Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gua Batu Giok

2 Juni 2024   19:34 Diperbarui: 3 Juni 2024   08:25 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam gulungan kertas kuno yang terbentang di atas meja batu giok, terdapat kata-kata yang berubah-ubah, kata-kata itu hidup dan bernapas bersama dengan mereka yang membacanya. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang tertulis di dalamnya, karena setiap orang yang membaca gulungan itu akan melihat sesuatu yang berbeda, sesuatu yang berbicara langsung ke jiwa mereka.

Bagi Li Wei, kata-kata yang muncul di depan matanya adalah puisi yang indah, puisi yang mengungkapkan esensi dari kehidupan di alam semesta, setiap kata yang ia baca, Li Wei merasakan dirinya diangkat, dilepaskan dari beban-beban yang telah dia pikul, ternyata pencarian yang dia lakukan bukanlah untuk mencari kekayaan atau kekuasaan, melainkan untuk mencari sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya dan juga tempatnya di dunia ini. Puisi itu, dengan cara yang misterius, telah memberinya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah lama menghantuinya.

Puisi yang hanya dapat dibaca oleh Li Wei, merupakan refleksi dari perjalanannya sendiri---dari keraguan dan ketakutan, hingga perjumpaan dan perpisahan. Gulungan kertas kuno itu tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga memberikan kekuatan serta keberanian untuk menghadapi apa pun yang mungkin saja datang menghantam Li Wei di jalan kehidupnya.

Li Wei menyadari, dia sedang berdiri di sebuah tempat, dimana masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu, dia tahu bahwa pencarian yang dia lakukan itu bukanlah untuk rahasia alam semesta, tetapi untuk rahasia yang terdalam dalam dirinya sendiri.

***

Li Wei kembali ke kota kecilnya di tepi Sungai Yangtze, bukan lagi sebagai manusia yang merindukan suara, tetapi sebagai penulis yang telah menemukan cerita hidupnya sendiri.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun