Mohon tunggu...
M. Iqbal
M. Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Part Time Writer and Blogger

Pengamat dan pelempar opini dalam sudut pandang berbeda. Bisa ditemui di http://www.lupadaratan.com/ segala kritik dan saran bisa disampaikan di m.iqball@outlook.com. Terima kasih atas kunjungannya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Budaya Saman Gayo dalam Jelajah Alam Leuser

3 Januari 2019   10:30 Diperbarui: 5 Januari 2019   12:36 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelajah Kawasan Ekosistem Leuser penuh dengan sejuta cerita yang sulit untuk dilupakan. Seakan selalu terngiang di dalam kepala akan pengalaman singkat itu. Panorama hamparan pegunungan, lereng perbukitan, dan aliran sungai yang menyejukkan mata. Leuser bak sebuah rimba raya tak berbatas, tempat satwa langka dan endemik hidup besar tanpa campur tangan manusia.

Hutan rapat yang kaya keanekaragaman hayati di dalamnya sekaligus penopang kehidupan di sekitarnya. Leuser, hutan hujan tropis yang begitu luas dan masyhur ada di tanah Sumatera, bukti suburnya setiap jengkal tanah nusantara. Menjelajahnya seakan memberi tanpa Indonesia begitu luas dan majemuk masyarakat.

Keindahan alam Leuser begitu identik dengan Tarian Saman, tarian yang melegenda dan sudah terkenal hingga ke mancanegara. Seakan Tarian Saman jadi perlambangan Suku Gayo, suku yang sudah lama mendiami daratan tinggi Leuser. Budaya Gayo begitu kental dan mengakar kuat yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan kesempatan unik untuk menyusuri alam Leuser dan menjelajah segala ragam budaya yang mereka miliki. Pengalaman pertama ke daratan Gayo terasa begitu istimewa saat diberikan kesempatan datang dan berkunjung langsung di sebuah Desa di bawah kaki Gunung Leuser. Lokasi terdekat bagi para pendaki tangguh yang ingin naik ke puncak Gunung Leuser. Desa itu bernama Agusen.

Tak lengkap rasanya ke Kawasan Ekosistem Leuser andai tak berkunjung ke Desa Agusen, memberikan pilihan destinasi unggulan. Pengunjung seakan merasakan berjalan di perkebunan serai wangi dan kopi yang terhampar luas, mencicipi segelas kopi dari aliran anak Sungai Alas. Semua terasa begitu syahdu setelah mandi di air aliran anak Sungai Alas dan disambut dengan hangatnya segelas kopi hangat Agusen.

Desa tersebut dulu terkenal dengan aktivitas penanaman tumbuhan yang terlarang pemerintah yaitu ganja (Cannabis sativa). Sulit medan dan jauhnya akses ke Kota Blangkejeren dalam menjual berbagai hasil alam seperti tomat, cabai, dan kopi seakan membuat masyarakat yang kurang pengetahuan menggunakan cara pintas. Mereka yang gelap mata pun menanam tumbuhan ganja karena punya nilai mahal meskipun risiko jeruji besi mengintai.

Namun kini Desa Agusen coba membersihkan diri dari anggapan desa ganja namun jadi desa ekowisata nan elok dikelilingi tebing menawan. Akses jalan pun mulus tanpa lubang, berbagai sentra pertanian dan persawahan warga dengan mudah bisa bisa bawa ke kota. Tumbuhan haram tersebut tidak pernah terdengar atau bahkan diingat kembali, seakan membangun kembali desa yang indah dengan penduduk nan ramah.

Kontur Alam Gayo Lues dan Desa Agusen yang menawan

Memang begitu pantas Gayo Lues merupakan disebut dengan negeri seribu bukit, hamparan pegunungan tinggi terhampar. Pada Kabupaten Gayo Lues ada sebanyak sebelas kecamatan yang di dalamnya terhimpun 253 desa.

Hampir sebagian besar topografi Gayo Lues identik dengan hutan hujan tropis dan pegunungan, masyarakat menggantungkan hidupnya dari budidaya pertanian dan hasil alam dari Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Desa Agusen berada berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser, jaraknya hanya 51 dari puncak Gunung Leuser. Ada lebih dari 200 kepala keluarga yang mendiami Agusen dengan latar belakang suku Gayo. Medan yang harus dilalui cukup berat dan berliku untuk bisa tiba di sana. Desa Agusen berjarak 40 kilometer dari Kota Blangkejeren, Namun tak perlu khawatir karena jalannya sudah beraspal dan mulus walaupun sedikit sempit.

Hingga sampailah di sebuah Desa Agusen, desa kecil di bawah himpitan pegunungan Leuser. Desa yang ada di lembah sempit, dibelah oleh anak Sungai Alas yang jernih dan alirannya terdengar seperti simfoni. Ada bukit cinta yang berdiri tegak di arah utara desa tersebut, dari atas seakan pengunjung bisa melihat secara jelas Desa Agusen yang elok. Padi yang menguning atau kebun kopi yang mulai ranum buahnya.

Masyarakat yang mendiami Agusen umumnya berasal dari Suku Gayo dan sedikit campuran dari Suku Batak dan Jawa. Mereka sangatlah menjunjungi tinggi adat dan istiadatnya yang sudah ada turun-temurun. Budaya para leluhur yang terus dilestarikan sekaligus berkesinambungan dengan alam Leuser, penopang hidup masyarakat sekitar.

Budaya Saman lintas zaman yang mengakar kuat

Pengalaman ke Leuser begitu identik dengan masyarakat Suku Gayo, mereka menunjung tinggi adat dan budaya para leluhur. Ada banyak keunikan yang lahir di tanah mereka, tentu saja Tarian Saman yang telah mendarah daging bagi masyarakat di sana. Sejak pertama sekali diperkenalkan Syekh Saman dalam berdakwah dan mengenalkan ajaran agama Islam di tanah Gayo.

Anak-anak di Gayo Lues sejak kecil sudah terbiasa dan sangat telaten di setiap gerakan dari  Tarian Saman.  Seakan menjadikan tarian penyambut berbagai simbol dakwah ajaran islam. Budaya Tarian Saman akan terus dilestarikan hingga ke anak cucu kelak sebagai warisan budaya masyarakat Gayo.

Saya seakan bisa melihat anak-anak di sana dengan memperagakan Tarian Saman dari dekat. Seakan tetap mempertahankan jati diri budaya dan identitas mereka sebenarnya. Mereka berlatih siang dan malam, melatih kekompakan tim sampai terbentuk ritme irama yang sesuai dengan anjuran syekh. Sesuai dalam norma di dalam tarian itu yang mencerminkan sifat sopan santun, kekompakan, nilai agama, dan kepahlawanan.

Pakaian penarinya berwarna dengan kombinasi hitam, kuning, dan merah jadi ciri khas Suku Gayo. Tanpa ada iringan alat musik namun hanya menggunakan suara dan tepuk tangan penari dengan kombinasi menepuk dada serta pangkal paha.

Pemain Saman berjumlah ganjil dengan dua orang yang memberikan aba-aba setiap gerakan. Semua gerakan itu begitu padu dan kompak, Syekh sangat perhatian melihat gerakan para penari dan melantunkan syair-syair Saman nan merdu.

Pada tahun lalu, Tarian Saman berhasil memecahkan rekor yang melibatkan 10.000 penari. Jumlahnya bertambah sampai hari H pelaksanaan acara, tercatat ada 12.262 ribu penari dari penjuru Gayo ikut serta dalam pemecahan rekor fenomenal tersebut. Setiap gerakan Tarian Saman punya makna filosofi mendalam khususnya menjaga nilai agama, kearifan lokal budaya, dan alam setempat.

Saya pun harus mengakhiri perjalanan singkat di sana, seminggu waktu yang pendek buat dijalani. Pengalaman tak terlupakan saat di Leuser dan Desa Agusen seakan menyimpan sejuta cerita yang saya simpan di dalam memori.

Tarian Saman dari anak-anak Agusen di sana seakan begitu membekas, di tengah era globalisasi mereka tetap menjunjungi tinggi budayanya. Membekas jadi goresan kumpulan kata dan tulisan bahwa Indonesia begitu memesona akan alam, budaya, dan masyarakatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun