Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bermuaralah Air Hujan dan Air Mata

1 Mei 2024   20:13 Diperbarui: 1 Mei 2024   20:18 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Nur Andi dari Pexel.com

"AYO, MAK... KITA HARUS PERGI..."

"INDAK RIZAL, MAK HARUS TEMANI AYAH KAU," bantah ibunya Rizal, dia menolak ajakkan Rizal, "BAWA ADIK KAU PERGI, SELAMATKAN DIA."

"RIZAL HARUS BAWA AYAH DAN EMAK!"

"MAK DI SINI, MAK HARUS TEMANI AYAH KAU, DAH CEPAT PERGI..." Ibunya Rizal mendorong mereka pergi dari rumah kayu. Rumah-rumah di kampung ini memang semua terbuat dari kayu, bahkan tidak menapak di tanah, menggantung, kami menyebutnya rumah panggung.

Rizal menarik adiknya pergi menjauh dari rumah kayu, ketika di pintu depan, Ayah juga mendorong Rizal untuk pergi menjauh, ayahnya sempat berbisik pada Rizal sebelum dia menuruni tangga dari rumah kayu itu, "Laut adalah rumah kita, tempat kita berasal dan juga tempat kita kembali," ucapnya dengan suara yang berat yang mendarat di telinga Rizal.

Air mata bercampur air hujan membanjiri wajah Rizal, sudah tak lagi nampak, mana yang turun dari langit dan mana yang turun dari hati. Rizal hanya memegang teguh amanat dari ibunya, menjaga adiknya agar selamat dari bencana ini.

Rizal tahu betul, badai ini akan membawa tsunami bersamanya. Dia dapat merasakan getaran yang tak terlihat dari samudera yang bergolak, mendengar desiran yang memperingatkan kesadaran dirinya akan bahaya yang akan datang. Namun, di tengah kepanikan yang melanda jiwanya dan juga para penduduk Pulau SIberut, Rizal bersikeras untuk bertindak.

Dengan tekad yang teguh, Rizal memimpin penduduk setempat untuk mencari perlindungan yang aman. Meskipun badai mengamuk dengan keganasannya, mereka tidak menyerah pada takdir yang tak terelakkan. Mereka bekerja bersama-sama, menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk pergi ke tempat perlindungan yang dapat melindungi mereka dari amukan tsunami yang mengancam.

Di bawah langit yang gelap, Rizal dan penduduk Pulau Mentawai berjuang melawan waktu. Mereka sedan berlomba menghadapi ombak-ombak yang menderu dengan keberanian yang tak tergoyahkan, mempertaruhkan segalanya demi keselamatan mereka dan orang-orang yang mereka cintai.

Tsunami itu akhirnya datang, dengan segala kekuatannya yang menghancurkan dan menggemparkan. Ombak raksasa bergulung-gulung saling bersahutan, menjulang tinggi di langit seperti monster yang kelaparan, siap untuk menelan segala yang ada di hadapannya. Pulau Siberut, yang berdiri di hadapan amukan alam yang maha dahsyat, terjungkal dalam kegelapan dan keputusasaan.

Di tengah kekacauan yang melanda, Rizal, bertindak dengan cepat. Dengan suaranya yang lantang dan tindakannya yang tegas, ia memimpin penduduk setempat berlari menuju tempat perlindungan yang telah mereka siapkan sejak Rizal lulus dari universitas di Pulau Jawa itu. Ayah Rizal, dialah satu-satunya yang menentang, "Tuhan tahu siapa yang harus digulung laut." Begitulah ucapnya ketika Rizal bersama dengan penduduk desa berusaha membangun tempat perlindungan dari amukan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun