Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dikencingi Pengetahuan

30 April 2024   08:08 Diperbarui: 30 April 2024   08:15 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Maghda Elers dari pexel.com

Dalam kegelapan, pengetahuan menjadi sebatang obor berkelip redup, berpendar di dalam lorong kelam kehidupan kau. Ia tak lagi terasa sebagai sumber kekuatan, tetapi lebih seperti beban yang menindas, bahu-bahu kau yang nampak kurus itu memikul pengetahuan yang tak terjangkau luasnya. Setiap helai dari pengetahuan yang kau genggam hanya menambah berat langkah kau saja, ia akan terus mendorong kau lebih jauh masuk ke dalam jurang ketidakpastian dan membuat kau semakin silap.

Mungkin saja, kau terperangkap, terbelenggu oleh pengetahuan yang kian menjauhkanmu dari kedamaian. Cahaya yang kau cari di dalamnya semakin pudar, menyisakan bayang-bayang yang menakutkan dalam kekosongan yang melilit jiwa. Setiap babak yang kau pelajari hanya membuka luka-luka lama, pengetahuan itu sedang berusaha mengungkap sebuah kebenaran yang pahit tentang masa lalu kau yang cukup kelam dalam sebuah kegagalan.

Dalam kegelisahan kau yang mendalam, pengetahuan bukanlah pemandu yang setia, tetapi lebih seperti penjara yang menyekap kau dalam tembok-tembok kebingungan, tapi, tak pernah terlompat kata penyesalan. Kau terus saja terombang-ambing dalam gelombang-gelombang ketidakpastian, tanpa arah dan tanpa tujuan yang pasti.

Sebenarnya, kau patut di acungkan jempol, karena di tengah kegelapan dari pengetahuan itu, masih ada cahaya samar-samar yang masih nampak bersinar. Mungkin, dalam keheningan malam, kau dapat menemukan kebijaksanaan yang tersembunyi di balik bayang-bayang kegelapan. Atau, boleh jadi, dalam keputusasaan kau yang paling dalam, kau dapat menemukan kekuatan untuk terus maju, menghadapi kegelapan dengan keberanian yang kau temukan.

***

Orang-orang di kampung ini memanggil kau dengan nama yang sangat terhormat, karena kau memiliki pengetahuan itu, lalu, kau juga mengajak masyarakat kampung ini untuk berpengetahuan seperti kau, meski mereka tak pandai menulis dan membaca, kau terus ajak mereka tanpa henti, setiap hari, kau bujuk mereka dengan hadiah yang menggiurkan, pastilah terbit selera mereka dengan rayuan kau itu, tapi, mereka lupa, mereka tidak berpengetahuan seperti kau.

Tanpa pengetahuan itu pun, hidup kau sudah beruntung, karena kau bekerja membantu orang-orang Belanda di Balai Desa, membantu mereka dengan lembaran-lembaran yang membuat sakit kepala bagi mereka yang tidak pernah mengunyah bangku sekolah, mana lah mungkin orang-orang Belanda itu menerima kau bekerja tanpa pengetahuan.

“Ungku…”[1] Djamilah memanggil kau dari kejauhan, ia mempercepat langkahnya mengejar kau, “tunggu…”

Guratan wajah kau nampak bersungut-sungut, Djamilah memang pandai membaca, dia pun pandai menulis, tapi, dia bukanlah pembaca yang baik, bukan pula penulis yang elok, meski demikian, tak pernah dia patah arang, dia sangat rajin, setiap hari tak pernah luput dari mengeja dan menulis, meski dia tak pandai mengolah kata, atau merangkainya seperti gurindam melayu yang mendayu-dayu, kau juga yang salah, kau memberinya mimpi terlalu tinggi, yang membuatnya terus menerus mengeja pengetahuan itu, bukan?

“Aku sedang terburu-buru Djamilah, bisakah nanti saja, itu pun bila kau ingin diskusi tentang pengetahuan itu!”

“Aku hendak menanyakan sesuatu, Ungku Djalil, nampaknya, Ungku Djalil seperti ingin lari dariku?”

“Kau tau kan, Djamilah. Aku ini pegawai Belanda, sibuk aku, banyak hal yang harus aku kerjakan.”

“Tapi, Ungku Djalil, aku hendak menanyakan sesuatu, tentang kata-kata,” pinta Djamilah memohon, Djamilah bukanlah orang bodoh, dia pun sama dengan Ungku Djalil, Djamilah pun berpengetahuan, tapi dia rela meletakkan kepalanya di bawah kaki pengetahuan Ungku Djalil, bahkan, lebih dulu Djamilah menelan pengetahuan ketimbang Ungku Djalil.

“Mana, coba kutengok,” ucap kau, namun, wajah kau nampak seperti ular piton yang sedang menelan anak sapi, sepertinya ekspresi wajah kau itu adalah cerminan dari pikiran kau ketika melihat kata-kata yang disulam dalam bentuk gurindam yang baru saja disodorkan oleh Djamilah. “Bebal otak kau, Djamilah,” teriak kau ketika selesai mengolah kata-kata itu di dalam benak kau.

“Kenapa, Ungku?” Sedih wajah Djamilah kau buat, padahal, setiap kata memiliki makna yang berbeda, setiap gurindam memiliki budaya yang mendalam. Di padang yang berbeda, tentu saja ilalangnya pun berbeda, meskipun berbeda, setiap padang dan ilalang memiliki keunikan dan kecantikannya sendiri. Mereka itu saling melengkapi, dan memberikan warna pada pemandanga alam yang mengangumkan. Seperti halnya kehidupan, perbedaan itu adalah sesuatu yang alami, patutnya dihargai, itulah yang membuat dunia ini indah dan beragam.

Sudah habis kau dikencingi oleh pengetahuan kau sendiri, tengok saja setiap kata-kata yang meluncur dari mulut kau, pastinya bau pesing, sebab kau selalu merasa paling berpengetahuan, kau terlalu banyak meminum pengetahuan yang membuat kau mengompol, tak padai kau menahan rasa kencing itu.

“Berkhotbah kau, Djamilah? Dalam kata-kata gurindam ini, berkhotbah kau, Djamilah?” Urat mata kau memerah, nada bicara kau pun meninggi.

“Aku tidak berkhotbah, Ungku Djalil… demi Tuhan, Ungku… begitulah pengetahuan yang aku dapat dari negeri Belanda,” ucap Djamilah gemertar, Djamilah sudah pernah pergi ke negeri Belanda, dia benar-benar belajar di sana, dia pun mendapatkan pengakuan berupa secarik kertas yang di bubuhi tanda tangan Jan Pieter Van Der, sementara kau, mengakui diri kau berpengetahuan dari hasil membaca kitab-kitab selama kau bekerja dengan orang-orang Belanda.

“Aku tidak menerima gurindam macam ini,” tegas kau, lalu kau campakkan kata-kata yang telah ditulis indah oleh Djamilah dalam gurindam itu.

Djamilah hanya diam terpaku memandangi punggung Ungku Djalil yang semakin menjauh darinya, kau buat Djamilah seperti orang yang sedang patah hati karena cintanya bertepuk sebelah tangan, padahal selama di Belanda sudah berkali-kali dia membuat gurindam, berbahasa Melayu, berbahasa Belanda, bahkan berbahasa Indonesia pun pandai dia, hanya saja, memang selera yang berbeda, sama halnya dengan kopi, ada yang senang manis ada pula yang senang pahit, mana boleh kau membuat fatwa kopi manis itu haram, atau kau buat hadist kopi pahit itu tidak pernah diminum nabi.

Kau pun sama bodohnya Djamilah, kau sudah bersekolah jauh sampai ke negeri Belanda, mengapa kau ikuti kata-kata Ungku Djalil, apa yang kau cari?

Mungkin, kau juga ingin dikencingi oleh pengetahuan kau itu, Djamilah?

1; Kata sapaan untuk orang yang patut dihormati.

 

-Tamat-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun