"Basri..." bisik Daniar, suaranya serak, tertelan angin sore yang berbisik di antara dedaunan.
Mentari menyapa langit dengan warna jingganya yang lembut, menerpa wajah Daniar yang tengah duduk termenung di beranda rumahnya. Rumah kayu tua itu berdiri kokoh di tepi sungai, saksi bisu perjalanan hidup Daniar yang penuh dengan rindu serta penyesalan. Di tangannya, sebuah foto yang telah pudar terpegang erat, wajah Basri yang sedang tersenyum lebar terpatri di sana.
Hari itu, sebuah pesta pernikahan yang sedang berlangsung di desa Luhak Nan Tuo. Daniar, yang masih remaja, terlihat pendiam di antara para tamu yang ramai. Dia lebih suka mengamati orang-orang dari kejauhan, menikmati suasana riuh rendah pesta pernikahan yang penuh dengan warna, aroma kemenyan menyeruak di udara terselip di antara pengunjung.
Tiba-tiba, seorang pemuda muncul di hadapannya. Pemuda itu tinggi, berbadan tegap, dengan wajah yang tampan, tersemat senyum yang menawan di antara pipinya, sorot matanya tajam berbinar-binar, menatap Daniar dengan penuh perhatian.
"Permisi, apa benar ini rumah Bapak Karim?" tanya pemuda itu, suaranya lembut juga menenangkan.
Daniar tertegun. Dia belum pernah melihat pemuda setampan itu sebelumnya. "Ya, benar. Ini rumah Bapak saya," jawab Daniar, suaranya sedikit gemetar.
"Nama saya Basri," kata pemuda itu, sambil mengulurkan tangannya.
Daniar menyambut uluran tangan Basri dengan gugup. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam tubuh Daniar, dia belum pernah merasakannya.
"Daniar," jawabnya, sambil tersenyum malu-malu.
Basri tersenyum lebar. "Namanya bagus," katanya. "Mm... arti nama itu... bunga melati yang harum, betul?"