TERIKNYA benar-benar membakar kulit saat aku menggali lubang di pekarangan rumah. Keringat bercampur darah menetes dari sela-sela tanganku yang lecet. Aku harus menemukan surat tanah itu, yang dikubur mendiang Buya sebelum dia menembak kepalanya sendiri. Surat yang membuktikan bahwa tanah ini, rumah yang megah ini, dan semua harta pusaka tinggi keluarga besar kami sebenarnya adalah hasil curian.
Ya, Buya bunuh diri bukan karena bangkrut seperti yang semua orang kira. Dia bunuh diri karena tidak sanggup menanggung dosa kakeknya - orang Belanda yang menyamar jadi orang Padang, menikahi gadis Minang yang paling cantik di desa, lalu mencuri surat-surat tanah pusaka saat masa penjajahan. Bajingan kolonial yang menurunkan darah Eropanya itu pada kami, membuat kami tidak punya hak atas gelar apapun dalam kaum.
Empat puluh tahun aku hidup dalam selongsong kebohongan. Menjadi mamak, menjadi kepala suku, mengelola harta kaum, mengatur pernikahan kemenakan-kemenakan. Semua berdasarkan hak yang ternyata palsu. Aku bahkan telah menjodohkan sepuluh kemenakan perempuanku dengan keluarga bangsawan, melahirkan puluhan anak-anak yang sekarang bergelar adat. Semua gelar palsu, semua darah keturunanku yang ternoda.
Buya memberitahu rahasia ini padaku sebelum menarik pelatuk. Membebaniku dengan tugas terkutuk untuk membenahi kebusukkan ini. Bagaimana? Bagaimana caranya memberitahu semua orang, suku-suku itu, kalau ternyata kita tak punya hak atas semua ini? Bahwa darah kita adalah darah penipu? Darah bajingan. Bagaimana cara mengatakan tentang pernikahan-pernikahan yang sudah terjadi yang sebenarnya tidak sesuai adat karena didasarkan pada kebohongan?
Tanganku berhenti menggali saat menemukan kotak besi berkarat. Di dalamnya, aku melihat sebuah plastik yang membungkus tumpukan surat tanah yang telah menguning serta sebuah buku harian dalam bahasa Belanda. Kakek buyutku yang bajingan itu ternyata mencuri tanah dari tiga suku yang berbeda. Memanfaatkan kekacauan masa perang untuk memalsukan silsilah, mengaku sebagai pewaris tahta yang sah.
Sekarang, harta itu telah berkembang menjadi puluhan hektar kebun sawit, Rumah Gadang, dan tanah adat yang menjadi sumber penghidupan ratusan anggota kaum. Tiga generasi telah lewat. Anak-anak hasil pernikahan telah punya anak lagi.Â
Sako pun telah diturunkan. Menurut adat Alam Minangkabau, Sako adalah warisan jabatan yang diterima seseorang secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ibu.Â
Semua itu dibangun di atas fondasi kebohongan.
Lebih buruk lagi, ternyata aku menemukan sebuah fakta busuk, kakek buyutku sebenarnya tidak hanya mencuri tanah. Dia juga membunuh seluruh keluarga pewaris asli, memalsukan kematian mereka seolah tewas dalam perang. Tapi, ada satu bayi perempuan yang selamat, bayi itu dirawat orang lain. Dan dari buku Buya itu, aku tahu bahwa keturunan bayi itu kini adalah... istriku sendiri.
Ya, takdir sialan telah mempermainkan kami. Tanpa sadar, aku telah menikahi cucu dari orang yang tanahnya dicuri oleh buyutku. Anak-anakku membawa darah korban dan pencuri sekaligus. Kini istriku sedang mengandung anak kelima kami.
Tidak sanggup aku memberitahunya. Tidak sampai hati aku melihatnya hancur, apa lagi mengetahui bahwa suaminya adalah keturunan pembunuh keluarganya. Bahwa anak-anaknya adalah hasil persilangan darah yang seharusnya tidak terjadi.
Sialnya, masalah tidak berhenti di situ. Dari surat-surat yang kutemukan, ternyata kakek buyutku yang bangsat itu punya rencana lebih mengerikan. Dia memastikan keturunan-keturunannya dijodohkan dengan keluarga-keluarga pewaris tanah lain, menciptakan jaring-jaring keji yang membuat kekuasaannya tidak bisa diganggu gugat.
Sekarang, hampir seluruh tanah pusaka di Nagari ini terhubung dengan kekejian itu. Membongkarnya berarti menghancurkan struktur sosial seluruh Nagari. Ribuan orang akan kehilangan hak warisnya. Ratusan pernikahan harus dibatalkan. Mereka akan kehilangan gelar sukunya.
Matahari semakin terik, membakar pikiranku yang semakin kalut. Kulihat anak-anakku bermain di halaman rumah megah hasil perbuatan yang menjijikkan. Mereka sedang tertawa riang, andai saja mereka tahu kalau darah mereka adalah campuran dari dendam dan dusta, apakah mereka masih sanggup untuk tertawa. Andai saja mereka tahu kalau ayahnya harus memilih - membiarkan bangkai ini terus berlanjut, atau harus menghancurkan hidup ribuan orang demi menegakkan kebenaran.
Aku memtuskan untuk mengubur kembali kotak besi sialan itu, bersama dengan harapan-harapan akan kebenaran yang tidak sanggup kubongkar. Mungkin ini karma. Mungkin juga ini kutukan. Mungkin inilah harga yang harus dibayar oleh keturunan penipu - menanggung dosa dalam diam, membawa rahasia yang membusuk sampai mati.
Sore menjelang saat aku berjalan ke Balai Adat. Dalam bahasa Minang, Balai Adat adalah bangunan tempat musyawarah diselenggarakan, dipimpin oleh kepala suku. Tempat untuk melakukan perundingan dalam mengambil keputusan.
Hari ini aku harus memimpin rapat kaum, menentukan jodoh untuk dua kemenakan perempuanku. Lagi-lagi aku harus berpura-pura, menjadi mamak, demi melanggengkan lingkaran kenistaan ini. Karena terkadang, kebenaran bisa lebih menyakitkan dari dusta. Dan dusta yang terlanjur mengakar, mungkin harus dibiarkan tumbuh sampai mati dengan sendirinya.
Aku baru saja hendak menutup rapat kaum ketika Mak Tuo Siti tiba-tiba berdiri, melemparkan setumpuk kertas ke mukaku. "Bajingan! Akhirnya ketemu juga buktinya!"
Jantungku berhenti berdetak. Di hadapan seluruh kaum, wanita tua itu membuka kedok yang selama ini kusembunyikan. Ternyata dia sudah menyelidiki semuanya - dari arsip kolonial Belanda sampai tes DNA yang dia lakukan diam-diam pada seluruh anggota keluarga.
"Kalian lihat ini?!" teriaknya sambil menunjukkan hasil tes. "Kita semua tidak ada hubungan darah dengan kaum Piliang! Kita keturunan Belanda, keturunan penipu! Dan si keparat ini," dia menunjuk mukaku, "sudah tahu semuanya tapi diam saja!"
Ruangan Balai Adat mendadak riuh. Puluhan pasang mata menatapku dengan amarah. Tapi, mereka belum tahu yang terburuk.
"Dan ini!" Mak Tuo Siti mengeluarkan dokumen lain. "Tanah kita yang di Maninjau... itu tanah wakaf masjid yang dicuri! Pantas saja tiga generasi keluarga kita tidak ada yang bisa naik haji. Kita memakan harta haram!"
Aku mencoba membela diri, "Tapi Mak Tuo... kalau ini dibongkar..."
"DIAM!" bentaknya. "Masih mau kau berkilah? Mau tahu kau rahasia yang lebih busuk? Istri kau itu... dia cucu orang yang dibunuh kakek kita! Dan yang lebih sial lagi... dia itu sebenarnya masih sepupu kau!"
Kali ini seluruh ruangan terkesiap. Ya, Mak Tuo Siti menemukan fakta yang bahkan aku tidak tahu - bahwa kakek buyutku yang Belanda itu ternyata punya anak lain dengan adik dari nenek pewaris asli. Jadi secara teknis, aku dan istriku masih sedarah.
"Bangsat kau!" Salah satu mamak melempar kursi ke arahku. "Sudah merampas harta orang, menikah sesuku pula! Pantas saja anak-anakmu cacat!"
Rahasia terakhir yang paling kusembunyikan akhirnya terbongkar. Tiga dari lima anakku lahir dengan kelainan genetik. Dan bayi dalam kandungan istriku... hasil USG menunjukkan kelainan yang sama.
"Ini belum semuanya!" Mak Tuo Siti mengeluarkan dokumen terakhir. "Kalian ingat bencana longsor yang menewaskan lima puluh orang sepuluh tahun lalu? Itu bukan bencana alam! Itu karena si bajingan ini menambang emas ilegal di tanah adat!"
Ya, satu lagi dosaku terbongkar. Aku menambang emas secara ilegal di tanah yang bahkan bukan milikku secara sah. Tanah yang seharusnya jadi kuburan keramat.
"Kalian mau tahu siapa yang lebih berdosa?" Mak Tuo tersenyum sinis. "Tanya suami-suami kalian... darimana asal uang untuk naik haji mereka itu?"
Semua terdiam. Ya, seluruh kaum sudah terlibat. Semua mamak yang naik haji, semua kemenakan yang kuliah di luar negeri, semua pembangunan rumah gadang... dibiayai dari hasil tambang emas ilegal itu.
"Jadi sekarang..." Mak Tuo menatapku tajam. "Mau dilanjutkan atau tidak pengusutan ini? Kalau diteruskan... seluruh kaum akan masuk penjara. Kalau didiamkan... kutukan ini akan terus sampai seribu turunan."
Saat itu, istriku yang sedang hamil tua menerobos masuk ke dalam ruangan Balai Adat. Wajahnya pucat, tangannya gemetar memegang sebuah surat. "Uda.. Uda... Â Ini... Ini surat wasiat dari almarhum ayah..."
Segeraku raih kertas kusam itu, dengan tangan gemetar aku membaca surat itu. Ternyata ayah mertuaku, sebelum meninggal, sudah mengetahui semua kebusukan itu. Dan dia punya rencana balas dendam - semua harta yang dia wariskan untuk anakku sudah dia wakafkan ke tiga puluh tujuh masjid. Surat wakafnya baru akan dibuka saat dia genap meninggal tiga tahun - yaitu minggu depan.
"Kalau surat wakaf itu dibuka," istriku terisak, "anak-anak kita akan jadi pengemis. Tapi... kalau tidak... kita makan harta wakaf. Anak dalam kandunganku ini... lahir dalam kutukan..."
Tiba-tiba, salah satu kemenakan perempuanku pingsan. Dia hamil hasil hubungan dengan pria yang ternyata... masih saudara sedarah. Sama sepertiku dan istriku. Lingkaran kutukan ini ternyata sudah menjalar ke generasi berikutnya.
Matahari sore menyusup samar-samar melalui jendela-jendela di Balai Adat, menyinari wajah-wajah pucat yang harus memilih - membongkar kebusukan dan menghancurkan hidup ribuan orang, atau melanjutkan dosa dan menanggung kutukan sampai anak cucu.
Di luar, terdengar sayup-sayup azan Ashar. Semua orang terdiam. Apakah Tuhan ikut andil menoreh dosa-dosa di dalam luka seribu turunan itu? [IM]
-Tamat-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI