Tumbal
Bagi Wendi, kata menyeramkan hanya terjadi sekali seumur hidupnya. Saat itu, dia sedang berteduh di sebuah warung kopi di kampung sebelah ketika baru saja pulang mengumpulkan data untuk keperluan KKN. Wendi berteduh karena kabut yang turun, biasanya kabut turun bersamaan dengan gerimis. Namun, kali ini kabut datang sendiri, tebal dan dingin, membawa keheningan yang tidak wajar.
Wendi merasa ada sesuatu yang mengintai dari dalam kegelapan. Suara jangkrik yang biasanya menjadi sahabat malam, kini hilang entah kemana, meninggalkan keheningan yang mencengkeram. Sesekali terdengar suara dedaunan bergesekan, namun tak ada angin yang bertiup.
Pemilik warung, seorang pria tua dengan wajah penuh keriput, hanya berdiri di sudut dengan tatapan kosong. Wendi mencoba berbicara, tetapi kata-katanya seakan terserap oleh kabut tebal yang mengelilingi mereka. Warung kopi yang seharusnya ramai dengan orang-orang yang sedang berteduh berubah menjadi tempat yang sepi dan sunyi, seperti dunia yang terhenti.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar warung. Langkah kaki itu berat, berderak seperti kayu lapuk. Jantung Wendi berdetak kencang, udara di sekitarnya semakin mencekam. Kabut perlahan merayap masuk ke dalam warung melalui pintu dan jendela, menyelimuti lantai kemudian perlahan-lahan naik, kabut itu nampaknya hidup dan bernafas.
Wendi merasa ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik kabut, mata yang tidak tampak namun terasa begitu dekat. Dia ingin berlari, namun kakinya terasa berat, ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Dalam keheningan itu, Wendi mendengar suara berbisik, suara yang memanggil namanya dengan nada yang begitu rendah, dalam, dan mengerikan.
Suara itu terus menggaung di telinganya, semakin lama semakin keras. Wendi berusaha menutup telinganya, namun bisikan itu terus merasuki pikirannya, membawa rasa takut di dalam jiwa. Di saat itu, Wendi tahu, dia tidak sendiri di dalam warung itu. Ada sesuatu, sesuatu yang lebih tua dari waktu, sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
***
"Selamat ya, Wendi..." Suara menyebalkan itu masih saja terngiang di telinganya, bagi Wendi kata selamat setelah lulus kuliah adalah sebuah kata yang sangat munafik, bekerja saja belum, lalu apa fungsi kata itu?
Wendi si kepala batu itu tidak bertahan lama di desa, dua hari setelah lulus dari universitas ternama di kota, Wendi pulang, itu pun karena permintaan ibunya, keesokan harinya, dia sudah berkemas-kemas, mau merantau katanya, Ibu Wendi hanya menganggukkan kepala dan memberikan restu, bahkan dia sendiri pun tidak tahu kemana tujuannya.
Wendi mendarat di Jakarta, dia tiba di stasiun Jatinegara tepat tengah malam, ketika semua orang sibuk berebutan di pintu keluar, Wendi melawan arus sambil celingukkan mencari musholah, dia memilih untuk meghabiskan malam di musholah stasiun saja ketimbang harus berjaga-jaga dari serangan serigala malam.
Wendi kembali melangkahkan kakinya setelah sholat subuh di musholah, dia tahu benar tujuannya, sudah yakin dan mantap langkahnya, saat itu matahari saja masih lelap tertidur, tapi aktifitas manusia di bawah kolong langit sudah ramai, mereka sedang sibuk mengejar rejeki yang terhampar di wajah bumi. Begitu pun Wendi, dia sedang berusaha menjemput rejekinya.
Wendi menyetop sebuah angkutan umum, mikrolet, dengan jurusan PS. Rebo, dari sana dia akan di jemput oleh teman satu kuliahnya, Ranto, dia sudah lebih dulu bekerja, karena Ranto KKN di tempat itu, beruntung sekali dia, lulus saja belum tapi sudah ada tempat untuknya bekerja.
Wendi dan Ranto tidak satu jurusan, mereka hanya satu kampus, mereka berdua saling kenal karena mereka berdua katif dalam setiap kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, mereka menjadi sangat akrab, kemana saja selalu berdua, mereka berpisah karena KKN saja, Ranto ke Jakarta, Wendi ke Lampung.
"Wendi..." teriak Ranto pagi itu. Mereka berdua melepas rindu, seperti sudah lama tidak bertemu padahal setahun saja belum berlalu.
Wendi menginap di rumah kontrakan Ranto yang disewa bersama dua orang temannya, mereka semua satu fakultas dengan Ranto, hanya Wendi sendiri yang berbeda fakultas, tidak masalah bagi Wendi, dia orang yang mudah bergaul.
Setelah beberapa minggu tinggal di kontrakan itu, sudah ratusan lamaran di sebar, namun belum juga mendapatkan hasil, "Wen, ada lowongan nih... tapi jadi guru, lo mau gak?" tanya Ranto sambil menyesap kopi.
"Sikatlah, di mana?" Wendi tidak lagi berfikir panjang, asal ada kerjaan, halal, berapa pun gajinya, dia akan lakukan, "Gue anterin lamarannya sekarang aja ya!" Wendi sudah tidak lagi sabar, dia ingin seperti teman-temannya yang lain di kontrakan itu.
"sabar-sabar, besok gue tanya teman gue yang mau cabut dari sekolah itu, ya!" Ranto berusaha untuk meredam emosi Wendi yang meledak-ledak karena belum juga mendapatkan pekerjaan.
***
Wendi beruntung, hanya sekali wawancara dia langsung diterima bekerja di sekolah itu, mengajar Matematika, dia memang sangat pandai matematika, mungkin hanya Wendi satu-satunya lulusan teknik yang sulit mencari kerja, atau mungkin karena idealismenya yang masih tinggi, hanya Wendi dan Tuhan saja yang tahu tentang hal itu.
Mulai hari itu, Wendi sudah berkemeja rapi dengan setelah celana bahan serta sepatu kulit, rambutnya pun dipotong tipis, "Cocok lo jadi guru..." canda Ranto ketika mereka sedang bersiap-siap untuk keluar dari rumah kontrakan, dan bersiap untuk mengais rejeki.
Waktu begitu cepat berlalu, setahun sudah Wendi benar-benar menikmati perjalan hidupnya sebagai guru Matematika di sekolah itu, Wendi benar-benar menikmati setiap kegiatan, proses serta aktifitas-aktifitas yang membuatnya benar-benar nyaman bekerja sebagai guru.
Namun, ada satu hal yang mengganjal, Wendi kerap menjumpai bayangan-bayangan hitam ketika sedang mengajar di kelas, terakhir yang dilihat Wendi seorang perempuan dengan wajah bolong-bolong tersenyum padanya di ujung lorong lantai empat, saat itu Wendi hendak pergi ke toilet, perempuan itu sering hadir belakangan ini.
Kemarin, Wendi terpaksa pulang agak sore, karena harus membuat administrasi pembelajaran yang banyaknya melebihi disertasi, ketika sedang asik bekerja di depan layar komputer, tiba-tiba perempuan itu menampakkan wajah pucat dan bolong-bolongnya dari balik layar, sontak Wendi terkejut.
Perempuan itu nampak seperti ingin mengatakan sesuatu, dia ingin bercerita, Wendi mengetahui hal itu karena sorot mata perempuan tidak menyeramkan, hanya wajahnya saja yang hancur, rusak dan bolong-bolong, sorot mata perempuan nampak sedih. Wendi memberanikan dirinya bertanya, "Kamu siapa?"
"Tolong..." suara perempuan itu seperti berbisik.
"Saya enggak bisa nolongin," Wendi berusaha menolak, "cari yang lain saja, saya bukan orang yang bisa bantuin kamu!"
Wendi langsung kerasukan setelah mengatakan kalimat itu, sebenarnya perempuan itu hanya ingin menceritakan sesuatu pada Wendi, sayangnya hanya dengan cara merasuki Wendi perempuan itu dapat berkomunikasi.
Perempuan itu bernama Azizah, dia seorang ibu dari satu orang anak, dia menjadi korban tumbal dari sebuah sekte, dia tidak terima nyawanya dibuat persembahan untuk sekte sesat itu. Azizah ingin membalas dendam pada orang yang menumbalkan nyawanya.
Azizah ternyata juga seorang guru di sekolah itu, dia meninggal setahun yang lalu, itu sebabnya Wendi ada di sekolah itu, karena menggantikan Azizah, nyawanya diambil oleh orang yang tidak memiliki moral, orang itu ingin usahanya terus bertengger di tengah gempuran harga dan kualitas.
Tiba-tiba Wendi sulit bernafas, dia nampak tersengal-sengal, wajahnya seketika rusak, lalu berlubang.
***
"Pak Wendi sudah meninggal dunia," ucap seorang polisi yang datang ke lokasi kejadian keesokan harinya, Wendi jatuh dari tangga lantai empat dengan wajah rusak, dengan lubang-lubang yang mengerikan di wajahnya, kejadian yang sama persis setahun yang lalu dengan Azizah.
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H