Seorang permaisuri nan cantik jelita termenung di depan istana, matanya memandang dari depan teras istana. Pikirannya sedang kalut dan campur aduk, rindu dengan kampung halamannya selalu membuncah di dalam dadanya. Negerinya yang di seberang lautan sudah tunduk di bawah sultan, ia dan sebagian besar rakyatnya harus menjadi bagian negeri Aceh Darussalam.
Si permaisuri yang cantik jelita tersebut bernama Putri Kamaliah Maharani, permaisuri negeri Pahang yang terkenal cantik jelita lagi baik budi. Takluknya Kerajaan Pahang di Semenanjung Utara Melayu oleh Kerajaan Aceh Darussalam tempo hari mengharuskan tradisi Glodong Pengareng-reng (rampasan perang) pada kerajaan yang menang. Salah satunya adalah menyerahkan putri kerajaan sebagai tanda tunduk sekaligus mempererat tali persaudaraan dari invasi penjajah dunia barat.
Sang permaisuri mampu menarik hati sang sultan hingga akhirnya mempersuntingnya, seorang sultan yang takuti dan disegani lawannya, namanya Sultan Iskandar Muda Meukata Alam. Luas wilayah kerajaannya terbentang luas di Selat Malaka, Semenanjung Melayu hingga sebagian Sumatra. Namanya masyhur dan mendapat junjungan di seluruh negeri.
Sang permaisuri pilihan sang sultan bukanlah permaisuri biasa, layaknya permaisuri umumnya yang hanya duduk manis di  atas singgasana kerajaan. Ia jadi ratu yang cerdas dan bijaksana dalam memutuskan persoalan rakyat Aceh sekaligus penasihat sang sultan di istana. Karena kebijakannya pada rakyat Aceh khususnya kaum wanita dan kaum papa, sang ratu mendapatkan julukan Putroe Phang oleh masyarakat Aceh.
Setelah pernikahannya tempo hari, sang sultan melihat gelagat kemurungan wajah sang permaisurinya setelah dipersunting. Ia tahu perasaan sang permaisuri meninggalkan negeri tercinta sungguh berat dan kecamuk di dalam jiwa, hidup di negeri Aceh Darussalam. Begitulah peraturannya berlaku, tak ada maksud hati sang sultan menyakiti permaisuri. Itu semua bertujuan menjaga kerajaan-kerajaan di Selat Malaka dari ancaman imprealisme Bangsa Portugis.
Segenap cara dilakukan Sultan untuk menghilangkan rasa rindu kampung halaman sang permaisuri. Sultan pun menitahkan para pekerja kerajaannya mendirikan sebuah taman bermain untuk sang ratu. Perwujudan perbukitan, telaga, dan taman bunga layaknya negeri sang permaisuri tinggal dulu. Hingga akhirnya lokasinya berhasil ditentukan oleh sang sultan, yakni Krueng Daroy. Sultan menitahkan para pekerja menggali kanal yang tersambung dengan aliran Mata Ie, sebagai lokasi ratu mandi dan para dayang-dayang.
Setelah pembangunan selesai, taman tersebut diberi nama Taman Ghairah. Lokasinya berada di belakang Kompleks Istana Kesultanan Darud Donya. Hingga sisa hidupnya, hari-hari sang permaisuri dihabiskan di Taman Ghairah, bersama para dayang-dayang sering memanjati Gunongan sekaligus lokasi mengeringkan rambut usai mandi di aliran sungai Krueng Daroy.
Sang sultan bukan hanya membuat kanal air saja, ia juga membangun sebuah pintu gerbang sebagai penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Nama pintu itu dinamakan Pinto Khop, tingginya 2 meter dari kapur perekat dan batu gamping. Hanya kalangan istana yang bisa memasuki gerbang tersebut. Kini sebagian sisa kerajaan saat ini masih ada dan terawat dan menjadi situs cagar budaya khas Kerajaan Aceh Darussalam.
 Menjejak Sejarah Panjang Krueng Daroy
Menjejaki sejak awal Koetaradja berdiri telah berlangsung 814 tahun, bermula pada masa Sultan Johan Syah menjadi Sultan pertama Kerajaan Aceh Darussalam. Ia mendirikan Koetaradja pada hari Jumat 1 Ramadan 601 H (22 April 1205 M). sejak itulah Koetaradja sudah terkenal sebagai kota dengan akses transportasi air terbaik.