Aku seorang imigran yang baru saja tiba di Dubai. Aku berasal dari sebuah desa miskin di propinsi Balochistan di Pakistan, kemiskinan yang aku alami karena konflik yang tidak berkesudahan. Aku berharap bisa mendapatkan pekerjaan juga kehidupan yang lebih baik di kota yang megah itu.Â
Namun, ternyata realitanya tidak sesuai dengan harapanku. Sulit rasanya beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang baru.
Ketika tiba di Dubai aku menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku merasa kagum dan takjub dengan kemegahan dan kemewahan kota Dubai.Â
Aku juga sering mendengar banyak cerita dari orang-orang tentang peluang serta kesempatan untuk mengubah nasib di negeri ini. Aku berangan-angan, negeri ini akan menjadi tempat di mana aku dapat mewujudkan mimpiku.
Aku datang ke Dubai dengan visa kerja sebagai pekerja bangunan, Dubai sedang dalam pembangunan yang pesat belakangan ini. Aku telah menghabiskan semua tabunganku untuk membayar biaya perjalanan, juga membayar jasa agen perekrut agar aku dapat pergi ke negeri ini. Aku berharap bisa mendapatkan gaji yang besar agar aku dapat menghidupi keluargaku di Pakistan serta menyisihkan sebagian uang itu untuk masa depanku.
Namun, begitu aku mulai menjalani kehidupan di Dubai, aku segera menyadari bahwa kenyataannya jauh dari ekspektasi awalku. Aku tinggal di sebuah asrama bersama dengan ratusan pekerja dari berbagai negara. Asrama itu jauh dari apa yang aku harapkan, ruangannya yang sangat sempit, tingkat kebersihannya yang kurang terjaga, dan suhu yang panas yang sulit ditoleransi.Â
Di sini, aku harus berbagi fasilitas seperti kamar mandi yang terbatas, dapur yang sangat jorok, dan juga tempat tidur yang berada di dalam sebuah kamar yang berukuran kecil yamg dihuni oleh orang-orang yang sama sekali tidak aku kenal sebelumnya. Akibatnya, aku benar-benar kehilangan privasi serta kenyamanan yang biasanya aku nikmati dalam kehidupan sehari-hari ketika di desa.
Setiap hari, aku dengan penuh dedikasi menjalani pekerjaan di bawah teriknya matahari. Tugas-tugasku seperti mengangkat bahan-bahan berat, memasang pipa, serta memberikan sentuhan akhir dengan mengecat dinding. Aku selalu berusaha tunduk pada perintah dari atasanku yang berwibawa meskipun mereka terkadang tegas dan tidak pernah sabaran.Â
Kesadaran akan konsekuensi kesalahan atau keterlambatan dalam pekerjaanku membuatku selalu berusaha dengan sebaik-baiknya, karena satu kesalahan pun dapat mengakibatkan teguran atau bahkan potongan gaji.
Aku mendapatkan gaji yang sangat rendah untuk pekerjaan yang berat juga berbahaya. Setelah membayar sewa asrama, transportasi, dan makanan, aku hanya memiliki sedikit uang yang tersisa untuk dikirim ke keluargaku. Aku tidak bisa menabung atau membeli apa-apa untuk diri sendiri. Aku merasa tertekan dan tertipu oleh agen perekrut yang menjanjikan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Aku juga merasa kesepian juga terasing di kota asing ini. Aku tidak bisa berbicara bahasa Arab atau Inggris dengan lancar. Aku sulit berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarku. Aku tidak memiliki teman atau saudara di sini. Aku jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk menelepon atau mengirim pesan ke keluargaku di Pakistan karena biayanya mahal dan sinyalnya buruk.
Aku merindukan rumah, istri, anak-anak, juga orang tua. Aku merindukan udara segar, tanah hijau, juga langit yang berwarna biru cerah di desaku. Aku merindukan segalanya tentang Pakistan. Aku merindukan kebebasan, keadilan, terutama martabatku sebagai manusia.
Aku bertanya-tanya apakah ini adalah hidup yang layak bagiku. Apakah semua ini pantas? Mahal sekali harga yang harus aku bayar untuk sebuah mimpi? Apakah ada harapan atau masa depan bagiku di negeri ini?
Aku mencoba untuk tetap kuat, aku harus optimis untuk mengejar semua yang aku impikan. Aku menguatkan diriku, aku yakin ini adalah ujian dari Tuhan. Aku tetap bersyukur hingga saat ini aku masih hidup, masih sehat wal afiat. Aku berdoa agar Tuhan memberiku kesabaran, keberanian, terutama keberuntungan agar aku tetap hidup.
Aku juga mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan juga budaya yang baru. Aku belajar bahasa Arab beserta Inggris sedikit demi sedikit dari buku-buku juga internet.Â
Aku menghormati adat istiadat agar aku tidak melanggar norma setempat setempat. Aku bersikap ramah, juga sopan dengan orang-orang yang aku temui di jalan.
Aku berusaha untuk menjalin hubungan dengan sesama pekerja imigran di sini. Akhirnya, aku memutuskan untuk bergabung dalam komunitas Pakistan di Dubai. Di sana, aku berbagi kisah serta pengalaman pribadi kami masing-masing, dan seringkali, aku meminta nasihat dan juga pandangan mereka.Â
Dalam komunitas ini, kami saling memberikan dukungan moral, bantuan kemanusiaan antara satu sama lain, menciptakan ikatan yang kuat di antara kami.
Aku juga aktif mencari hiburan, agar aku tetap merasa hidup, serta sedikit kesenangan saat aku memiliki waktu luang. Seringkali, aku menghabiskan waktu di taman, di tepi pantai, atau di mal.Â
Selain itu, aku suka menonton film, mendengarkan musik, atau bermain game untuk mengisi waktu luang. Aku sangat menikmati pemandangan yang indah dengan beragam fasilitas yang disediakan oleh kota Dubai yang tidak pernah tidur.
Aku berharap bahwa suatu hari nanti, aku dapat meninggalkan Dubai kembali ke Pakistan. Aku berharap aku bisa membawa uang yang cukup untuk membangun rumah kecil di Pakistan, membuka usaha, yang paling utama adalah memberi pendidikan yang baik untuk keluarga . Aku berharap, aku dapat melihat senyum dan pelukan dari istri, anak-anak, dan orang tuaku.
Aku berharap mimpiku akan menjadi kenyataan, meskipun saat ini aku sedang dalam kondisi koma di rumah sakit akibat kecelakaan kerja.
-Tamat-
Iqbal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H