Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sirna Sudah Cintaku Padamu

13 Mei 2024   16:25 Diperbarui: 13 Mei 2024   17:52 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar Jeswin Thomas dari pexel.com

Kehilangan, sungguh, itu bukanlah sekadar lenyapnya sesuatu dari genggaman. Kehilangan adalah sebuah perjalanan melintasi lembah yang sunyi, di mana jiwa yang sepi berjalan dengan hati yang remuk berusaha menderapkan langkah yang tegar. Dalam kehilangan, jiwa yang sepi akan menemukan rahasia yang tersembunyi dalam relung hati yang paling dalam. Kehilangan juga mengajarkan jiwa yang sepi tentang nilai sejati dari kebersamaan, tentang kelembutan dalam belas kasihan, dan tentang kekuatan yang tersembunyi dalam kesendirian. Meskipun kelam, kehilangan adalah awal dari perjalanan menuju cahaya yang lebih terang, di mana jiwa yang sepi itu bisa memeluk kenangan dengan tulus, memelihara rasa syukur atas apa pun yang pernah dimilikinya, dan menemukan keberanian untuk melangkah maju, meski langkah itu terasa berat.

***

"Beberapa hari lagi, aku pulang ke Yogya," ucap Friska dengan suara gemetar, ia seperti sedang menanggung beban berat di pundaknya ketika mengatakan kalimat itu, hatinya dipenuhi oleh gejolak yang sulit diungkapkan. Desa ini berhasil menghipnotisnya, dengan segala keindahan alam yang memesona hingga seorang pria yang hadir mengisi relung hatinya.

“Jangan bawa aku pulang!” Deandra menatap wajah Friska yang sedang hanyut dalam ketidak-pastian perasaannya. Suara Deandra membuat Friska semakin tenggelam ke tengah arus perasaannya yang tidak menentu.

“Dean,” Friska tidak berani menatap wajah Deandra, dia tertunduk setelah Dean mengatakan kalimat itu, “aku enggak becanda, Dean!” ucapnya lesu, wajahnya masih menatap lantai kayu yang berbaris dari rumah panggung, Friska dengan teman-temannya tinggal di rumah panggung selama bertugas di desa ini. Friska tidak berani menatap Deandra, dia takut, matanya akan menangkap rindu, dan rindu itu akan terus menggelayuti pikirannya, Deandra, pria yang unik, mahasiswa seni rupa yang senang dengan intrik politik, kadang-kadang menjadi seorang filsuf yang menciptakan teorinya sendiri.

“Kalau begitu, bawa aku pulang!” Deandra sudah tdak lagi menatap wajah Friska, dia mencari-cari sesuatu dari dalam tas selempangnya. Friska tidak memperhatikan Deandra, karena dia sedang bersiap-siap untuk patah hati dari kehilangan seseorang yang telah menorehkan cinta dengan cara yang berbeda di lubuk hatinya yang sangat rapuh.

Dalam lubuk hati Friska yang paling dalam, ada penyesalan yang sangat mendalam, andai saja waktu dapat diputar, Friska ingin mengubah jalan ceritanya, dia tidak akan memilih desa ini, atau kalau tidak dapat diubah desanya, Friska tidak akan minum kopi di rumah kepala desa, di sore itu lah semua kisah Friska terjadi.

Desa ini memang dikenal sebagai desa penghasil kopi terbesar di Indonesia, meskipun masih dalam urutan ketiga berdasarkan data statistik, namun, menurut Deandra, seharusnya desa ini sudah layak menempati posisi pertama, pemerintah daerah seharusnya membasmi lintah-lintah yang menghisap darah para petani kopi di desa ini, sehingga, mereka dapat memproduksi biji kopi dengan kualitas terbaik di dunia.

Bicara tentang kopi dengan Deandra, sama seperti kamus berjalan, dia mengetahui lebih detail tentang jenis kopi, Deandra tidak hanya bicara tentang Arabika, Robusta, Liberika dan Excelsa, tapi juga sejarah yang membawanya menjadi sebuah cerita, dalam pikiran Deandra, kopi adalah sebuah seni, mahakarya Tuhan di bumi, lewat Deandra juga Friska dapat memahami lebih dalam tentang mikroorganisme kopi, tentu sangat membantu Friska sebagai mahasiswi Falkutas pertanian dengan jurusan Mikrobiologi Pertanian yang sedang kuliah kerja nyata di desa penghasil kopi terbesar itu, Deandra memang unik, mahasiswa jurusan seni rupa yang tahu lebih banyak tentang teknik pertanian kopi.

“Bawa aku pulang…” ucapnya lebih tegas, tangannya menyodorkan sesuatu, “Friska…” panggil Deandra, karena Friska masih saja menundukkan kepalanya sejak tadi, pikirannya melayang. “bawa aku pulang…” ucap Deandra saat Friska menatap wajahnya, bola mata Friska langsung tertuju pada sebuah benda yang sedang di pegang oleh Deandra.

“Dean,” ucap Friska lirih, Friska tidak tahu cara mengungkapkan perasaannya, hanya air mata yang menetas melintasi hatinya yang rapuh. Deandra segera berdiri menghampiri Dian yang sedang menahan air mata, dia menyematkan sebuah kalung dengan liontin beberapa butir biji kopi, aroma kopi dari kalung itu sangat tajam, persis seperti aroma desa ini.

“Nanti, aku kirim surat ke rektor kamu,” celoteh Deandra, setelah menyematkan kalung berliontin kopi itu.

“Mau ngapain, Dean?”  Friska segera menoleh kearah Dean yang sedang berjalan menuju bangku yang berada tepat di depan Friska, wajah Dian agak sedikit cemas, karena Deandra bicara tentang rektor, Friska tidak ingin mencari masalah dengan kampus, dia hanya ingin cepet-cepat lulus dengan nilai yang bagus, lalu berkarir, sudah, tidak ingin macam-macam.

“Aku mau nanya, alamat rumah kamu dimana?” 

Mendengar celotehan Deandra, membuat Friska semakin terpuruk ketakutan dari perasaan rindu, hanya Deandra-lah satu-satunya laki-laki unik yang hadir dalam cerita hidupnya, setelah kembali ke Yogyakarta nanti, tentu tidak akan ada lagi celotehan yang nyeleneh dari Deandra, rasa rindu itulah yang di takuti Friska.

***

“Selamat, ya…” Suara berat dengan tangan besar berbulu lebat itu menjabat tangan Friska yang kecil, hari itu Friska lulus dari universitas yang membuat namanya bertambah panjang, begitulah kata Deandra dulu saat Deandra dan Friska sedang berdiskusi tentang jenis kopi yang dapat difermentasi, dia juga menambahkan, Deandra tidak ingin lulus dari universitas kalau harus membuat namanya semakin panjang, kasian nanti orang-orang kesulitan membacanya.

Semenjak Friska tiba di Yogyakarta, Deandra hanya dua kali mengiriminya surat, yang pertama saat Friska sedang di rawat di rumah sakit karena Demam Berdarah, surat itu datang ke Rumah Sakit dengan nama Friska yang sedang di rawat di rumah sakit karena Demam Berdarah, surat itu membuat gempar seluruh karyawan rumah sakit, sangat memalukan, tapi, itu-lah yang membuat Friska rindu.

Surat kedua datang langsung ke tangan Friska melalui staff kebersihan kampus, Pak Suruno, membawanya langsung ke tangan Friska, surat itu di kirim dengan nama pak Surono, tapi di dalam amplop itu ada sepucuk surat lagi surat yang terselip, surat itu distaples, dan tertulis untuk Friska, mahasiswi jurusan Mikrobiologi.

Friska memang tidak pernah membalas surat-surat itu, dia langsung menelepon tempat Deandra bekerja, Friska mendapatkan nomor itu dari salah satu temannya ketika KKN di Desa itu, Deandra bekerja paruh waktu sebagai barista di sebuah kedai kopi, tiap kali Friska menelepon Deandra tidak pernah mau berbicara dengannya, pernah satu ketika, saat Friska menelepon kedai kopi itu, kebetulan Deandra sendiri yang mengangkatnya, dia berbicara di telepon bagai tidak pernah mengenal Friska, saat itu Friska benar-benar kecewa, tapi, datanglah sebuah surat, surat kedua yang dikirim melalui Pak Surono, isinya hanya maaf, dengan tulisan yang sangat besar.

Hari kelulusan itu adalah hadiah besar untuk Deandra, itulah pintanya ketika dulu memberikan kalung berliontin biji kopi di desa, di hari kelulusannya itu juga, Friska sangat merindukan celotehan-celotehan lucu, unik dan nyeleneh Deandra, namun, sayangnya sudah tidak lagi dapat terdengar untuk selamanya, sebuah demonstrasi besar-besaran terjadi saat itu, Deandra pun hilang.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun