Aku duduk termenung memandangi layar ini sejak pagi tadi, sudah dua gelas kopi menemaniku hingga matahari lelah berpijar, sinarnya masih terlihat indah menembus jendela yang masih terbuka lebar, aku hidup di sebuah kota kecil yang sunyi, aku belum layak dipanggil seorang penulis, meskipun sejak kecil, aku selalu memiliki hasrat besar untuk menulis, aku menghabiskan hari-hariku mengeja kata-kata disetiap kalimat dari buku-buku yang berbaris dilemari milik kakekku ketika aku baru mengenal kata, menciptakan dunia-dunia baru dengan imajinasiku. Namun, belakangan ini, kegairahanku dalam menulis mulai memudar.
Aku terjebak dalam ruang hampa dan gelap, aku merasa kata-kata itu tidak lagi memiliki makna yang dalam, bagiku kata-kata itu seperti susunan kalimat saja tidak lebih. Setiap kali aku duduk di depan layar laptop, jari-jariku membeku dan pikiranku kosong. Tulisan-tulisanku yang dulu hidup dan penuh warna, kini terasa hambar dan tanpa jiwa. Aku kehilangan hasrat, dan sangat menyedihkan.
“Ben…”
“Ben…”
“Ben…”
“Bendri…”
“eh… ya…” jawabku dengan ekspresi terkejut.
“bengong aja lu… kapan ini mau dianter?” sahut bosku.
“ssseeekaarranng bang” langsung ku sambar paket-paket itu segera berlari menuju motor, untuk mengantarkan paket ke alamat rumah yang tertera. Aku bukan seorang penulis, aku seorang kurir, namun apakah salah seorang kurir ingin menulis, aku memang tidak pernah ikut lomba menulis sejak SD sampai aku lulus SMA, tapi aku sering menulis di sebuah buku yang kini sudah lapuk dimakan rayap.
“eh…, tunggu, tunggu…” bosku memanggil ketika aku bergegas mengambil barang itu.