Oke, kalang kabut mungkin agak overstatement ya. Tapi, bisa jadi lho. Setelah delapan bulan pandemi, kehidupan kita memang banyak berubah. Everything's slowing down. Termasuk di dalamnya hubungan asmara yang sekarang jadi mandek.
Kok bisa? Begini.
Minggu lalu, saya sempat reconnect dengan sejumlah kawan lama. Ada yang sudah menikah, ada pasangan yang berencana akan menikah, ada juga yang masih jomblo. Salah satu di antara mereka sudah berpacaran hampir lima tahun sejak tingkat akhir kuliah sarjana. Saya tak begitu mengikuti bagaimana cerita mereka berdua, yang pasti hubungannya masih awet sampai sekarang. Dan yang laki-laki, teman saya ini, memang berencana akan melangsungkan pernikahan di medio 2020 lalu dengan pasangannya.
Semua berubah ketika pandemi menyerang.
Rencana-rencana yang telah disusun pun, bagi sebagian orang, termasuk Ia dan pasangannya berada di persimpangan. Beberapa faktor, seperti beban pekerjaan, intensitas bertemu, dan gaya komunikasi menjadi tiga hal yang secara radikal mengubah pola pikir mereka. Beban pekerjaan yang kian tinggi di masa pandemi, harus diseimbangkan dengan gaya komunikasi yang baru karena intensitas bertemu jadi tak tentu. Dari segala dinamika yang terjadi, akhirnya, keduanya menunda sementara rencana semula. Tampaknya, pandemic brings out the best and the worst in people.
Kaum Jomblo Sulit Melepas Lajang
Tak hanya pasangan muda, kaum lajang pun terkena imbasnya. Ketika bersosialisasi jadi sangat rentan terhadap penularan virus, kesempatan para lajang untuk bertemu lebih banyak orang dan menambah angka pertemanan di hidupnya pun menurun drastis. Singkat kata, mencari pasangan akan semakin sulit.
Dulu, peluang kita bertemu orang-orang baru begitu tinggi. Kita bekerja, belajar, beribadah di luar rumah. Kita pergi ke kampus, kantor, sekolah, rumah-rumah ibadah, mendatangi kelas dan seminar publik, melakukan aktivitas sosial di akhir pekan, dan nongkrong di cafe untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dari sana, kans kita untuk berkenalan dengan orang baru sangat terbuka.
Kini, semua hal tadi justru akan membahayakan kita dan keluarga di rumah. Sosialisasi langsung dan tatap muka dipandang sebagai faktor risiko. Artinya, generasi pandemi tak punya kesempatan yang sama dengan generasi-generasi sebelumnya. Mungkin saja, masa lajang generasi pandemi lebih lama ketimbang generasi sebelumnya, karena pernikahan yang tertunda atau bahkan tak menikah sama sekali. Lingkup pergaulan kian eksklusif. Lingkar pertemanan semakin kecil. Cari pasangan susah. Kencannya apalagi.
Banyak alternatif dicoba, termasuk dengan menggunakan dating apps populer untuk memperluas pertemanan. Namun, penggunaan dating apps dan media sosial pun  bukan tanpa risiko. Kasus-kasus seperti penipuan, kekerasan, pelecehan seksual, revenge porn, yang tak jarang juga berujung maut acap kali kita jumpai dan bisa saja terjadi pada kita dan keluarga jika kurang waspada.
Selain itu, untuk masuk ke jenjang selanjutnya, interaksi maya saja tak cukup. Hal-hal lain seperti quality time, act of service, hingga physical touch juga sangat penting untuk membangun ikatan emosional yang kuat (lihat Five Love Languages).  Dan ikatan ini tak terbentuk dalam waktu singkat.
Jangankan menjalin hubungan baru. Menjaga hubungan yang ada saat ini saja sudah cukup sulit. Bahkan selalu berada di ujung tanduk, alias terancam kandas. Karena setiap orang, saat ini, kondisinya sedang kurang optimal, baik secara personal, emosional, maupun finansial. Itulah mengapa, angka pernikahan semasa Perang Dunia dan Krisis Moneter sangat rendah. Ancaman terhadap kesehatan, risiko kematian, dan ekonomi yang tak stabil memang menguras tenaga, menyita waktu dan pikiran.
High Risk, High Stake
Kembali ke penggunaan dating apps tadi. Kencan online, di tengah krisis dan tingginya risiko tersebut di atas, masih jadi pilihan dan eskapis bagi banyak orang. Match Group, yang mengampu sejumlah apps kencan online beken seperti Tinder, OkCupid, dan Hinge, menyebutkan adanya peningkatan jumlah user sebanyak 11% untuk periode yang sama ketimbang tahun lalu. Namun, meski jumlah user meningkat, interaksi di dalamnya tak banyak berubah, cenderung menurun.
Dulu, user sangat trengginas dalam berinteraksi melalui dating apps. Tujuannya, match sebanyak-banyaknya, dan chat semua orang. Semakin banyak pilihan, semakin baik. Dopamine dan adrenalin terpacu. Semua serba cepat, instan, relatif mudah. Swipe, match, chat, meet-up. Cocok lanjut. Tak cocok tinggal.
Hingga, di awal-awal pandemi, tak ada seorang pun yang berani keluar rumah. Faktor-faktor utama, seperti bibit, bebet, bobot yang ditambah faktor risiko kesehatan secara langsung membuat user lebih selektif dalam memilih orang-orang baru yang dikenal melalui dating apps maupun media sosial. Proses skrining profil menjadi lebih ekstensif. Is this person worth the risk or not?
Apps kencan online pun terus berinovasi. Kini, banyak apps dilengkapi dengan fitur video date. Sebagai langkah awal, ketika match, user bisa menggunakan video date. Lalu, lebih lanjut user juga bisa menggunakan apps video lainnya seperti Gmeet, Zoom, atau FaceTime. Tak perlu terburu-buru. Kenali satu sama lain sebelum memutuskan untuk bertemu secara langsung atau tidak. User menjadi kian cermat dalam mempelajari dan memperhitungkan faktor risiko, karena taruhannya terlalu mahal.
Maka terms & condition bisa saja berlaku. Misal, kapan waktu terbaik untuk kopi darat, kapan harus melepas masker ketika kencan, makan di tempat tertutup atau terbuka, bertemu di mana, apa yang boleh dilakukan, apa yang harus ditahan. Tak hanya berlaku pada orang yang baru dikenal, pasangan LDR pun mungkin harus melakukan hal yang sama. Bagaimana batasan-batasannya. Hal-hal di luar kesepakatan, seperti memeluk pasangan secara spontan, bisa membuat situasi jadi kikuk.
Ketatnya protokol kencan hari ini mungkin terdengar ribet. Tapi, kembali lagi, is this person worth the risk or not? Dan karena risiko tatap muka ini begitu tinggi, rasa kecewa yang muncul karena hal-hal di luar ekspektasi juga tinggi.
Long-term & committed relationship
Waktu terus bergulir, ketika sebagian kaum jomblo mulai kuatir kehilangan momentum melepas masa lajang. Namun, itu dulu. Sekarang, perubahan-perubahan ini memaksa banyak orang untuk beradaptasi. Dan siapa sangka, pandemi juga mengajarkan kita, kaum lajang, termasuk saya, cara pandang lain dalam menyikapi suatu hubungan.
Ketika slow, long-term, well-selected, high risk, high stake relationship menjadi jenis hubungan asmara model baru, hal-hal yang serba cepat, cepat kenal, cepat suka, cepat juga putus menjadi kurang menarik. It's not worth the time and effort.Â
Namun, bagi sebagian yang lain, bebannya juga tak kalah berat. Meski saat ini kita memasuki era Total Digital, kehadiran fisik, afeksi, dan physical touch masih menjadi hygiene factors dalam suatu hubungan yang lestari. Hal-hal yang tak pernah bisa digantikan dengan apapun sampai kapanpun.
Isolasi mandiri sedikit banyak membuat kita merenung dan membuka cakrawala. Kita bisa lebih jelas dan terang dalam menentukan apa yang benar-benar kita butuhkan saat ini, apa yang harus dirangkul, dan apa yang harus dilepas. Karena menjalin hubungan yang sehat, jangka panjang, membutuhkan kejujuran pada diri sendiri, dan keberanian untuk terbuka satu sama lain.
Tulisan ini diselesaikan ketika anak perempuan tetangga melangsungkan prosesi siraman secara virtual.
***
Artikel ini adalah bagian dari serial Post-Pandemic World. Tulisan baru, setiap Rabu dan Sabtu. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI