(3) Di komunitas eksternal mahasiswa dalam sistem kemasyarakatan, coba introspeksi, seberapa tanggapnya mahasiswa terhadap kesenjangan-kesenjangan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Adakah mahasiswa menggugat secara santun, tegas tapi tuntas atas kebijakan-kebijakan pemerintah atau tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang di daerahnya. Sebagai contoh besar, apa sikap tegas dan hasil teriakan mahasiswa atas tidak beresnya rehap-rekon korban tsunami Aceh, atas runyamnya pengelolaan fasilitas publik (seperti air bersih, listrik hidup terus, dan jalan mulus terurus), dan, atas 'meukeulieb-nya' penegakan hukum, baik hukum syariah (syari'at Islam) maupun hukum positif. Apa tindakan mahasiswa atas tindakan orang-orang yang jelas-jelas secara kasat mata melanggar hukum (misalnya pejabat yang korup, anggota dewan yang malas, guru/dosen yang bolos, paramedis yang ceroboh, pengusaha yang nakal, supir yang ugal-ugalan, pedangang yang curang).
Meminjam lirik seorang sastrawan, "Kita memang telah melakukan apa yang kita bisa, tapi kerja belum selesai, belum apa-apa'. Mahasiswa dalam beberapa kasus telah menggugat; melakukan aksi dan orasinya. Namun, gaung aksi dan orasinya terkalahkan dengan 'kebisingan-kebisingan' yang semu hingga terdiam dan beku bagai debu di pinggir jalan raya. Mereka 'terbungkamkan' dengan 'gertakan-gertakan sambal' sang penguasa. Mereka 'terhijaukan matanya' dengan 'iming-iming' yang halutinatif.
Akhirnya, kita sangat berharap idealisme mahasiswa tercerahkan kembali sehingga mereka bisa sense of crisys; respektif melihat, mencermati, dan bertindak terhadap sesuatu secara ideal demi sebuah perubahan yang positif menuju masyarakat yang bermartabat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H