Libur akhir tahun sudah di depan mata. Momen liburan dan hari-hari spesial lain seperti ini biasanya kita gunakan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, atau bertukar kado dengan orang tercinta.
Namun, bagi banyak orang, termasuk saya, menentukan kado yang paling pas tak semudah mengedipkan mata.
Karena satu dan lain hal, kita masih tetap kebingungan dalam menentukan kado apa yang paling pas untuk diberikan. Misalnya harga, kegunaan, keunikan, hingga kebaruan.
Pusing Menentukan Kado
Dua hari yang lalu, salah seorang teman kantor saya mengakhiri masa tugasnya. Biasanya saya cuek ketika ada yang akan pergi. Namun, kali ini saya ingin mencoba hal yang berbeda dengan memberi kado.
Kebetulan, kami juga cukup sering terlibat dalam beberapa project. Anggap saja kado ini sebagai hadiah pertemanan dan ucapan terima kasih karena telah saling membantu selama hampir empat tahun ini.
Tak disangka, mencari kado tak pernah sesulit ini. Saya berusaha mengingat-ingat apa yang menjadi kesukaannya, atau apa yang saat ini menjadi kebutuhannya. Makin keras memutar otak, saya makin menyadari kalau tak banyak juga yang saya ketahui darinya.
Buktinya, menentukan kado yang pas saja begitu sulit dan ribet. Cocok atau tidak, sesuai kebutuhannya atau tidak, bahkan berapa budget yang harus dialokasikan untuk kado tersebut.
Sesaat saya merasa ada yang aneh. Kok, mau memberi kado saja harus banyak perhitungannya.
Nilai Sosial-Emosional dalam Kado
Ternyata, menurut Dan Ariely, garis pemisah tegas antara market norm dan social norm begitu tampak ketika kita akan menentukan kado. Dalam kultur modern, memberi kado tak dipandang sebagai wealth distribution, melainkan untuk memperkuat hubungan antarmanusia.
Maka, momen ini biasanya disebut dengan bertukar kado, bukan semata-mata memberi. Karena biasanya setiap orang, baik penerima dan pemberi kado, akan saling membalas kebaikan satu sama lain pada waktunya. Dengan begitu, setiap pihak akan fokus pada social value dari kado, tak terpaku semata-mata pada nilai materil dari barang tersebut.
Dalam tulisan yang berjudul Uang Memang (Bukan) Segalanya, kita telah membahas bagaimana manusia cenderung menyesuaikan usahanya dalam bekerja berdasarkan insentif yang Ia terima (market norms).