Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Pantas Aku Menangis di Hadapan Manusia?

9 Agustus 2023   10:00 Diperbarui: 16 Agustus 2023   16:16 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kota yang sibuk dengan lautan manusia hilir-mudik tanpa henti. Suara klakson mobil dan deru kendaraan menjadi simfoni kota yang tak pernah berakhir. Gedung-gedung menjulang tinggi di atas kepala, menciptakan bayangan yang memeluk seluruh sudut kota. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang terburu-buru, mencari jalan mengejar waktu demi menuju temapt-tempat tujuan mereka.

Di kaki langit, gedung-gedung perkantoran menjamu para pekerja yang bergegas memulai hari mereka. Karyawan berpakaian rapi melangkah cepat dengan tas laptop di pundak, ada juga yang dijinjing melingkar di lengan wanita-wanita yang bertubuh ramping, mereka selalu siap menghadapi tugas-tugas yang menantang. Sementara itu, para pejalan kaki berbaur di trotoar yang sempit, menyusuri jalan-jalan yang padat.

Kota ini adalah refleksi dari kesibukan serta kegembiraan manusia yang hidup di zaman modern. Di setiap sudut, terdapat warung kopi yang mengundang orang-orang untuk singgah sejenak dari hiruk-pikuk kota. Mereka tersenyum, tertawa, dan bercerita berbagi kisah tentang apa pun, suara dentingan sendok yang beradu dari cangkir kopi terdengar di antara percakapan ringan mereka.

Tapi di balik gemerlapnya kota yang ramai, ada kesendirian, kesedihan, kekecewaan yang terselip dalam keramaian, mereka merasa terisolasi di tengah kerumunan orang asing. Di antara gumpalan manusia yang bergerak, ada cerita-cerita yang belum terungkap, dan tak dapat terungkap, harapan-harapan yang terpendam, dan kekhawatiran yang dipendam dalam kegelisahan yang suram.

Aku adalah seorang psikolog yang sangat berdedikasi membantu orang-orang menemukan kedamaian dalam kehidupan mereka. Setiap hari, aku menyambut klien-klienku dengan tulus, siap untuk mendengarkan cerita-cerita mereka yang sulit untuk diungkap dan mungkin tak dapat terungkap, aku memahami perasaan yang membebani hati mereka.

Dengan tekun dan penuh empati, aku membantu mereka menjalani perjalanan emosional yang tak selalu mudah. Bagi mereka aku adalah tempat paling aman untuk membuka hati, tanpa takut dihakimi atau diremehkan.

Aku tidak hanya mendengarkan, tapi aku juga mencari akar permasalahan dan menyediakan alat dan strategi untuk mengatasi masalah emosional mereka. Aku berusaha untuk membantu mereka melihat sisi lain dari kenyataan, mengajak mereka untuk merenung dan menerima perasaan yang telah mereka tahan begitu lama.

Sejak kecil, aku selalu diajari untuk menjadi kuat dan tegas dalam menghadapi kehidupan, aku akan tetap tegar dengan segala cobaan dan ujian yang datang. Setiap kali aku merasa sedih, marah, atau takut, aku akan menahannya dan menyembunyikannya di balik senyuman palsu. Aku merasa bahwa menangis atau menunjukkan kelemahan adalah sesuatu yang tak pantas di depan orang lain walaupun hatiku terluka, hingga saat ini dengan profesiku sebagai seorang psikolog.

Suatu hari, saat aku sedang memberikan sesi terapi kepada seorang klien yang mengalami depresi berat, klienku bertanya dengan tatapan hampa, "Apakah pantas aku menangis di hadapan manusia, Sarah? Aku merasa sangat malu dengan masalah yang menimpaku saat ini."

Mendengar pertanyaan itu, Aku merasa seperti cermin yang menggambarkan kehidupanku sendiri. Aku tersentak, dan tersadar bahwa banyak orang merasa seperti klienku, termasuk diriku sendiri. Dengan hati yang tulus, aku menjawab, "Menangis bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk menghadapi dan merayakan perasaan kita. Jangan takut untuk mengekspresikan emosimu, karena kita adalah manusia." Hanya kalimat itu yang terlintas dibenakku, aku ragu, apakah jawaban itu tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun