Dalam pikiran orang yang normal, melakukan hal yang bersifat kontroversial bukanlah catatan yang masuk dalam agenda to do list. Beberapa individu yang sering kita lihat dengan sadar sengaja melakukan hal-hal kontroversial demi tujuan tertentu jelas bukan termasuk dalam kategori ‘orang normal’ di atas.
Bagi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sosok yang sering dianggap kontroversial, keadaan lah yang sesungguhnya membuat ia terlihat lain daripada yang lain. Falsafah hidupnya yang senantiasa memegang teguh nilai-nilai kejujuran membuatnya acap terlihat kontroversial ditengah maraknya kemunafikan dan pragmatisme.
Sebagian menyebutnya magnet kontroversi, sebagian lagi menyebutnya terlalu ceplas-ceplos, dan ada juga segelintir yang menuduhnya tukang cari sensasi. Apapun itu, yang jelas tiap komentar dan ucapan yang meluncur dari mulutnya senantiasa menjadi santapan empuk bagi awak media.
Sempat ditasbihkan sebagai tokoh kontroversial oleh salah satu media tanah air, ahok memang beberapa kali mengguncang publik melalui sikap dan juga komentarnya terhadap isu-isu krusial di Jakarta dan juga nasional. Pihak yang ingin mencoba memancing di air keruh biasanya memanfaatkan sesuai kepentingan mereka dengan menciptakan isu yang memutarbalikkan fakta dan intisari dari pernyataan ahok.
Satu contoh aktual adalah isu bahwa ahok menuduh warga yang menempati waduk Pluit yang tidak setuju direlokasi sebagai komunis. Isu ini menjadi bertambah panas dengan berbagai komentar kurang penting dari pihak-pihak pencari panggung dengan berbagai motivasinya.
Dari sisi Ahok sendiri, ia telah mengklarifikasi tudingan tersebut. Menurutnya, ia tidak pernah menyebut warga yang menempati waduk pluit sebagai komunis, yang ia sebut sebagai komunis adalah pemikiran bahwa warga yang menolak direlokasi ke rusun milik pemerintah berhak meminta ganti rugi materi atau lahan karena penggusuran tersebut (berita video: http://www.youtube.com/watch?v=Cjhgv3IUZvE )
Menurut Ahok, ganti rugi tersebut tidak bisa dilakukan karena waduk pluit merupakan tanah negara. Jika memaksakan ganti rugi, maka sama saja seperti menghalalkan penjarahan tanah negara oleh warga. Apalagi proses normalisasi waduk pluit sangat vital bagi upaya penanggulangan banjir yang tiap tahun mengancam Jakarta wailayah sekitar. Maka pendudukan waduk pluit bukan hanya menjarah tanah negara, namun juga menghalangi upaya pencegahan bencana yang vital bagi kehidupan jutaan warga. (sumber: liputan6 dotcom )
Ahok memberi sebuah ilustrasi: apabila seseorang membangun rumah atau ruko miliknya dan melanggar ketentuan tata ruang, lalu didatangi dinas P2B (pengawasan dan penertiban bangunan) dan dilakukan penertiban sehingga bangunan tersebut harus dibongkar. Apakah dinas P2B wajib mengganti biaya kerugian pemilih rumah tersebut? Tentu tidak, karena telah melanggar peraturan, walaupun tanah tersebut tanah milik pribadi. Di kasus waduk pluit yang notabene tanah negara, jelas sulit diterima jika warga menuntut ganti rugi. Apalagi atas nama kemanusiaan sesungguhnya Pemprov DKI telah menjanjikan kepada warga untuk direlokasi ke Rumah susun. Dan faktanya adalah sebagian warga waduk pluit telah pindah ke rusun, sebagian lain yang merupakan warga pendatang juga dengan kesadaran sendiri pulang kembali ke kampungnya.
Disini jelas bahwa langkah yang ditempuh Pemprov DKI bukan bernafaskan komunis dalam konteks bagi-bagi lahan negara, namun juga bukan kapitalis yang menggusur warga untuk dijadikan area komersil tanpa sedikitpun memperhatikan nasib warga yang tergusur. Normalisasi waduk pluit ini merupakan contoh nyata kebijakan khas Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dimana sekelompok warga harus rela berkorban demi kepentingan rakyat banyak, dan pemerintah walaupun itu adalah tanahnya namun tetap punya kewajiban sosial untuk memastikan rakyatnya tidak terlantar begitu saja.
Disinyalir, kericuhan yang terjadi adalah akibat campur tangan oknum LSM yang sebelumnya telah mengajukan proposal pembagian lahan. Bahkan ahok sempat bergurau dengan “menantang” oknum LSM tersebut untuk menduduki lahan Monas, agar nanti pemerintah terpaksa bagi-bagi lahan monas tersebut ke warga, “lumayan kan emas monas bisa kita bagi-bagi’ sindirnya. (sumber: merdeka dot com )
Serangan lain juga datang dari Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang mengatakan bahwa ahok sakit jiwa. Sudahlah, mungkin ini hanya sekedar ungkapan frustasi dari seseorang yang terancam kehilangan pekerjaan apabila normalisasi waduk pluit terealisasi dan ancaman banjir dapat berkurang.
Berbicara mengenai komunisme jelas harus hati-hati, karena terkait dengan sejarah kelam bangsa. seperti dilansir oleh MERDEKA, bahwa sejarah telah mengajarkan kita bahaya aksi seperti ini. Tahun 1960an, Partai Komunis Indonesia dan underbouwnya Barisan Tani Indonesia (BTI) seringkali mengkampanyekan isu tanah untuk rakyat.Sering terjadi aksi perebutan tanah milik tuan tanah atau para kiai yang memiliki tanah luas untuk dibagikan pada penggarap lahan.
Selain itu juga sering terjadi Perebutan lahan antara pemerintah dan para aktivis tani atau antar petani dengan tuan tanah. Seperti yang terjadi di daerah Jengkol, Kediri, Jawa Timur tahun 22 November 1961. Dan satu peristiwa kelam, yaitu peristiwa Bandar Betsy di Simalungun, Sumatera Utara. Ribuan petani menyerobot tanah milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Mereka menanam pohon pisang di area milik negara. Provokasi dan situasi panas disana menyebabkan kericuhan dan jatuh korban jiwa seorang anggota TNI, Pelda Soejono. Kejadian ini merupakan awal rivalitas yang meruncing antara PKI dan TNI AD, yang peristiwa demi peristiwa setelahnya kemudian tercatat sebagai sejarah kelam Bangsa Indonesia. (sumber: merdeka dotcom)
Kembali ke kasus waduk pluit, berbagai alasan yang sering dikemukakan warga yang menolak direlokasi ke rusun adalah keberatan warga atas kewajiban sewa dan juga jarak yang jauh dengan tempat kerja. Pertama masalah sewa, bila kita merunut ke kasus warga korban banjir yang direlokasi ke rusun marunda, Mereka dikenakan tarif sewa rusun subsidi sebesar Rp 128.000-159.000 per bulan (di luar biaya air dan listrik). Biaya tersebut sesungguhnya bukanlah biaya sewa unit, karena harga sewa unit rusun marunda berdasarkan peraturan (Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012) jauh lebih tinggi dari nilai tersebut. Nilai sewa yang dibebankan ke warga rusun sesungguhnya ibarat uang urunan untuk bersama-sama menjaga kebersihan dan ketertiban rusun. Apalagi sesungguhnya warga yang selama ini tinggal di waduk pluit juga bukannya bebas dari iuran, mereka ini menyewa dari oknum-oknum perebut lahan yang kemudian membangun rumah kos/kontrakan lalu disewa ke warga yang sekarang ini menjadi penghuni. Jadi sesungguhnya dengan pindah ke rusun, mereka membayar resmi ke pemerintah, bukan ke oknum. Aspek legalitasnya juga jauh lebih terjamin. Di beberapa kasus malah warga diuntungkan karena tarif sewa justru lebih murah. Simak saja testimoni Sarmi (35), penghuni Blok 7 Klaster B Rusun Marunda seperti dilansir KOMPAS: “Saya kena Rp 128.000 per bulan karena saya di lantai 5. Tarif itu lebih murah dibandingkan kamar kos di Muara Baru (Penjaringan) ukuran 3 x 7 meter Rp 500.000 per bulan" (sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/08/11243924/Masa.Gratis.Rusun.Marunda.Segera.Berakhir )
Kedua, masalah jauh dari tempat kerja. Sekali lagi kita merunut ke kasus relokasi warga ke rusun marunda. Disana Dinas perhubungan Pemprov DKI telah menyiediakan bus dan kapal cepat rute Marunda-Muara Baru dengan tarif yang relatif terjangkau. Dan untuk warga yang berusaha di sektor informal (berjualan kelontong), rusun marunda yang ramai jelas merupakan peluang pasar yang lebih prospektif dibanding kawasan waduk pluit yang kumuh. Sehingga dua alasan tersebut sesungguhnya mentah dengan sendirinya.
Kecuali kalau alasan yang sebenarnya adalah hilangnya mata pencaharian oknum warga yang menyewakan rumah yang dibangun di atas tanah negara. Kalau itu, emang nggak ada obatnya, bro…
Atau tuntutan relokasi harus di sekitar waduk pluit, tidak boleh jauh dari lokasi asal. Ini absurd, siapa yang mau membayari pembebasan tanah di sekitar waduk pluit untuk lalu dibangun rusun? Padahal ada rusun milik pemda yang bisa langsung digunakan. Jika mereka memaksa syarat tersebut, apakah andai jika ada warga menduduki monas, lalu pemerintah wajib merelokasi ke wilayah sekitarnya? Jadi harus membangun rusun di merdeka utara, gitu? Brilian sekali, mungkin saya juga akanrela disebut komunis jika itu membuat saya berkesempatan mendapatkan unit rumah di sebelah Istana Negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H