Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tidak Akan Pernah Hilang

24 Mei 2024   14:34 Diperbarui: 24 Mei 2024   14:37 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh Josh Wilink dari pexel.com

TAKDIR. Kepergianmu memang sudah menjadi takdir. Siapa yang sanggup melawan takdir, Aku? Tidak! Kamu, sudah pasti tidak, nyatanya kamu pergi meninggalkanku, sementara aku masih harus bergelut dengan takdirku bersama buah hati kita.

***

"Aku berangkat dulu ya, Bu!" ucap Kei, tangan kanan ibunya diambil Kei, lalu ia letakkan tangan kanan yang setengah berkerut karena termakan usia itu lekat di kening Kei, "Love You!" lanjutnya berbisik di telinga Ibu Kei sambil memeluknya erat.

"Jangan pulang malem-malem," balas Ibu Kei.

"Iya..." Kei melangkahkan kakinya menuju pintu. 

"Dah, Ayah..." teriaknya di pintu depan, tangannya melambai ke arah kamar orang tuanya. Kei tersenyum sejenak menatap pintu kamar orang tuanya, tergambar dengan jelas sosok Ayah yang baru saja keluar dari kamarnya sambil menguap dan menggaruk-garuk perutnya yang agak buncit. 

Ayah Kei adalah seorang pria yang unik, senangnya bercanda terus, tapi kalau urusan belajar dan ibadah, taringnya menyembul dari balik bibirnya yang tipis, matanya melotot, dari telinganya keluar asap, galak dan menyeramkan, Kei tidak pernah berani menatap Ayah kalau sedang marah. Namun, kalau sedang bersenda gurau bersama Ibu, Kei dan Zul, Ayah seperti seorang stand up comedian, kadang lucu sekali, namun kadang menjengkelkan, karena Kei harus berfikir keras melucuti kata demi kata mencari letak posisi lucunya di mana.

Biasanya, Ibu yang menjadi Dewi penyelamat bagi Ayah kalau dalam situasi seperti itu, ada saja celotehan Ibu yang membuat Kei dan Zul tertawa terbahak-bahak, Ibu memang pasangan yang tepat untuk Ayah, dan Ayah adalah sosok yang sempurna untuk Kei dan Zul.

Kei melangkahkan kakinya menuju pagar, ojek online sudah menunggunya sejak tadi. "Maaf agak lama ya, Pak!" kalimat itu meluncur bersamaan dengan sedikit bungkukkan dari tubuh Kei.

"Iya, gak apa-apa, Neng," balas supir ojek online yang nampak usianya seperti Ayah Kei. "Ini helmnya." Pria yang sudah berumur itu menyodorkan helm yang segera disambut oleh Kei.

Kei segera menghempaskan pantatnya di motor, "Jalannya pelan-pelan aja ya, Pak." 

"Iya, Neng," jawab pria yang sudah berumur itu sambil menggangguk. Kei melihat sesuatu yang berbeda, ketika pria itu menggangguk, lebar pundak supir ojek online itu mirip persis seperti pundak Ayah, baru beberapa meter roda motor itu berputar, pikiran Kei sudah terbang jauh melintasi waktu, terlintas di benak Kei ketika pertama kali Ayah mengantarnya kuliah, Kei tidak tahu angkutan umum yang melintasi kampusnya itu, Ayah mengantar Kei dan menunjukkan padanya angkutan umum yang melintasi kampus Kei dengan motor tua kesayangan Ayah.

Tanpa terasa beberapa bulir air membendung di sudut kelopak matanya, sosok yang selalu hadir di setiap langkah Kei, memang benar kata orang, cinta pertama seorang anak perempuan itu adalah ayahnya.

***

"Ayah..." teriak Kei sambil memeluk Ayah, deraian air mata banjir membasahi pipinya, Ayah tidak lagi membuat Kei tertawa terbahak-bahak kali ini, Ayah hanya diam mematung dengan selang infus yang masih menancap di lengan kirinya. 

"Udah... sini Kei," Ibu menarik Kei menjauh dari tubuh Ayah yang terbaring kaku di atas ranjang di ruangan IGD, "Ikhlasin Ayah, Kei," lanjut Ibu sambil menitikkan air mata, Kei langsung memeluk Ibu, tangisan mereka berdua bersautan memenuhi ruangan IGD.

"Ayah..." teriak Zul dari pintu depan IGD, "Ayah tunggu Zul lulus dulu, Zul mau foto wisuda sama Ayah..." tangis Zul pecah, dia mearung-raung di samping ranjang, mengoyang-goyangkan tubuh ayahnya, "Ayah..."

Bagi Kei, hari itu adalah hari di mana Ayah mengecewakannya, karena Ayah telah berjanji pada Kei, Ayah berjanji akan hidup sampai usia tujuh puluh tahun, Ayah juga berjanji akan menemaninya di pelaminan bersama laki-laki yang berhasil meluluhkan hati Kei dan merencanakan kehidupan yang indah seperti Ayah dan Ibu, Ayah juga berjanji akan memberikan nama bagi cucu pertamanya. Semua janji itu terbang bersama nyawa Ayah yang tidak dapat diselamatkan.

Ayah Kei sudah menjadi korban dari ketidakadilan, korban dari perampasan hak, korban dari pemikiran picik para pengusaha yang kotor. Ayah Kei adalah seorang pedagang, dia mempunyai sebuah toko kecil di pasar tradisional, pasar itu memang terlihat kumuh, namun banyak memberikan manfaat bagi para pengunjung dan pedagangnya.

Semua aktifitas pedagang dan masyarakat sekitar berjalan seperti biasanya hingga muncul seorang pengusaha yang melihat pasar itu sebagai pohon uang, dia ingin mengubah pasar itu menjadi pasar modern, banyak pedagang yang tidak setuju, karena selain membuat biaya sewa toko mahal, tentunya juga akan berpengaruh terhadap harga jual barang-barang, sementara pendapatan penduduk sekitar pasar masih rendah.

Berbeda dengan Ayah Kei, dia tidak memihak pada siapa pun, karena baginya rejeki itu sudah diatur oleh Tuhan, seperti apa pun bentuknya pasar nanti, Tuhan sudah menetapkan rejeki setiap manusia yang berjualan di pasar itu, karena tidak memihak siapa pun, membuat dirinya sering disambangi oleh orang-orang yang tidak dikenal, ada yang marah-marah, ada yang menawarkan sejumlah uang, Ayah Kei tetap teguh pada pendiriannya, bahkan dia berencana untuk pindah ke pasar yang lain kalau memang akhirnya pasar itu jadi dibongkar.

Andai saja ada malaikat yang turun dari langit lalu berbisik di telinga Kei tentang takdir ayahnya, sudah pasti Kei melarang ayahnya untuk berjualan hari itu, akan meluncur jutaan alasan untuk menahan ayahnya tidak pergi ke pasar, hari itu menjadi hari pertama bagi Kei diantar Ayah ke kampus sekaligus hari terakhir bagi Kei memeluk Ayah.

Ayah Kei tidak tahu bahwa hari itu para preman pasar berencana membuat kekacauan di pasar, karena dua hari sebelumnya, alat-alat berat telah mendarat di pasar, bahkan Excavator telah merubuhkan beberapa kios liar di depan pasar sejak kemarin. Setelah azan Zuhur Ayah Kei segera bergegas menuju musholah yang letaknya berada di luar pasar, naas bagi Ayah Kei, kerusuhan tiba-tiba saja terjadi, sebuah batu melayang mengenai kepala Ayah Kei, dia langsung jatuh tergeletak berlumuran darah, untung saja ada Pak Toni, pemilik toko di sebelah toko Ayah, dia menyelamatkan Ayah Kei dan membawanya ke rumah sakit.

***

"Assalamualaikum..." teriak Kei dari ujung pintu depan, "Bu... Kei bawa nasi goreng nih," Kei berjalan ke arah kamar orang tuanya, pintu kamar itu diketuknya, dia menunggu beberapa saat lalu Kei menekan gagang pintu kamar itu kebawah, pintu itu terbuka, Kei menemukan Ibu sedang berdiri menatap jaket yang dipakai Ayah setelah pulang mengantar Kei ke kampus hari itu. Jaket itu masih tergantung, "Ibu..." Kei segera menghampiri ibu lalu memeluknya.

"Ayah selalu ada di sini kan, Bu?" tanya Kei dengan nada parau.

"Sosok ayahmu tidak akan pernah pergi, dia akan selalu ada di sini," balas ibu sambil membelai rambut Kei. Ibu yang membuat sosok ayah selalu hadir dalam hidup Kei, kebiasaan-kebiasaan kecil Kei, Zul dan Ibu ketika bersama Ayah selalu hadir, ketika Kei dan Zul membutuhkan uang, Ibu selalu meletakkannya di kantong jaket yang tergantung itu.

Kalimat yang kerap meluncur dari mulut ibu, membuat sosok Ayah tetap hadir dalam hidup Kei,  "Sana, minta sama Ayah!"

Kalimat itu berubah kemarin, "Sudah minta izin sama, Ayah?" 

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun