalu jadi momen yang membosankan, tanpa tujuan, karena kita tak memahami cara personal terbaik untuk belajar, dan tetap menyenangkan. Bagi saya, mendengar dan menonton untuk mendapatkan pengetahuan itu menyenangkan. Namun, untuk memahami dan mengerti suatu subyek, menulis dan mempublish itu menjadi keharusan.
Kalau bukan karena pandemi, saya mungkin tak menyadari hal ini. Dengan lebih banyak waktu luang yang berarti juga lebih banyak mendengar, lebih leluasa membaca, lebih fokus menulis, dan mencoba lebih teratur mempublish, akan lebih banyak pula hal-hal yang diserap dan dipelajari.
Hidup di masa pandemi memang membosankan. Namun, masih ada banyak hal yang bisa dilakukan agar kita tak tertinggal. Meski dua hari yang lalu Menteri Budi G. Sadikin mengumumkan adanya ancaman varian virus baru dari hasil mutasi virus terdahulu, kita selalu bisa menemukan cara untuk terus tumbuh, mempelajari hal baru, mengubah kebiasaan lama, dan beradaptasi.
Keadaan mungkin tak akan menjadi lebih mudah di tahun berikutnya, tapi kita selalu bisa menjadi lebih kuat dari biasanya.
***
Tulisan ini adalah bagian dari serial Post-Pandemic World. Artikel-artikel lain , baik dari serial-serial baru maupun yang telah ada akan kembali di 2021.
***
Sekarang giliran Anda, apa hal-hal baru yang dipelajari dan kebiasaan unik yang dilakukan selama pandemi kemarin?
Yuk share di kolom komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H