Dalam gulungan kertas kuno yang terbentang di atas meja batu giok, terdapat kata-kata yang berubah-ubah, kata-kata itu hidup dan bernapas bersama dengan mereka yang membacanya. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang tertulis di dalamnya, karena setiap orang yang membaca gulungan itu akan melihat sesuatu yang berbeda, sesuatu yang berbicara langsung ke jiwa mereka.
Bagi Li Wei, kata-kata yang muncul di depan matanya adalah puisi yang indah, puisi yang mengungkapkan esensi dari kehidupan di alam semesta, setiap kata yang ia baca, Li Wei merasakan dirinya diangkat, dilepaskan dari beban-beban yang telah dia pikul, ternyata pencarian yang dia lakukan bukanlah untuk mencari kekayaan atau kekuasaan, melainkan untuk mencari sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya dan juga tempatnya di dunia ini. Puisi itu, dengan cara yang misterius, telah memberinya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah lama menghantuinya.
Puisi yang hanya dapat dibaca oleh Li Wei, merupakan refleksi dari perjalanannya sendiri---dari keraguan dan ketakutan, hingga perjumpaan dan perpisahan. Gulungan kertas kuno itu tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga memberikan kekuatan serta keberanian untuk menghadapi apa pun yang mungkin saja datang menghantam Li Wei di jalan kehidupnya.
Li Wei menyadari, dia sedang berdiri di sebuah tempat, dimana masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu, dia tahu bahwa pencarian yang dia lakukan itu bukanlah untuk rahasia alam semesta, tetapi untuk rahasia yang terdalam dalam dirinya sendiri.
***
Li Wei kembali ke kota kecilnya di tepi Sungai Yangtze, bukan lagi sebagai manusia yang merindukan suara, tetapi sebagai penulis yang telah menemukan cerita hidupnya sendiri.
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H