“Hujan…”
“Hujan…” Ibu menepuk pundakku dan juga memelukku, kulihat air mata berkubang di kelopak matanya yang telah keriput itu.
“Mama… kenapa?” Tanyaku.
“Radit telepon aku ma.” Aku berusaha membuat Mama senang, ketika saat itu aku mengenalkan Radit, Mama sempat berkata kalau radit adalah pemuda yang baik, aku senang Mama sependapat denganku.
“Hujan…” Suara tangisan Mama semakin menjadi-jadi, air mata itu kini tumpah-ruah membanjiri pipinya yang tak lagi merah merona. Suara tangisan Mama yang berpadu dengan suara hujan membuat suasana kamarku semakin suram.
Kulihat Bi Ira berlari masuk kedalam kamarku, yang aku heran mengapa ia selalu mengenakan baju dan celana berwana putih setiap hari, ia menghampiri Mama dan berusaha mengajaknya keluar kamar, aku masih ingin berbicara dengan Radit di telepon.
“Mama…” Aku memanggilnya, “Mama bicara sama Radit ya.” Pintaku agar Mama tidak sedih.
“Hujan… ini sisir nak.” Teriak Mama, “Ini sisir pemberian Radit, Nak.”
“Ayo bu, kita sebaiknya keluar saja.” Ujar Bi Ira yang menggiring Mama keluar kamarku. “Maaf bu, sejak awal masuk ke sini Hujan selalu bicara tentang Radit, siapa Radit.” lanjutnya, aku mendengar percakapan mereka, aku ingin menjelaskan ketika Bi Ira menanyakannya.
“Radit adalah tunangan Hujan, dia seorang prajurit yang sangat gagah, ia seorang pahlawan bagi negeri ini.” Sahut Mama kepada Bi Ira yang sedang duduk di depan kamar, suara mereka terdengar sangat jelas sekali, meskipun hujan tetap berbisik.
“Lalu kemana Radit?” Tanya Bi Ira.