Tahun lalu Satrio membelikan ibunya lemari es, tak tanggung-tanggung, lemari es empat pintu, besarnya saja sudah setinggi rumahnya, dalam surat yang dikirim bersama lemari es empat pintu itu. Satrio mengatakan kalau lemari es ini bisa untuk membuat es batu, di Jakarta laku dua ribu rupiah, di kampung seribu lima ratus saja, dia juga mengirim uang untuk menaikkan daya listrik rumahnya, sebelumnya hanya 450 Watt, hanya cukup untuk menyalakan mesin air, kalau ingin menyalakan televisi harus bergantian.
Tahun sebelumnya lebih konyol, Satrio membelikan ibunya ponsel, tak tanggung-tanggung, ponsel yang paling mahal, ponsel dengan gambar buah yang diujungnya di makan kelelawar, begitulah kata ibunya Satrio, masalahnya, ponsel itu hanya bisa dipakai pada saat Sulastri ada di rumah, karena ibunya tidak pandai membaca, dia tidak tahu cara menggunakan ponsel buah itu.
Setiap bunyi nada dering, pastilah ibunya panik, dia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya, dia hanya memegangi ponsel dengan gambar buah yang dimakan kelelawar dengan wajah sedih, dia tahu pasti Satrio menelepon, apalah daya, usia sudah lanjut, mata pun rabun, di tambah tak pandai membaca.
Tahun ini, sebelum ibunya sakit, Satrio mengirimi logam mulia dan beberapa perhiasan, dia mengirim sebuah surat yang mengatakan kalau dia sangat rindu, tapi Satrio lupa, di balik cincin dan kalung yang dia kirim itu tertulis nama-nama pemiliknya.
***
"Hei, kau tidak pulang?" tanya Risman, kawan Satrio.
"Aku takut, tapi aku rindu..." ucap Satrio.
"Kenapa kau tak pulang?"
"Kamu mau kita tertangkap?"
-Tamat-