Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Mantel Hujan Berwarna Merah Jambu

31 Agustus 2023   12:21 Diperbarui: 31 Agustus 2023   13:41 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh Eduardo dari pexel.com

Hari ini, sinar matahari bersinar sangat memukau di langit yang jernih, menciptakan suasana yang begitu cerah dan indah. Angin berhembus dengan lembut, membawa harum bunga-bunga dan segarnya udara pagi. 

Langit biru terhampar luas, hamparan awan putih seperti kapas memberikan sentuhan artistik pada pemandangan yang memesona ini. Suara burung-burung yang riang berkicau dengan riang, menciptakan lukisan alam yang menggembirakan. 

Semua elemen bersatu menghadirkan keindahan dan keajaiban di sekitarku. Aku terbangun dengan sinar matahari yang lembut menyentuh wajahku melalui jendela kamar. 

Angin sejuk pagi merayu di balik tirai tipis, dan aku merasa sangat segar setelah tidur nyenyak semalaman. Dengan langkah ringan, aku berjalan ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi hangat, aroma khas yang selalu berhasil mengusir kantuk pada pagi hari.

Saat aku duduk di meja makan, aku merenung sejenak. Sudah hampir setahun sejak peristiwa itu. Peristiwa yang mengubah hidupku secara tak terduga. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana semuanya terjadi. 

Saat itu, hujan lebat turun dengan derasnya. Air mata langit seolah sedang mencuci dunia dari semua kegelapan. Aku terjebak di tengah keramaian kota, payung hitam melindungiku dari tetesan-tetesan air yang jatuh begitu deras.

Saat itulah aku melihat seorang pria muda dengan mantel hujan berwarna merah jambu. Warna cerah itu menyala di tengah abu-abunya kota yang sedang diguyur hujan. 

Matanya memancarkan kehangatan yang luar biasa. Kami bertemu tanpa sengaja di sudut jalan yang penuh dengan genangan air, saat itu kami berdua terkena cipratan genangan air karena mobil yang sedang melintas dengan kecepatan tinggi. 

Dia menatapku dan tersenyum, tiba-tiba saja suasana hatiku berubah. Aku yang sebelumnya merasa kesal dengan cuaca buruk dan juga hari yang menyebalkan ini, aku merasa seperti dihadiahi kilau pelangi yang tersembunyi di balik awan kelabu.

"Siapa sangka kita akan berakhir seperti ini?" katanya sambil tertawa aku masih ingat senyum manis dari wajahmu, kami berjalan di tengah hujan yang terus turun.

"Ya, memang agak konyol sih. Tapi setidaknya kita punya cerita unik untuk diceritakan nanti." kataku saat itu.

"Tapi, tahu gak, rasanya seperti dunia ini hanya milik kita berdua saat ini." katanya.

"Betul juga." ucapku sambil merasakan tetesan hujan di wajahku, payung yang sempat melindungiku kini tak lagi berarti, "Tapi kenapa hanya kita?" tanyaku saat itu.

"Karena hanya kita berdua yang terkena cipratan air itu." sahutnya sambil tertawa tergelak, kami saling melepas kekesalan kami.

"Seperti teman lama yang akhirnya kembali bertemu setelah lama terpisah." ujarku sambil menatapnya.

"Jadi, apa kabar selama ini?" ia menimpali pernyataanku.

"Oh, kamu tahu sendirilah. Hidup monoton dengan rutinitas sehari-hari. Tapi sepertinya kamu punya banyak cerita menarik setelah sekian lama." balasku dengan canda.

"Kamu bisa percaya gak, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku, saat ini aku sedang mengejar mimpiku." timpalnya sambil tertawa, namun matanya memancarkan keseriusan.

"Serius? Itu keren banget! Lalu, apa impian besar yang ingin kamu capai?" tanyaku saat itu sambil menghentikan langkahku.

"Aku membuka sebuah kafe kecil yang menyajikan kopi spesial dan makanan lezat. Aku selalu menyukai dunia kuliner dan ingin berbagi kebahagiaan melalui makanan." Kali ini nada bicaranya cukup serius, ia menatapku dalam sekali.

"Kamu dan kopi, memang pasangan yang tak terpisahkan." tukasku sekenanya saja, aku merasa gugup ketika ia menatap mataku.

"Iya, memang. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin menciptakan tempat di mana orang bisa merasa hangat dan nyaman, seperti saat berada di rumah sendiri." katanya.

"Wow, itu sungguh mulia. Aku yakin kamu bisa mewujudkannya. Kamu memiliki semangat yang luar biasa." ucapku, saat itu kami masih berpura-pura seperti sahabat lama.

"Terima kasih atas dukungannya. Bagaimana dengan kamu? Apa impianmu?" katanya yang sempat membuatku tercekat.

"Aku masih mencoba mencari tahu ... tapi mendengar impianmu membuatku merasa terinspirasi. Siapa tahu suatu hari nanti aku juga akan menemukan panggilan impianku." jawabku sekenanya saja.

"Pasti, dan tentu saja, aku akan selalu mendukungmu seperti yang kamu lakukan padaku." Kali ini pandangan mata tulus itu menusuk jantungku.

"Terima kasih." kataku kikuk karena semua obrolan ini terjadi di tengah hujan yang terus turun.

"Hidup memang penuh kejutan ya." 

"Teman lama yang akhirnya bersatu lagi, di tengah hujan dan impian-impian yang membara." Balasku yang berusaha mengusir rasa gugup yang membungkus perasaanku saat ini.

"Mari kita hadapi dunia ini bersama-sama." katanya sambil meraih tanganku, saat itu kami berhenti di sebuah caf dengan ornamen yang sangat unik, melihat caf itu seperti berada di rumah, "Ini adalah impianku" lanjutnya, sambil menunjuk caf itu yang ternyata ia sebagai pemiliknya.

"Mari kita lakukan." Jawabku sambil menunduk malu.

"Aku Radit." Ia menjulurkan tangannya.

"Aku Nala" jawabku saat itu.

Semenjak hari itu, kami menjadi tak terpisahkan. Setiap hari terasa istimewa saat kami bersama. Kami mengejar impian kami masing-masing, tetapi selalu saling mengisi kekurangan satu sama lain. Warna merah jambu mantel hujannya kini menjadi lambang kebahagiaan dan inspirasi dalam hidupku.

Hingga saat ini, matahari masih bersinar cerah di langit. Aku menyesap kopi hangat dalam cangkirku dengan senyum merekah di bibirku. 

Terkadang, ketika hujan turun lagi, aku selalu teringat kembali bagaimana pelangi bisa muncul di tengah-tengah badai, dan bagaimana pertemuan tak terduga itu membawa pelangi ke dalam hidupku.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun