Entah mengapa Yuni begitu terkesima melihat Andi, padahal sosok Andi sama seperti laki-laki lain yang seusia dengannya. Andi dengan kulit ras melayu yang tingginya pun kira-kira sama seperti dosen-dosen yang ada di kampus Yuni. Hanya satu yang jelas berbeda, Andi masih muda.
Seperti halnya anak muda dengan kualifikasi pendidikan Strata 3 yang membuatnya berfikiran terbuka ketika melihat dunia. Menjadikan konsep pengajarannya di dunia sastra yang dinamikanya dipenuhi dengan warna dan aroma terlihat berbeda, apa lagi Andi sudah melanglang buana.
Pengalaman yang dimilikinya menambah kekayaan perspektif, menjadikan karya sastra yang diajarkannya bukan hanya sekedar teks, tetapi juga jendela untuk melihat dunia dengan segala keindahannya. Andi tidak hanya mengajar tapi juga menginspirasi mahasiswanya untuk berkelana melalui kata-kata, melintasi benua, budaya, mengecap berbagai rasa kehidupan yang tertuang dalam setiap paragraf.
Di tangannya, sastra hidup, dia bernafas dari cerminan serta keragaman konflik yang dirasakan manusia. Andi mengajak mahasiswanya untuk menggali kepelikan jiwa manusia. Andi kerap menjelajahi dimensi-dimensi kemanusiaan yang sering kali tersembunyi di balik kata-kata.
Bisa-bisanya di kampus yang baru saja menerima Andi sebagai dosen Sastra itu ada mahasiswi yang sangat menjengkelkan, Yuni namanya. Kebiasaannya ketika di kelas adalah bertanya tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan materi yang diajarkan Andi. Ketika Andi menjawab pertanyaan yang lemparkannya itu, Yuni malah senyum-senyum sendiri.
Meskipun begitu, dia itu tergolong mahasiswi yang rajin, selalu mengerjakan tugasnya dengan kualitas di atas teman-temannya. Memang pada dasarnya Yuni itu menjengkelkan, ditambah dia terlalu sering menonton drama Korea, sehingga tingkat halusinasi di dalam tugas dan makalahnya benar-benar maksimal. Andi hanya tersenyum ketika membacanya sambil bergumam, "Dasar bocil."
Pernah suatu hari, Andi sedang duduk di selasar yang menghubungkan gedung Fakultas Sastra dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Andi melepas penatnya hari dengan membaca buku Dunia Shopie karya Jostein Gaard, tiba-tiba Yuni berdiri di hadapannya sambil senyum-senyum, dia bertanya tentang skripsi. Padahal, Andi bukan dosen pembimbing skripsi.
Dengan sangat terpaksa Andi menjelaskan pertanyaan Yuni itu. Wajah Yuni nampak merekah, tersipu-sipu menatap Andi, mata Yuni yang berkilauan memancarkan cahaya harapan di dalam kebingungan, sesaat kemudian jantung Andi berdegup tidak beraturan ketika mata Yuni memancarkan sebuah emosi yang sulit digambarkan, lalu senyum tipis yang terukir di bibir Yuni membuat lidah Andi menjadi kelu.
Andi segera memasukkan buku yang tebalnya 798 halaman itu kedalam tas, "Maaf Yuni, saya ada kelas," ucap Andi sambil beranjak dari duduknya. Yuni hanya bisa menatapnya dengan tatapan sedikit kecewa. Andi langsung memunggungi Yuni yang masuk duduk di selasar dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterka.
Andi tidak ingin Yuni melihatnya dengan sebelah matanya. Bagi Andi, sebagai seseorang yang berkomitmen pada pekerjaan dia akan menunjukan dedikasi yang baik di setiap kesempatan. Andi tidak ingin Yuni hanya melihat kulit luarnya saja, lagi pula, Yuni masih terlalu muda untuk menyandarkan perasaannya pada pujaan hatinya.