Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Kholidin
Muhammad Iqbal Kholidin Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Pemerintahan

Jangan Menghamba pada Diam!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kita Semua Korban Oligarki!

31 Maret 2021   13:00 Diperbarui: 31 Maret 2021   13:02 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari dulu hingga sekarang, negara tercinta kita ini tak pernah berhasil keluar dari masa transisi yang tak berkesudahan. Pintu satu tertutup, terbukalah pintu lain. Banyak faktor yang mempengaruhi transisi negara selalu diam di tempat dan salah satu faktor utamanya ialah oligarki yang terus bercokol pada pemerintahan.  Oligarki ibarat air yang mengikuti wadah, bertransformasi ke berbagai bentuk, mengikuti zaman, selalu berposisi aman sambil menaklukan sistem yang sudah seringkali di perbaiki. Atau, memang sistem ini (sengaja) tidak pernah di perbaiki?

Negara atau kita sebut saja pemerintah seharusnya berperan melindungi hak warganya, menjadi malaikat pelindung yang menjaga hak-hak dasar masyarakat dan mengupayakan kesejahteraan bagi berbagai pihak. Namun realita yang terjadi, seakan lupa, pemerintah seringkali abai akan peran yang dia emban. Mereka memang mengupayakan kesejahteraan, namun kesejahteraan dengan berbagai syarat dan hanya berdampak pada segelintir pihak. Hingga hari ini, nyatanya pemerintah seringkali menimbulkan kebijakan yang membuat riuh publik karena tidak berorientasi pada kebaikan rakyat.

Demonstrasi besar-besaran elemen masyarakat selalu ada, menuntut keadilan. Dimulai dari revisi UU KPK, RKUHP, Wacana Amandemen UUD 1945, hingga Omnibus Law dan banyak pasal serta kebijakan kontroversial seringkali muncul ibarat “bola panas” yang hadir dalam negara.

Padahal sejatinya, menurut filsuf, Jean-Jacques Rousseau mengemukakan, negara yang mengklaim dirinya menganut politik demokrasi sudah seharusnya menciptakan kebijakan dan wacana politik yang mengedepankan “Kebaikan bersama” yaitu kebaikan warga negara.

Realita yang ada, pemerintah seakan-akan belum mampu (atau memang sengaja) untuk mengakomodir kepentingan warganya. Negara diharapkan untuk mendistribusikan keadilan secara merata, namun alih-alih keadilan, masyarakat seringkali mendapat kepahitan yang mengancam hak mereka. Pemerintah memang hadir, namun dalam konteks hanya membutuhkan suara masyarakat sebagai alat politik yang mereka gunakan dalam “pesta” demokrasi yang dijalankan untuk kepentingan mereka sendiri.

Bangsa ini tak pernah lupa, dahulu Bapak oligarki berkuasa sangat lama. Menghadirkan ilusi kemajuan dalam kepemimpinan yang ia pimpin hingga tumbang di akhir. Ketika hegemoni Orde baru terasa surut. Rakyat menganggap pintu oligarki telah tertutup. Bayangan akan demokrasi ideal yang akan dijalankan di orde berikutnya yaitu reformasi, akan terbentuk. 

Namun bayangan tersebut ibarat mimpi di siang bolong. Oligarki nyatanya bertransformasi, ke bentuk paling mutakhir, berubah bentuk menjadi sekrup sekrup demokrasi ideal yang membuat demokrasi itu tak ideal kembali. Oligarki mengakar dan berubah ke bentuk baru berupa partai politik, pemilu dan parlemen. Politik biaya tinggi yang muncul seakan-akan menjadi ladang subur perkembangbiakan oligarki tersebut. Dan semua hal itu semakin menggila hingga hari ini.

Oligarki ibarat pemain belakang layar, mengatur semua lini secara halus, terstruktur dan massif. Ketika oligarki berjalan, sejatinya semua elemen menjadi korban. Sisi sosial masyarakat menjadi terganggu, hak-hak manusia terancam, kebebasan bersuara dan memberikan kritik tergadai, demokrasi hanya sekadar teori, apalagi ekonomi, hei, sebagai faktor penting penggerak oligarki itu sendiri, ekonomi ini terkena dampak secara luar biasa.

Mari sebelum jauh membahas mengenai dampak, mungkin kita harus bertanya kenapa oligarki bisa muncul dan eksis hingga hari ini?

Menurut Profesor di Northwestern University yaitu Jeffrey A Winters, mendefinisikan oligarki sebagai politik pertahanan oleh pelaku yang memilki kekayaan materiil (Oligark). Hal ini bisa terjadi karena menurut beliau dalam tulisannya yaitu Oligarchy and Democracy in Indonesia, dari semua sumber daya kekuatan politik di Indonesia, kekuatan materiil atau kekayaan sejauh ini adalah yang paling terkonsentrasi, serbaguna, tahan lama dan sulit untuk bisa dibatasi. Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa keterkaitan oligarki dengan penguasaan terhadap sumber keuangan begitu erat. Jika kita ulik bahkan, banyak kebijakan kontroversial seringkali berhubungan dengan sektor ekonomi.

Kita bisa memahami nahwa kuatnya pengaruh oligarki di Indonesia sendiri sangat kental terasa. Hal ini diakibatkan oleh politik biaya tinggi. Ketika para politisi yang ingin ikut konstelasi politik harus memiliki modal yang banyak dan modal ini hanya bisa didapat dari para pemiliki modal ataupun oligark. Idealis mereka terikat dengan modal yang mereka terima dan akhirnya terbelenggu karena modal tersebut tak mungkin diberikan tanpa syarat tertentu.

Hal ini lah yang membuat dampak dari berjalannya oligarki begitu mengkhawatirkan dan meresahkan. Ketika oligarki berselingkuh dengan demokrasi dan elit poltik, timbulah malapetaka yang mengakibatkan seluruh elemen masyarakat dan lingkungan terdampak. Dan hal ini secara realita sudah terjadi sejak lama dan terus berlangsung hingga sekarang.

Para elite politik berselingkuh dengan pemilik kuasa materiil menghadirkan oligarki yang meresahkan. Para oligark ini secara membabi buta meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka tak heran, indeks kemiskinan kita meningkat, kriminalisme semakin marak, lingkungan pun semakin rusak. Lingkaran setan ini tak pernah berhenti selama perselingkuhan tersebut terus berlangsung dan politik uang masih eksis di panggung.

Lantas apakah kita hanya diam? Oligarki memang sulit untuk dihilangkan, namun, tentu masih bisa dilawan dan diperkecil ruang lingkupnya. Tidak mustahil selama seluruh masyarakat bekerja sama serta saling melengkapi, menghindari konflik horizontal, menghilangkan egosentris yang ada dan menyadari perannya masing-masing. Sekalipun suara kebenaran terus dbungkam, sejatinya kita tetap harus melawan dalam diam. Karena kebenaran takkan mati dan sekalipun ia sekarat, kebenaran akan terus berlipat ganda dan hidup meskipun dalam bayang -bayang.

Walaupun terdengar sangat normatif, apakah pernah ada solusi lain?

ah keparat! 

Rakyat selalu berteriak sampai serak namun tetap saja hingga hari ini pemegang kuasa terasa seperti sedang tertimbun didalam lapisan kerak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun