Iqbal Musyafiq, mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang
Rossi Galih Kesuma, Dosen Bimbingan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang
Â
Masa remaja adalah fase yang sangat penting dalam kehidupan seorang individu, dimana pada fase tersebut, individu mengalami perkembangan kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis. Pada periode ini remaja masih sangat labil dan rentan terhadap berbagai pengaruh eksternal karena mereka sedang berada pada fase pencarian jati diri. Rasa ingin tahu yang besar mendorong remaja untuk mencoba berbagai hal yang baru yang mereka ketahui dari lingkungan sekitarnya, mulai lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.
Keluarga sebagai unit lingkungan terkecil dalam masyarakat, merupakan tempat pertama remaja belajar nilai-nilai dasar dan norma-norma sosial. Interaksi dengan anggota keluarga lainnya memberikan dasar bagi perkembangan moral dan etika mereka. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal, tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, namun juga sebagai lingkungan sosial dimana remaja berinteraksi dengan teman sebaya dan juga guru. Pengalaman yang didapat di sekolah membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial, kemampuan berpikir kritis, dan pemahaman akademis yang mendalam. Teman sebaya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan keputusan remaja. Interaksi dengan teman sebaya dapat memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas, namun juga dapat menimbulkan tekanan untuk berperilaku sesuai norma kelompok masing-masing. Masyarakat luas disekitar remaja, dengan berbagai nilai dan budaya yang terdapat didalamnya, juga turut membentuk pandangan dan sikap remaja terhadap dunia.
Lingkungan sekolah, selama ini diharapkan menjadi lingkungan belajar pembentuk karakter yang baik bagi remaja. Namun tak dapat dipungkiri dan dihindari, sekolah pun seringkali menjadi tempat dimana bullying terjadi. Bullying, terutama di sekolah, telah menjadi masalah yang serius. Sebuah penelitian internasional yang melibatkan 120.000 siswa dari 28 sekolah, yang hasilnya adalah 20% dari anak-anak usia kurang dari 15 tahun melaporkan pernah mengalami bullying saat mereka berada di sekolah. Angka ini mencerminkan betapa meluasnya fenomena bullying dan betapa pentingnya langkah-langkah pencegahan, dan intervensi yang efektif dalam menangani kasus bullying.
Dampak negatif bullying, tidak hanya berdampak pada korban saja, namun juga pada pelaku dan saksi mata. Korban bullying sering mengalami dampak emosional yang mendalam, seperti rasa takut, rendah diri, depresi, dan kecemasan. Hal ini dapat mengganggu proses belajar mereka dan menghambat perkembangan sosial serta akademis. Di sisi lain, pelaku bullying cenderung mengembangkan perilaku agresif dan antisocial yang dapat berlanjut hingga dewasa. Sementara itu, saksi mata bullying, yang mungkin merasa tidak berdaya atau takut, juga dapat merasakan tekanan psikologis yang sama. Maka dari itu pembentukan karakter sejak dini sangat penting agar tidak terjadi bullying. Pendidikan karakter yang dimulai dari usia dini dapat membantu anak-anak mengembangkan nilai-nilai positif seperti empati, rasa hormat, tanggung jawab, dan kejujuran. Sekolah dan orang tua perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan karakter ini. Program-program pendidikan karakter harus diintegrasikan dalam kurikulum sekolah dan diterapkan melalui berbagai kegiatan, seperti diskusi kelompok, permainan peran, dan proyek-proyek pelayanan masyarakat.
Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi. Dalam rangka mencegah bullying, banyak pihak telah melakukan program dan kampanye anti bullying di sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun organisasi-organisasi lain yang berhubungan dengan anak. Tapi, bullying masih kerap terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia.
Lalu bagaimana cara mengurangi bullying? Pertama. Memberi tahu anak-anak untuk mengetahui dan memahami bullying. Pada hal ini guru mempunyai peran penting untuk mencegah bullying, karena sangat sering terjadi kasus bullying disekolah. Pendidikan dan pembentukan karakter yang benar akan mengurangi kasus bullying pada anak-anak.
Lalu bagaimana cara guru mencegah bullying pada siswanya? 1) Memberitahu pada anak bahwa bullying tidak baik dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan maupun tujuan apapun. Setiap orang layak diperlakukan dengan hormat, apapun perbedaan yang mereka miliki. 2) Memberitahu pada anak mengenai dampak-dampak bullying bagi pihak-pihak yang terlibat 3) Melakukan komunikasi terhadap dengan lebih baik karena ini dapat membantu hubungan antar siswa jadi lebih baik. 4) menjauhkan siswa dari situasi yang memungkinkan ia mengalami bullying. Dalam mengatasi bullying guru mempunyai peran yang cukup penting.
Menjadi penting bagi sekolah untuk memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas, serta menyediakan pelatihan bagi guru dan staf untuk mengenali tanda-tanda bullying dan menangani insiden dengan tepat. Membentuk budaya sekolah yang inklusif dan suportif, di mana setiap siswa merasa aman dan dihargai, adalah langkah krusial dalam mencegah bullying.
Dengan upaya yang berkelanjutan dan kolaborasi yang baik antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak kita, di mana mereka dapat tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut akan bullying. Ini tidak hanya akan mengurangi insiden bullying, tetapi juga membentuk generasi yang lebih kuat, berempati, dan bertanggung jawab di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H