Baru-baru ini kehebohan terjadi saat berita terdamparnya gerombolan Paus Sperma (Physeter maccrocephalus) di perairan Aceh. Tepatnya di daerah Ujong Kareung, Aceh Besar. Sebuah fenomena pastinya, banyak orang yang bertanya-tanya fenomena langka tersebut. Sedikitnya ada sepuluh ekor paus jenis ini terdampar dan membuat masyarakat berbondong-bondong menyaksikan fenomena langka tersebut.
Saat kembali ingat peristiwa tahun lalu yaitu tepatnya di awal bulan Agustus 2016. Saat itu hanya ada seekor Paus Sperma di daerah Alue Naga, Syiah Kuala, Banda Aceh. Lokasinya pun tidak terlalu jauh dengan lokasi terdamparnya di Pantai Aceh. Penyebab saat itu dikarenakan paus tersebut terpisah dari kawanan sehingga terseret ke pinggir pantai. Apalagi ia tidak mampu bertahan lama dan ditambah dengan luka di sekujur tubuh.
Berbagai dugaan awal bermuncul, mulai dari gangguan pada kemampuan navigasi dari paus tersebut yang disebabkan oleh banyak hal mulai dari kondisi individu paus, cuaca ekstrem, pencemaran lingkungan hingga keseimbangan biota di laut. Semua dikaitkan satu sama lain menjadi sebuah dugaan kuat.
Penyebab hewan mamalia terbesar di dunia itu harus terdampar menurut laporan warga ialah akibat terluka atau sakit. Dalam keadaan ini mereka berenang terlalu dekat dengan pesisir untuk tujuan berlindung, namun malahan terperangkap sebab perubahan pasang ke surut. Apalagi pantai timur punya kontur dasar laut  yang lebih dangkal dibandingkan pantai barat Aceh.
Saya pun selaku mahasiswa jebolan fakultas kelautan dan perikanan mungkin tidak asing mendengar penjelasan dari para dosen akan fenomena langka saat duduk di bangku perkuliahan. Salah satu dugaan menurut saya mulai dari pengaruh angin barat dalam beberapa hari terakhir. Daerah Aceh dilandai cuaca buruk termasuk di laut, pengaruh ini saya rasa sangat mempengaruhi kawanan paus saat melakukan migrasi.
Sedikit penjelasan, bahwasanya Paus Sperma sangat menyukai ikan-ikan kecil selain dari plankton sebagai makanan utamanya. Iklim yang hangat di daerah pinggir pantai mampu menarik gerombolan ikan paus tersebut menepi dan akhirnya terjebak di perairan dangkal saat pasang surut. Akibatnya sejumlah ikan paus terdampar di pinggir pantai dan ditemukan oleh warga pesisir.
Tak hanya itu saja, Ikan Paus punya nilai kebersamaan dan kesetiaan yang sangat besar terutama dalam proses migrasi. Andai dari gerombolan mereka yang sakit atau terluka, sejumlah paus lainnya rela menunggu hingga sang paus bisa kembali melanjutkan perjalanan. Lokasi utamanya ialah daerah perairan dangkal dan landai yang tenang, daerah perairan di Ujong Kareung punya spesifikasi tersebut dan jauh dari aktivitas manusia.
Selain itu mungkin ada faktor seismik yang terjadi dasar laut punya kaitan besar terdamparnya kawanan paus di pantai Aceh. Bisa saja gempa atau letusan gunung berapi yang mampu dideteksi oleh paus lebih cepat dibandingkan sistem peringatan dini gempa atau tsunami yang dibuat oleh manusia. Mengingat daerah Aceh dan Indonesia merupakan daerah cincin api yang dipenuhi frekuensi seismik yang dengan mudah ditangkap oleh Paus.Â
Berkat kemampuan pendengaran dan komunikasi dari ikan Paus yang menggunakan ultrasonik dalam menangkap suara atau getaran dengan frekuensi. Tak hanya itu saja mereka sering terganggu dengan aktivitas manusia yang menggunakan sonar yang mengganggu sistem dari navigasi ikan paus.
Banyak dari jenis paus yang terluka, buka hanya karena perkelahian antara sesamanya namun bisa karena kerusakan gendang telinga. Penyebabnya karena getaran frekuensi sonar berkekuatan tinggi yang dipantulkan dari kapal-kapal di sekitar perairan. Itu diperkuat dengan pantai timur Aceh terkenal dengan lalu lintas kapal yang sangat padat yang menghubungkan dengan selat malaka.
Gerombolan Paus yang mengalami kelinglungan karena pantulan sonar yang datang dari berbagai arah membuat mereka tersesat. Untuk terhindar dari bahaya yang lebih besar, Paus memilih pinggir pantai sebagai lokasi yang lebih aman salah satu opsinya ke perairan dangkal, mengingat hingga kini perburuan ikan paus sangat tinggi.