Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bermuaralah Air Hujan dan Air Mata

1 Mei 2024   20:13 Diperbarui: 1 Mei 2024   20:18 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Nur Andi dari Pexel.com

"BADAI... KELUAR DARI RUMAH... KELUAR..." teriak Rizal, dia seorang nelayan yang masih muda, baru dua tahun lulus dari universitas perikanan di pulau Jawa, dia memang berbeda dari teman-teman sebayanya baik sekolah, di kampus atau di kampung ini, dia hanya punya satu tujuan; menyadarkan juga meyakinkan ayahnya bahwa nelayan adalah sebuah pekerjaan yang mulia, sama halnya menjadi tentara, polisi, atau guru.

Angin memeluk pantai dengan eratnya, ia terlihat sangat ganas, membentuk belalai yang menari-nari dari tengah laut, lalu mengamuk. Ia mengangkat debu pasir dan membawanya terbang ke angkasa, berdendang bersama deburan ombak tak terhentikan. Hujan pun bergabung dalam tangisan yang memilukan, mengiringi lirik-lirik dalam melodi yang digemakan dalam senandung badai.

"BADAI... BADAI..." Ia berteriak sambil membawa sebuah kentongan yang terbuat dari bambu, alat itu memang sering dipakai warga kampung pesisir ini setiap ada musibah atau pada saat air laut pasang.

"RIZAL... RIZAL..." ayah Rizal memanggil namanya, suara ayahnya tenggelam di antara hujan yang mengguyur kampung pesisir ini tanpa ampun, angin dan hujan menciptakan pertunjukan yang spektakuler, mereka menghadirkan kilauan petir dari kejauhan, menyinari pantai yang gelap dengan sorotan cahaya yang menyilaukan. Ombak-ombak yang tinggi menabrak pantai dengan kekuatan yang tak terbendung, menciptakan dentuman yang mampu membuat jiwa-jiwa yang hitam menggigil ketakutan.

Keluarga Rizal telah tinggal selama beberapa generasi, berdampingan dengan lautan yang memberi mereka kehidupan. Namun, belakangan ini, badai yang semakin sering muncul dan naiknya permukaan air laut telah mengubah segalanya. Menurut berita, efek dari pemanasan global perubahan iklim, entahlah, Rizal hanya meyakini satu hal, Tuhan sedang murka.

Ayahnya Rizal adalah seorang nelayan yang telah melabuhkan hidupnya di samudera yang luas yang tak terduga sepanjang hidupnya, dalam setiap tarikan jaringnya, ia membawa pulang cerita-cerita tentang gelombang yang menggemparkan, angin yang meniup dengan keanggunan tak tertandingi, serta matahari yang menyinari samudera dengan kehangatan yang menggetarkan jiwa.

Dari kejauhan dia melihat sosok ayahnya, "KITA HARUS KELUAR DARI RUMAH INI, AYAH!!!" teriak Rizal.

"TAK BISA, KITA HARUS PERTAHANKAN RUMAH INI..." Ayah Rizal bersikeras untuk tinggal di rumah itu. Rizal tahu betul bagaimana sifat badai, dia telah mempelajarinya selama kuliah di universitas perikanan di pulau Jawa, karena kampung ini berhantaman langsung dengan samudera Hindia, pulau Siberut.

"MANA EMAK? UPIK?" tanya Rizal dengan wajah cemas. Rizal memang belum bertemu mereka sejak tadi siang, karena Rizal harus mempersiapkan peralatan untuk melaut, seharusnya dia kembali ke darat besok pagi, tapi, karena angin kencang membuat dia dan kawan-kawan nelayan lainya harus segera kembali sebelum badai memporak-porandakan perahu-perahu mereka.

"ADA DI DALAM," teriak Ayah, mereka memang harus bersuara kencang, suara karena angin lebih kencang dari suara mereka. Mendengar ibu dan adiknya masih di dalam, Rizal segera berlari menghampiri mereka berdua, Rizal mengajak mereka segera menjauh dari pantai, Rizal pun tidak tahu kemana, yang pasti mejauh dari amukan alam.

"AYO, MAK... KITA HARUS PERGI..."

"INDAK RIZAL, MAK HARUS TEMANI AYAH KAU," bantah ibunya Rizal, dia menolak ajakkan Rizal, "BAWA ADIK KAU PERGI, SELAMATKAN DIA."

"RIZAL HARUS BAWA AYAH DAN EMAK!"

"MAK DI SINI, MAK HARUS TEMANI AYAH KAU, DAH CEPAT PERGI..." Ibunya Rizal mendorong mereka pergi dari rumah kayu. Rumah-rumah di kampung ini memang semua terbuat dari kayu, bahkan tidak menapak di tanah, menggantung, kami menyebutnya rumah panggung.

Rizal menarik adiknya pergi menjauh dari rumah kayu, ketika di pintu depan, Ayah juga mendorong Rizal untuk pergi menjauh, ayahnya sempat berbisik pada Rizal sebelum dia menuruni tangga dari rumah kayu itu, "Laut adalah rumah kita, tempat kita berasal dan juga tempat kita kembali," ucapnya dengan suara yang berat yang mendarat di telinga Rizal.

Air mata bercampur air hujan membanjiri wajah Rizal, sudah tak lagi nampak, mana yang turun dari langit dan mana yang turun dari hati. Rizal hanya memegang teguh amanat dari ibunya, menjaga adiknya agar selamat dari bencana ini.

Rizal tahu betul, badai ini akan membawa tsunami bersamanya. Dia dapat merasakan getaran yang tak terlihat dari samudera yang bergolak, mendengar desiran yang memperingatkan kesadaran dirinya akan bahaya yang akan datang. Namun, di tengah kepanikan yang melanda jiwanya dan juga para penduduk Pulau SIberut, Rizal bersikeras untuk bertindak.

Dengan tekad yang teguh, Rizal memimpin penduduk setempat untuk mencari perlindungan yang aman. Meskipun badai mengamuk dengan keganasannya, mereka tidak menyerah pada takdir yang tak terelakkan. Mereka bekerja bersama-sama, menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk pergi ke tempat perlindungan yang dapat melindungi mereka dari amukan tsunami yang mengancam.

Di bawah langit yang gelap, Rizal dan penduduk Pulau Mentawai berjuang melawan waktu. Mereka sedan berlomba menghadapi ombak-ombak yang menderu dengan keberanian yang tak tergoyahkan, mempertaruhkan segalanya demi keselamatan mereka dan orang-orang yang mereka cintai.

Tsunami itu akhirnya datang, dengan segala kekuatannya yang menghancurkan dan menggemparkan. Ombak raksasa bergulung-gulung saling bersahutan, menjulang tinggi di langit seperti monster yang kelaparan, siap untuk menelan segala yang ada di hadapannya. Pulau Siberut, yang berdiri di hadapan amukan alam yang maha dahsyat, terjungkal dalam kegelapan dan keputusasaan.

Di tengah kekacauan yang melanda, Rizal, bertindak dengan cepat. Dengan suaranya yang lantang dan tindakannya yang tegas, ia memimpin penduduk setempat berlari menuju tempat perlindungan yang telah mereka siapkan sejak Rizal lulus dari universitas di Pulau Jawa itu. Ayah Rizal, dialah satu-satunya yang menentang, "Tuhan tahu siapa yang harus digulung laut." Begitulah ucapnya ketika Rizal bersama dengan penduduk desa berusaha membangun tempat perlindungan dari amukan itu.

Beberapa dari mereka berlari melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan reruntuhan, menyelamatkan yang bisa diselamatkan, dan memperjuangkan setiap detik yang mereka miliki.

"AYAH..." teriak Rizal dari tempat perlindungan yang berada jauh dari bibir pantai, suaranya meluluhkan hati seiring dengan dinding air laut yang mendekat dengan cepat. Ia berteriak dengan keputusasaan yang terpancar dari suara paraunya.

"Bang Rizal, Ayah..." tangis Upik pecah bersama guntur yang menggelegar. Mereka berdua menyaksikan laut yang marah, tak kenal iba, meluluh lantakkan segalanya, mungkin bukan laut yang murka, tapi, pencipta laut, tapi, mengapa dia murka? Bukankah kami tak pernah memalingkan wajah kami? Ia berusaha memahami kehendak Tuhan di balik kejadian yang terjadi di hadapannya, mengapa kemarahan itu memuncak, Tuhan?

Rizal berusaha mengumpulkan keyakinannya yang telah terserak. Meskipun badai mengamuk di sekitarnya, ia memilih untuk percaya, pasti ada cahaya di balik kegelapan yang melanda negerinya, dalam hatinya, ia bersumpah untuk terus berdiri tegar, tak gentar menghadapi cobaan apapun yang datang, karena kekuatan sejati terletak pada ketabahan dan keihklasan dari ujian yang Tuhan berikan kepada manusia.

Mereka hanya dapat meratapi kepedihan hatinya, bermuaralah air hujan dan air mata.

***

Ketika badai mereda dan samudera kembali tenang, tanpa pikir panjang, Rizal segera berlari menuju rumah panggung, air mata yang bermuara bersama sisa-sisa tangisan langit melebur bersama hembusan angin yang jatuh ke bumi.

"Ayah... Emak..." ucap Rizal lirih, bahkan suaranya hampir tak terdengar. Ia melihat rumah panggung itu luluh lantak tak berjejak, namun, ada setitik harapan tersisa di hatinya.

"Ayah..." Dia segera berlari menuju surau yang di bangun oleh tangan Ayah sendiri, surau itu bersebelahan dengan rumahnya, surau tempat Ayah mengadukan segala keluh kesahnya, surau tempat Ayah bermunajat semalaman ketika tak dapat ikan, surau tempat Ayah memanggil penduduk kampung ini untuk menghadapkan wajahnya pada sang khalik, suaru itu masih berdiri tegak.

"Ayah..." Rizal berdiri di mulut surau, air matanya tidak lagi bermuara bersama air hujan, tapi, bersama doa, karena, ayah dan emak sedang bersujud, namun, sudah tak lagi bernyawa.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun