Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Abadi dalam Lipatan Kopiah Ayah

22 Agustus 2023   13:49 Diperbarui: 22 Agustus 2023   15:51 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Zero Pamungkas dari pexel.com

Setelah sekian lama merantau, akhirnya kaki ini melangkah lagi di tanah Simabur, kampung halaman di Sumatera Barat. Terik matahari menyambut kepulanganku, dan sejuknya angin pedesaan mengusap wajahku seperti seorang kekasih yang menyapaku dengan kerinduannya.

Aku memasuki kamarku, mataku tertuju pada sebuah harta karun yang tersembunyi di balik lemari tua di sudut kamarku. Melihatnya saja membuatku terhanyut dalam aliran waktu, kembali pada momen-momen penuh kebahagiaan bersama ayah. Ketika aku memegangnya, aku dapat merasakan sentuhan lembutnya dan mendengar suaranya yang hangat yang membuatku hanyut dalam kenangan masa itu.

Aku mengajak emak mengenang bersama dalam kenangan tentang kopiah itu. Kami duduk di teras depan, di temani matahari senja yang melukis langit dengan warna oranye dan merah serta hamparan padi yang mulai menguning. Aku meletakkan kopiah di pangkuanku, dan emak tersenyum melihatnya.

"Kopiah itu punya cerita yang menarik, Nak," kata emak dengan logat khas suku Simabur sambil memandanginya dengan penuh rasa rindu.

Aku mengangguk dan berkata, "Tentu, Mak. Ambo ingin tahu lebih banyak lagi tentang kopiah ini."

Emak melanjutkan, "Di desa tempat ayahmu tumbuh besar, kopiah ini menjadi simbol semangat perjuangan. Ayahmu berasal dari keluarga sederhana, dan segala sesuatu yang Ayah miliki saat itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Ayah bahkan menabung dengan susah payah untuk membeli kopiah ini, dan setiap kali Ayah mengenakannya, Ayah merasa seperti ia memiliki dunianya sendiri."

Aku membayangkan ayah muda yang penuh semangat, Ayah menabung untuk mendapatkan kopiah yang ia inginkan dengan berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh yang membuatku semakin menghargai makna di balik kopiah itu.

"Ayah selalu menyimpan kopiah ini dengan penuh rasa kecintaan yang sangat mendalam. Ketika cuaca sedang buruk atau pada saat kehidupan membawanya pada sebuah tantangan, kopiah ini adalah benda yang selalu Ayah pegang erat-erat, seperti simbol perlindungan dan semangat yang tidak pernah padam," kata emak dengan lembut.

"Emak... ." aku menggenggam tangan ibuku.

Emak mengambil napas dalam-dalam, matanya seolah-olah memandang ke dalam masa lalu. "Kopiah ini kenangan terindah dari masa muda ayahmu. Ketika itu, ayahmu masih menjadi seorang pelajar yang penuh semangat. Dia memakainya dengan bangga saat pergi ke sekolah dan acara-acara penting lainnya."

Aku tertarik, "Ceritakan lebih lanjut tentang Kopiah ini, Mak."

Emak tersenyum, terlihat seperti emak tengah merasakan kilasan masa lalu. "Ketika ayahmu itu masih muda, dia selalu mencari peluang dan kesempatan untuk terus belajar, rasa ingin tahu ayahmu itu tinggi sekali. Ayahmu adalah siswa yang rajin dan penuh semangat di sekolahnya. Di setiap ujian besar atau upacara sekolah, Ayah selalu mengenakan kopiah ini dengan penuh rasa kebanggaan."

Aku membayangkan ayah muda dengan seragam sekolahnya, memakai kopiah dengan tulus di tengah kerumunan siswa lainnya. Aku merasa sedikit lebih dekat dengan serpihan kecil dari hidup ayah yang belum pernah aku alami.

Emak melanjutkan, "Kopiah ini pun sering kali menjadi pembicaraan di antara teman-teman Ayah. Mereka mengenal ayahmu sebagai sosok yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki integritas tinggi. Kopiah ini menjadi lambang nilai-nilai keberadabadan yang Ayah anut dan dijunjung tinggi olehnya."

Aku membayangkan ayah muda dengan raut wajah penuh semangat, memakai kopiah itu dengan bangga di tengah-tengah teman-temannya. Cerita ini memberikan dimensi baru pada kopiah itu, bukan hanya sebagai peninggalan fisik, tetapi juga sebagai wakil dari semangat dan tekad ayah.

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa seperti terhubung dengan sejarah keluargaku yang lebih dalam.

"Ayahmu bahkan terinspirasi untuk belajar agama lebih dalam. Dia memanfaatkan waktu luangnya untuk pergi ke pondok pesantren di desa sebelah, dan tentu saja, Ayah selalu mengenakan kopiah ini sebagai tanda penghormatannya terhadap pengetahuan dan kebijaksanaan," kata emak dengan penuh kebanggaan.

Aku tersenyum mendengar cerita ini, bayangan ayahku tengah duduk dengan tekun di pondok pesantren, memakai kopiah itu dengan penuh kesungguhan, sangat menginspirasi. Aku merasa terhubung dengan semangat belajar dan pengembangan pribadi yang ayah anut.

Aku merasa terharu mendengar cerita tentang betapa berharganya kopiah itu bagi ayah. Sebuah benda sederhana bisa menjadi representasi begitu banyak emosi dan perjuangan.

Emak tersenyum lagi, "Ketika ayahmu pertama kali bertemu dengan Emak, Ayah juga mengenakan kopiah ini. Itu lah saat pertama kalinya Ayah memperkenalkan diri, dan kopiah ini menjadi bagian dari kisah cintanya yang indah."

Aku membayangkan ayah muda, mengenakan kopiah itu dengan hati yang berdebar-debar saat bertemu emak untuk pertama kalinya. Kopiah itu menjadi saksi bisu dari momen-momen penting dalam kehidupan ayah.

"Saat akhirnya Ayah memberikan kopiah ini pada Emak sebagai tanda kasih sayang, Emak merasa seperti menerima sebagian dari hatinya," kata emak dengan mata berbinar. "Dan sekarang, kopiah ini adalah bagian dari kita, meneruskan kisah-kisah indah yang telah ada sebelumnya."

Aku menggenggam kopiah itu dengan erat, merasa sebagai penerus dari nilai-nilai dan semangat ayah yang begitu berarti bagiku. Di balik lipatan-lipatan kain kopiah itu, tersimpan kisah-kisah yang memberi makna lebih dalam dalam hidup keluargaku.

"Selain itu, ketika ayahmu mulai bekerja sebagai guru agama di SDN 1 Simabur, kopiah ini selalu menemaninya. Ayahmu adalah sosok yang sangat berdedikasi tinggi, dan Ayah mengenakan kopiah ini sebagai pengingat untuk selalu bekerja keras dan jujur," lanjut emak.

Aku merenung sejenak, membayangkan ayah dengan seragam kerjanya, mengenakan kopiah itu dengan penuh semangat dalam setiap langkahnya. Kopiah itu menjadi lambang integritas dan komitmen ayah terhadap pekerjaannya.

"Ayahmu juga mengenakan kopiah ini pada hari pernikahan kami," kata emak dengan mata berbinar. "Ayah terlihat begitu tampan dan penuh kebahagiaan. Emak selalu mengingat senyumnya yang hangat saat Emak melihat fotonya."

Aku tersenyum mendengar cerita ini. Kopiah itu telah menjadi saksi bisu dalam momen-momen bersejarah dalam hidup ayah dan emak.

"Ayahmu sangat mencintai keluarga, dan kopiah ini selalu mengingatkannya untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Saat kau lahir, Ayah mengenakan kopiah ini saat menggendongmu untuk pertama kalinya," kata emak dengan nada lembut.

Aku tersenyum mendengar cerita ini, membayangkan saat-saat pertama dalam hidupku yang mungkin telah terlupakan.

Emak melanjutkan dengan nada penuh kehangatan, "Kau tahu, Ayah juga mengazankanmu untuk pertama kalinya sambil mengenakan kopiah ini. Ayah merasa bahwa kopiah ini adalah simbol kebijaksanaan dan perlindungan yang ingin Ayah wariskan padamu."

Aku merasa haru mendengar cerita ini. Kopiah itu bukan hanya simbol nilai-nilai keluarga yang tinggi, tetapi juga saksi dari momen-momen suci dalam hidupku.

Aku menatap kopiah itu dengan mata berbinar, "Aku akan mengenakan kopiah ini dengan bangga, seperti ayahku dulu."

Emak tersenyum, "Aku yakin ayahmu akan sangat bahagia melihatmu melanjutkan tradisi itu, Nak."

Aku menggenggam kopiah itu dengan lembut, merasa beruntung memiliki warisan yang begitu kaya dengan makna. Di balik segala kerumitan hidup, kopiah itu tetap ada, mengingatkan akan cinta ayah dan tanggung jawab yang dia pegang dengan begitu teguh.

Dalam matahari senja yang semakin merah, aku merasa sebuah rasa persatuan dengan keluargaku, dengan semua generasi yang telah mengenakan kopiah itu sebelumnya. Meskipun fisik ayah tidak lagi bersama kami, kopiah itu adalah jejak abadi dari cinta dan nilai-nilai yang akan terus mengalir dalam hidup kami.

"Mak, ambo akan pakai kopiah ini besok pagi di rumah Romlah." kataku.

Emak tersenyum lembut, matanya penuh dengan kebahagiaan mendengar kata-kataku. "Itu adalah keputusan yang sangat tepat, Nak. Ayahmu akan merasa sangat bangga melihatmu mengenakan kopiah ini pada hari pernikahanmu."

***

"Saya terima nikah dan kawinnya, Romlah binti Syamsul Rizal dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." kataku sambil menggenggam tangan Datuk Syamsul.

"Bagaimana Datuk Tan Majo Lelo?" tanya penghulu.

"Sah." jawab Datuk, "Sudah sah." lanjutnya.

"Alhamdulilah... ." Suara riuh bersahutan di rumah Romlah.

Pernikahanku berjalan lancar dan penuh cinta. Saat-saat bahagia itu diabadikan dalam foto dan kenangan, termasuk aku dengan kopiah ayahku di atas kepalaku.

Setelah pernikahan selesai, emak mendekatiku dengan mata berkaca-kaca. Aku tersenyum, merasa cinta ayah mengalir dalam setiap bagian dari pernikahanku. "Aku merasa Ayah ada di sini bersama kita, Mak." Kataku.

Dalam kopiah itu, aku merasakan jejak cinta, semangat, dan panduan ayahku. Setiap kali aku mengenakannya, mengingatkanku tentang sejarah keluarga dan nilai-nilai luhur yang ayahku ajarkan padaku.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Tentang Penulis:

Gemar memar mebaca buku-buku Filsafat dan Politik, selalu main gitar di kantin Sekolah SMA Cita Buana Jakarta dengan murid-muridnya pada saat jam istirahat.

#cerpeningatan
#pulpen
#sayembarapulpen

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun