Bu Ani tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Itu foto ibu dulu, Lala," Bu Ani menundukkan kepalanya, "itu anak ibu," katanya dengan suara lembut. "Dia... dia sudah tidak ada."
Aku tertegun. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa melihat Bu Ani yang terlihat sedih, tapi tetap berusaha untuk tersenyum. Dia melanjutkan ceritanya, menceritakan tentang anaknya yang sangat cerdas serta periang, anak yang sangat dia cintai.
"Dia sangat suka belajar," kata Bu Ani, "Sama seperti kamu, Lala. Dia selalu bertanya apa saja yang ingin diketahuinya, anak yang cerdas. Sayangnya, dia sakit dan..." Bu Ani terdiam sejenak, menahan air matanya.
"Karena itu," lanjut Bu Ani setelah beberapa saat, "ibu ingin menjadi guru. Ibu ingin berbagi ilmu juga kasih sayang ibu kepada anak-anak lain, seperti yang pernah ibu berikan kepada anak ibu. Ibu ingin mereka semua bisa belajar dengan senang hati, selalu merasa dibantu juga selalu dicintai."
Mendengar cerita Bu Ani, aku semakin mengerti mengapa Bu Ani begitu sabar dan penuh kasih sayang kepada murid-muridnya. Ibu Ani bukan hanya seorang guru yang hebat, tapi juga seorang wanita yang luar biasa, yang mampu mengubah kesedihan menjadi kekuatan untuk berbagi kebaikan kepada orang lain. Kisah Bu Ani mengajariku bahwa setiap orang memiliki cerita sendiri yang tersembunyi, aku harus selalu menghargai serta menyayangi satu sama lain. Bu Ani, guruku yang istimewa, adalah inspirasi bagiku.
Bu Ani, guruku yang istimewa. Dia lebih dari sekedar guru. Dia seperti ibu kedua bagiku. Aku sayang sekali padanya. Terima kasih, Bu Ani, atas semua kebaikanmu. Kau adalah guru terbaik di dunia!
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H