Mereka yang dapat tertawa senang dengan bangganya sambil berujar: Akhirnya dapat beasiswa, sambil tersenyum nyengir.
Hasil uang didapatkan bukan diperuntukkan studi, tetapi buat beli barang mewah kelas atas. Makan-makan di tempat elit dan liburan sambil hura-hura sekaligus buat dipamerkan ke teman-teman yang tak dapat.
Mahasiswa umumnya punya jiwa idealis, melakukan demo dan orasi saat ada wakil rakyat atau pemerintah melakukan tindakan yang berpihak kepada rakyat. Namun diam seribu bahasa saat ada mahasiswa berupa kolega atau dirinya sendiri dapat beasiswa yang bukan selayaknya ia dapat. Dengan alasan, kami kami juga layak. Koruptor kecil lahir dari kampus.
Tak pernah ada berita yang meliput demo dan orasi dari mahasiswa terhadap penerima beasiswa yang tak layak menerima agar ditindak tegas. Semua seakan diam seribu bahasa satu sama lain, saling berbisik satu satu sama lain untuk tutup mulut.
Selepas menyelesaikan kuliah (level S1), bertabur beasiswa yang ditawarkan dari berbagai donatur. Syaratnya yakni mahasiswa yang cerdas, kompeten dan mampu bersaing ke depan. Persaingan yang semakin ketat antara lintas kampus membuat calon yang lewat adalah mahasiswa kompoten.
Donator bila dulunya saat S1 masih sebatas pemberi beasiswa hanya dari pemerintah, perusahaan nasional, dan kampus. Saat ke jenjang yang lebih tinggi seperti program magister dan doktoral, malah pemerintah luar negeri, perusahaan luar negeri, LSM hingga kampus setempat. Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi terjadi pengerucutan persaingan daerah, persaingan lebih menjurus ke arah global. Bila dulunya hanya bersaing dengan teman-teman kampus atau se-universitas dan se-daerah. Kini ke level nasional atau internasional untuk menggenggam tiket beasiswa.
Syarat yang diberikan lebih berat dan perlu begitu banyak persiapan yang begitu matang untuk dapat itu beasiswa. Dalam hal ini penerima dan pemberi memberikan syarat yang wajib dipenuhi seperti kemampuan akademik, bahasa, program setelah tamat hingga jiwa kepemimpinan dari penerima beasiswa. Berbondong-bondong siapa yang paling siap dan memenuhi syarat untuk turut serta. Dari proses seleksi berkas, wawancara, waktu pelatihan, proses persiapan keberangkatan, studi ke tujuan hingga proses kepulangan ke tanah air.
Memang yang namanya beasiswa itu  sulit banget. Harus mempersiapkan dari hal terbesar hingga yang terkecil, hingga menunggu jadwal keberangkatan yang lamanya bikin gregetan. Alternatif yang tak mau repot, pakai duit pribadi dan pulangnya tak terikat oleh siapa pun.
Saya kembali teringat dulu pernah baca buku Habibie berjudul: Detik-Detik yang Menentukan, di dalam sesuatu paragraf saya menyimpulkan:
Saat beliau bersekolah di Jerman, umumnya pelajar Indonesia yang berkuliah di Jerman menggunakan biaya beasiswa dari pemerintah Indonesia. Dahulu mahasiswa yang mendapatkan beasiswa luar negeri berasal dari kalangan anak-anak orang kaya. Habibie hidup terlunta-lunta jauh dari tanah air dengan keuangan yang terbatas.
Bermodal dari kirim uang dari orang tua hasil dari usaha kecil-kecilan ibunya membuka katering dan kos-kosan. Habibie sukses dan berhasil mengejar mimpinya menjadi insinyur pesawat terbang dan memiliki puluhan paten atas namanya. Perjuangan dari keterbatasan maka beliau mampu merajut sukses.