Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ini untuk Mama

22 Desember 2023   18:07 Diperbarui: 24 Desember 2023   21:45 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GURUN tandus itu, tempat di mana pasir menyimpan cerita-cerita yang terhembus angin, bagai lembaran-lembaran kisah yang terbang bebas di langit tanpa batas. Di antara debu dan riak-riak panas, terpaan matahari menjalin tarian dengan bayangan yang merindang, menghadirkan lukisan yang menggambarkan kesendirian dan keindahan yang tersembunyi.

"Oeeeee .... Oeeeeee." Suara tangisan seorang bayi yang merayap dalam keheningan gurun tandus. Tangisan yang terombang-ambing di antara pasir-pasir yang tak berujung. Jeritan kecil itu memantul di lembah pasir, menciptakan harmoni yang kontras dengan sunyi gurun yang meluas. Matahari yang bersinar terik menyaksikan panggilan tubuhnya yang lemah.

"Sabar sayang..." Di tengah panas terik padang pasir, ibunya sedang berjuang, jejaknya tertoreh di atas pasir yang terpanggang matahari. Dalam kehausan yang menyengat, langkah-langkahnya membawa harapan akan menemukan sumber air yang menghidupkan.

Dalam pencarian yang putus asa, ibunya berlari-lari di antara dua bukit kecil, Safa dan Marwah, mencari sumber air. Tujuh kali dia melakukan perjalanan bolak-balik antara dua bukit tersebut.

Pada pencariannya yang ke ketujuh, ketika ibunya sedang berdiri di dekat tempat bayinya berbaring, tiba-tiba muncul mata air yang melimpah. "Zamzam... Zamzam," pekiknya. Air ini adalah karunia dari Tuhan atas doa yang tulus dari seorang ibu.

***

AKU berdiri terpaku menatap wajahku di depan cermin. Rambutku helai demi helai terlihat memutih. Kulitku inchi demi inchi sudah berkerut. Tulang-tulangku sudah tidak seperti dulu yang mampu menopang beban yang berat.

"Ufi, kenapa?" Suara suamiku membuyarkan lamunanku yang terpaku menatap tubuhku dihadapan cermin.

"Engak apa-apa," balasku cepat, buliran air di ujung mata yang hampir jatuh segera kuhapus sebelum ia melihatnya.

"Sudah siap?" tanya suamiku. Ia mendekapku dari belakang, pelukan hangat yang menenangkan batinku yang sedang bergemuruh.

"Mas," kataku. Aku segera membalikan tubuhku, kutatap mata suamiku yang teduh itu. "Mas ridho sama aku?"

"Iya, mas ridho dengan ketetapan takdir yang Tuhan berikan untuk keluarga kita, untuk kamu dan aku."

"Mas." Masih kutatap mata suamiku. "Aku takut Ismail tidak menyayangiku."

"Ufi... Perjuanganmu sama hebatnya seperti Siti Hajar. Kasih sayangmu itu bagai Zamzam bagi Ismail," ucapnya, disudut matanya terlihat genangan air yang akan tumpah. Ia memelukku.

Air mataku pun tumpah, jatuh ke gurun pasir yang sudah tidak lagi gersang seperti dulu, tangisan pertama dari seorang ibu yang berjuang demi anaknya, air mataku menyusul sungai kasih sayang itu.  

***

IBU belum terlihat dari pandanganku, aku sudah memutar bola mataku menyisir setiap sudut ruangan ini. Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, seharusnya ibu sudah tiba, membuatku semakin gelisah.

"Ismail." Temanku yang duduk disebelahku menepuk pundakku. "Mana ibu kamu?" Diucapakannya dengan bahasa isyarat. Aku penderita disabilitas, aku tidak bisa mendengar dan tentu saja tidak pandai berbicara.

"Belum datang," kataku sambil menggerak-gerakkan tanganku memberikan isyarat pada temanku. Lalu dia menunjuk ke arah jam yang melingkar di tangannya, bahasa isyarat bagiku yang berarti terlambat. Aku yakin ibu pasti sudah datang, hanya saja belum nampak dipandanganku.

"Ismail." Temanku yang duduk dibelakangku menepuk pundakku, aku menoleh, lalu dia menunjuk. Aku mengikuti arah jari temanku. Diujung jari itu kudapati wajah seorang wanita yang sedang tersenyum dengan bangga dan melambaikan tangannya padaku.

"Ibu..." Kubalas lambaian tangan itu, selain lambaian tangan, kedua jempolnya pun melayang-layang. Tandanya aku hebat, selalu begitu sejak aku kecil.

Aku tak mampu menahan haru yang menghimpit dadaku, kutumpahkan melalui air mata. Ia bukan ibu kandungku tapi cintanya melebihi ibu yang melahirkanku ke dunia ini. Mereka menemukanku di sebuah panti asuhan, aku yatim-piatu, bahkan pihak panti pun tidak tahu siapa ayah dan ibu kandungku.

Mereka meninggalkanku di dalam sebuah bis bertinggkat jurusan Cililitan-Tanjung Priok dengan sebuah surat yang isinya hanya nama, tempat, tanggal lahir serta tahun aku di lahirkan, saat itu usiaku baru enam bulan, lalu supir bis tingkat itu menitipkanku ke panti asuhan, kemudian pihak panti melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib. Begitulah cerita yang aku tahu.

Sejak bayi aku tidak menangis, aku disabilitas sejak lahir, sepertinya ibu kandungku kurang gizi sehingga aku terlahir dalam keadaan seperti ini atau mungkin Tuhan sengaja menitipkanku kepada ibu Ufi dan suaminya. Mereka mengadopsiku ketika aku berusia 8 tahun.

Ibu ufi, maksdku---mama, mengadopsiku karena kedua rahimnya harus diangkat. Entah karena apa, aku tidak pernah bertanya pada mama, bagiku mengetahui alasannya saja sudah cukup, itu pun aku tunggu hingga usiaku 17 tahun. Aku tidak ingin kado apa pun, aku hanya ingin penjelasan dari mama, mengapa ia mau mengadopsiku dengan kondisi disabilitasku ini.

Mama sangat ekspresif sekali, ia mampu membaca tatapan mataku yang tertuju langsung menatapnya. Melihat air mataku menetes, ia mendekapkan kedua tangannya di dadanya, yang artinya "Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan."

Tidak, mama. Tidak. Perasaan ini hanya aku yang rasakan, kasih sayang yang mama curahkan untukku hanya aku yang rasakan, hingga aku berhasil mendapatkan beasiswa di tanah Saudi, menamatkan S2-ku di Arab Saudi. Rasa syukur ini aku panjatkan kepada Tuhan agar mama diberikan imbalan dari mengasihiku, menyayangiku hingga aku dapat mengejar mimpiku.

***

KAMU, jangan kamu teteskan air matamu, nak. Tak sanggup hati ini menatapmu berderaian air mata seperti itu. Bukankah ini mimpimu, ingin melanjutkan pendidikanmu di sini.

Cukup, Nak. Jangan kamu tatap ibu yang belum sempurna dalam memberikan kasih sayang untukmu, hentikan, Nak!

"Mas," kutarik lengan baju suamiku.

"Kenapa?" Ia menatapku.

Memang sengaja aku menarik lengan bajunya, agar ia menoleh dan aku bisa melepaskan pandanganku dari anak yang bukan berasal dari rahimku, tapi aku mencintainya lebih dari apa pun yang aku miliki saat ini.

Anak yang sangat membanggakan, meskipun ia memiliki banyak sekali kekurangan, ia anak yang cerdas. Mengapa ibu kandungnya tega sekali meninggalkannya di dalam bis di malam hari, untunglah supir bis itu orang yang baik. Mengapa ibu kandungnya tidak pernah berfikir di luar sana banyak sekali wanita yang menginginkan kehadiran sang buah hati.

"Kenapa?" Suamiku menggenggam tanganku yang masih bergelayut dilengan bajunya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.

Aku berhasil melepaskan pandanganku darinya, setidaknya hingga ia naik podium dan menerima sertifikat kelulusan, kusimpan air mata ini untuk momen itu.

***

Melihat mama melepaskan pandangannya, aku kembali duduk tegak di kursiku menunggu giliranku untuk melewati para profesor yang berdiri gagah diatas podium itu.

Pikiranku melayang jauh teringat ketika aku masih kecil, mama mengajarkanku berkomunikasi dengannya, karena saat itu usiaku baru 8 tahun, aku frustasi, begitu pun mama. Entah mengapa ia nekat mengadopsiku yang serba kekurangan ini, berkomunikasi denganku saja ia tidak mampu.

Satu minggu bertahan, akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari rumah besar itu. Aku ingin kembali ke panti saja bersama teman-temanku yang jahil tapi mereka mengerti keinginanku, aku tahu mereka sebenarnya sayang padaku, hanya saja aku yang tidak tahu cara mengungkapkannya.

Setelah aku membereskan semua pakaian yang aku masukan kedalam tas, hanya beberapa helai saja yang kubawa kembali ke panti. Mama menghentikan langkahku, ia bersimpuh berderaian air mata menahanku agar tidak pergi.

Melihat matanya yang tulus itu, aku baru menyadari bahwa mama memang tulus mencintaiku.

"Nama kamu di panggil," temanku mencolek pundakku.

Aku berdiri dari tempatku duduk, mataku menatap mama. Lalu aku berjalan dengan mantap menuju podium. Setelah mendapat sertifikat aku kembali menatap mama.

"Ini untuk mama," ucapku dalam bahasa isyarat yang hanya kami berdua yang mengetahuinya.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun