Sore ini aku masih merenung, ditempat yang sama, disebuah dahan yang kering karena musim kemarau, matahari itu masih saja bertengger di singgasananya yang megah, sinarnya sungguh mentereng menyilaukan mata.
"Lat, jangan melamun." Sahut Nyamuk menepuk sayapku, aku hanya menoleh, aku sedang enggan berbicara padanya, aku tahu tabiat kalian para Nyamuk, kalian hinggap di tubuh hewan-hewan itu dan kalian juga hinggap di tubuh manusia, kalian sangat tidak konsisten, "Hei... masih saja melamun." lanjutnya.
"Muk," Panggilku.
"Apa yang kamu pikirkan Lalat?"Â
"Tidak ada."
"Tidak usah kamu pikirkan kemarau ini, semua pasti akan berlalu." Kata Nyamuk yang berusaha menghiburku.
Aku merenung bukan memikirkan kemarau, tapi memikirkan diriku sendiri, sudah lebih dari satu tahun aku beterbangan di sekitar danau ini, namun aku belum mampu beradaptasi dengan makhluk-makhluk yang juga ikut mencari makan di sini, si Belalang, aku pernah berbicara dengannya, ia cukup pintar, namun karena kakinya yang panjang sehingga ia lebih senang melompat ketimbang berfikir dan berdiskusi denganku, si Kupu-kupu, ia cantik dan juga cerdas, bicara dengannya tidak akan bisa seirama, aku Lalat yang gemar berkubang diantara bangkai, konsep pemikiranku tidak seperti makhluk-makhluk yang ada di danau ini, mana ada hewan yang mau mengurai bangkai, hanya aku satu-satunya.
"Muk," Aku menepuknya, "Berikan satu alasan mengapa kamu masih di danau ini?" Tanyaku.
"Hahahaha..." Ia tertawa melihatku, "Lalat, kamu sunggung sangat naif, dimana lagi bisa kudapatkan darah segar?" Lanjutnya.
"Aku dengar banyak yang bisa kamu mangsa di danau sebelah, Â Muk." Kataku.