Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Untuk Hidup yang Lebih Baik

1 Desember 2023   16:08 Diperbarui: 1 Desember 2023   16:30 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dari pexel.com

SUNGGUH, hari-hari pertama di desa ini menghadirkan kejutan dan penderitaan yang tak terduga. Angin pedesaan yang bertiup lembut membawa aroma harum dari tanah yang lembab, dan juga sejumput cerita hidup yang penuh kekurangan dan ketidakpastian. Aku, seorang guru yang baru saja dipindah tugaskan ke desa terpencil ini, merasa seperti seorang petani yang baru menanam bibit di tanah kering.

Dengan langkah hati-hati, aku memasuki ruang kelas yang dipenuhi dengan wajah-wajah remaja yang penuh rasa ingin tahu. Mereka, anak-anak desa yang kurang memiliki kekayaan terhadap pengathauan dunia, tetapi mata mereka berbicara dengan penuh dengan semangat dan keinginan untuk tahu. Meskipun sekolah ini tak memiliki fasilitas mewah, aku yakin setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, tanpa pandang bulu siapa pun itu.

Tantangan pertama yang aku temui adalah kurangnya buku dan materi ajar. Ruang perpustakaan sekolah seakan-akan hanya menghias dinding dengan rak kosong tanpa lembaran-lembaran yang menguning karena termakan usia. Tanpa ragu, aku mulai mengumpulkan sumbangan dari warga desa, mencari bantuan dari pemerintah setempat, serta menggalang dana untuk membeli buku-buku pelajaran yang layak. Semangat untuk mengubah tak boleh lemah meski terpaan angin menggoyah kaki yang tak berpijak.

Perjuanganku tak hanya sebatas pada kurangnya buku. Ada kekerasan berbalut diskriminasi yang merajalela di kalangan siswa, hanya karena status sosial, status suku, juga keturunan. Bagi siswa yang kurang mampu sering menjadi sasaran ejekan dan cemoohan dari teman sekelas yang lebih beruntung dari mereka. Aku tahu, untuk menciptakan lingkungan belajar yang sehat, aku harus merangkul setiap siswa tanpa memandang status ekonomi mereka, mengubah pandangan yang telah terpatri dari keluarga mereka itu sangat sulit, mereka terbiasa dengan diskriminasi yang telah bertelur turun temurun.

Dengan hati yang teguh, aku mengadakan sesi mentoring dan diskusi kelompok untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap siswa. Aku ingin mereka merasa didengar dan diterima. Bersama-sama, kami merancang program anti-kekerasan dan anti-diskriminasi yang melibatkan seluruh komunitas sekolah. Aku ingin memastikan bahwa setiap anak bisa tumbuh dan belajar dalam lingkungan yang aman, nyaman tanpa kekerasan.

Aku juga menyadari bahwa anak-anak ini butuh inspirasi untuk bermimpi, mereka tidak memiliki sosok untuk bermimpi, bangsa kita kekurangan sosok untuk menjadi panutan yang pantas untuk mereka bermimpi. Mereka harus tahu bahwa kekurangan materi bukan penghalang untuk mencapai impian mereka. Aku mengundang pemateri tamu dari luar desa yang mampu membawa mereka melihat ke dunia luar yang lebih luas melalui cerita dan gambaran yang penuh warna.

Tentu saja, perjalanan ini tidak datang tanpa hambatan. Beberapa orang tua meragukan perubahan ini, takut bahwa anak-anak mereka akan mengalami kekecewaan, perubahan budaya. Namun, aku terus membangun dialog dengan mereka, menjelaskan tujuan dan manfaat dari setiap perubahan yang aku usulkan.

Setelah beberapa bulan berlalu, aku melihat perubahan besar dalam kehidupan para murid. Mereka tidak hanya menjadi lebih rajin belajar, tetapi juga semakin percaya diri dan perlahan berani bermimpi. Prestasi mereka di kelas meningkat, dan mereka mulai melihat masa depan dengan harapan yang lebih besar.

Aku yakin, meskipun tantangan tak pernah selesai, upaya kami memberikan dampak yang positif pada generasi ini. Kekurangan materi bukanlah akhir segalanya; semangat dan tekad untuk berubah adalah kunci utama. Aku bahagia melihat mereka tumbuh dan berkembang, karena pada akhirnya, mereka adalah masa depan desa ini yang akan membawa perubahan yang lebih besar.

Seiring berjalannya waktu, komunitas sekolah kami menjadi semakin bersatu. Para siswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar dari pengalaman hidup satu sama lain. Mereka saling mengisi kekurangan, saling memahami, membentuk ikatan kekeluargaan yang erat di antara mereka.

Namun, masih ada hambatan yang harus dihadapi. Fasilitas sekolah yang kurang memadai yang selalu saja menjadi masalah utama. Ruang kelas yang bocor ketika hujan turun, kursi yang rusak, dan bahkan toilet yang tidak layak pakai. Aku tak ingin melihat masa depan cerah anak-anak ini terhenti hanya karena infrastruktur yang buruk.

Tidak ada kata menyerah, aku memimpin usaha untuk meningkatkan fasilitas sekolah. Aku berbicara dengan pemerintah setempat, mendekati organisasi amal, dan meminta bantuan dari masyarakat sekitar. Bersama-sama, kami memulai proyek renovasi sekolah, memperbaiki atap yang bocor, mengganti kursi yang rusak, dan memperbaiki fasilitas sanitasi yang sangat dibutuhkan.

Masalah yang sebenarnya muncul ketika kami dihadapkan pada keterbatasan anggaran. Meskipun sudah banyak bantuan yang diterima, masih belum cukup untuk menyelesaikan seluruh proyek renovasi. Inilah saatnya untuk melibatkan siswa, orang tua dan masyarakat. Bersama-sama, kami mengadakan bazaar amal, pertunjukan seni, dan berbagai kegiatan penggalangan dana lainnya. Meskipun hanya sejumlah kecil uang yang berhasil kami kumpulkan, semangat kebersamaan dan keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak kami membuat semua itu bernilai.

Hasilnya, proyek renovasi berjalan lancar. Sekolah kami menjadi lebih nyaman dan layak untuk menjadi tempat belajar. Anak-anak kami memiliki lingkungan yang lebih baik untuk mengembangkan potensi mereka. Ini bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga perubahan mental dan emosional di antara siswa dan masyarakat.

Ternyata, kisah perjuangan kami belum berakhir. Kami terus menghadapi diskriminasi dan stereotip dari desa tetangga. Beberapa masih meremehkan kami, menganggapnya tidak setara dengan sekolah-sekolah di kota besar. Ya, bebas saja, kita hidup dalam pemikiran demokrasi, namun, kami tidak membiarkan celaan itu menghentikan semangat kami.

Dengan keberanian serta kegigihan, kami terus berjuang untuk memberikan pendidikan yang setara dan berkualitas bagi setiap anak di desa ini. Aku yakin, satu tahun ini hanyalah awal dari perjalanan panjang kami. Masa depan mereka tidak terbatas oleh keadaan ekonomi atau lingkungan fisik mereka. Bersama-sama, kami berusaha membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu masa depan yang lebih baik, bahkan di daerah terpencil yang sering terlupakan.

Saat merayakan satu tahun perjalanan ini, aku melihat mata para murid penuh harapan, mereka meiliki tekad. Itulah hadiah terindah yang bisa aku terima. Aku bukan guru bagi mereka, tetapi teman sejati yang ingin tumbuh bersama mereka. Dan dalam setiap langkah kecil yang kami ambil bersama, aku yakin kami sedang membuat perbedaan yang nyata dalam hidup, untuk masa depan yang lebih baik.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun