[caption id="" align="aligncenter" width="553" caption="Situ Lengkong, Panjalu, Ciamis, Jawa Barat"][/caption]
Puluhan peziarah sedang merapal tahlil dan doa. Mereka khusyuk duduk di depan makam Raden Adipati Hariang Kencana atau Sayyid Ali Bin Muhammad Bin Umar atau Mbah Panjalu. Lantunan doa peziarah menghalau kesunyian hutan Nusa Gede yang lebat. Sebuah makam penyebar Islam di tanah Sunda dengan kain penutup putih dan hijau yang dikelilingi pagar tembok berongga menjadi tujuan peziarah berkunjung ke Nusa Gede di tengah Situ Lengkong Panjalu Ciamis.
Situ Lengkong adalah sebuah danau kecil seluas 57,95 hektar di daerah Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Di tengah situ, Nusa Gede seluas 9,25 hektar seperti tertidur abadi dengan hamparan hutan lebat dan perawan selama berabad-abad. Kelebatan hutan Nusa Gede menjadi makam bersemayam abadinya Raja-raja Kerajaan Panjalu. Dulunya, Nusa Gede merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu.
[caption id="" align="alignright" width="363" caption="Tangga menuju makam. Menembus hutan. @iqbal_kautsar"][/caption] Hawa sejuk menerpa badan takala saya berada di dalam hutan Nusa Gede. Puluhan tangga yang harus dilewati tak terasa karena kesejukannya ibarat morfin penghalau lelah. Terlebih kicauan burung yang berasal dari pohon-pohon tinggi seperti menyemangati saya menuju pusara makam di tengah hutan.
“Assalamu’alaikum”. Saya dan sepupu saya mengucapkan salam kepada juru kunci makam dan para penghuni kubur. Saat itu, pengunjung makam hanyalah kami berempat. Kami duduk di sebelah selatan makam. Di depan kami ada tulisan doa dan tata cara ziarah. Kami pun mulai berdoa dengan dipimpin sepupu paling tua.
[caption id="" align="alignright" width="363" caption="Kealamian hutan Nusa Gede. @iqbal_kautsar"][/caption] Setengah perjalanan kami berdoa, bangunan rumah berkeramik putih ini tiba-tiba ramai dengan puluhan peziarah. Sepertinya sama seperti kami, datang dari luar Sunda. Dari dialek bahasanya, mereka adalah peziarah dari Jawa Timur. Tanpa banyak komando, sang pemimpin rombongan langsung memimpin tahlil dan berdoa kepada Allah.
Makam Mbah Panjalu ini sontak gegap gempita dengan alunan doa. Saya sudah selesai. Tetapi antusiasme alunan peziarah membuat saya bergetar. Larut bersama mendoakan Wali Allah penyebar Islam di tanah Sunda dan ber-tawasul kepadanya.
[caption id="" align="aligncenter" width="507" caption="Pengunjung memenuhi ruangan makam Mbah Panjalu. @iqbal_kautsar"][/caption]
Kerajaan Panjalu, Kerajaan Islam Sunda
Terjadinya Situ Lengkong Panjalu, tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Panjalu. Konon sekitar abad VII, hiduplah seorang raja Panjalu bernama Prabu Sanghyang Boros Ngora. Dia memimpin Panjalu dengan adil dan bijaksana sehingga sangat dicintai rakyatnya. Boros Ngora pada waktu itu beragama Hindu dan kerajaan Panjalu adalah kerajaan Hindu.
Suatu waktu, Boros Ngora berkelana dengan maksud mencari ilmu pengetahuan. Sampailah di sebuah tempat yang di sekitarnya terdiri dari bebatuan dan pasir. Rupanya tanah yang diinjaknya itu adalah tanah suci Mekkah. Di sanalah ia berguru kepada Sayyidina Ali r.a., yang dikenalnya sakti mandraguna. Prabu Sanghyang Boros Ngora pun menguasai ilmu sejati yakni agama Islam yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat.
Setelah itu, dia pulang membawa oleh-oleh dari sahabat Nabi berupa pakaian kehajian, pedang dan air zam-zam. Air zam-zam dibawanya dalam sebuah gayung yang permukaannya bolong-bolong pemberian ayahnya Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Dengan izin Yang Maha Kuasa ia dapat membawa air zam-zam itu pulang ke tempat asalnya, Panjalu.
Setibanya di Panjalu, air zam-zam itu ditumpahkannya di sebuah tempat yaitu Lembah Pasir Jambu. Sampai saat ini diyakinilah bahwa Situ Lengkong Panjalu terjadi karena tumpahan air zam-zam yang dibawa Sanghyang Prabu Boros Ngora. Di tengah-tengah danau terdapat daratan yang dinamai Nusa Gede.
[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Keabadian hutan di Nusa Gede. Tak terjamah. @iqbal_kautsar"][/caption]
Sejak saat itu, Sanghyang Prabu Boros Ngora mengislamkan kerajaan Panjalu. Dia menyebarkan agama Islam kepada rakyatnya. Kemudian, dia turun tahta dan digantikan putranya yaitu Hariang Kencana. Prabu Hariang Kencana lalu meneruskan syiar Islam seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Hasilnya agama Islam berkembang kian luas di Panjalu dan sekitarnya, tanah Sunda.
Prabu Harian Kencana arif dan bijaksana memerintah Panjalu sampai wafat dan dimakamkan di Nusa Gede, di tengah Situ Lengkong. Adapun Boros Ngora adalah sosok yang selalu ingin berkelana sehingga sampai wafatpun tak diketahui di mana dia meninggal dan di mana pula ia dimakamkan. Tak satu orangpun tahu dimana letak makam Boros Ngora. Ini sesuai dengan amanat sewaktu dia masih hidup. “Siapa saja putra dan para cucuku kelak tidak usah tahu di mana aku dikubur”.
Saat ini, selain makam, peninggalan Kerajaan Panjalu bisa ditemui di Bumi Alit Panjalu, yaitu sejenis museum tempat menyimpan benda bersejarah peninggalan Panjalu. Di Bumi Alit ini, bisa ditemui pedang pusaka yang diberikan Sayyidina Ali r.a kepada Prabu Sanghyang Boros Ngora. Terdapat juga pusaka lain seperti cis semacam dwisula, keris, kujang, dll. Letak Bumi Alit dari Situ Lengkong Panjalu hanya berjarak sekitar 500 meter saja.
Mengelilingi Situ Lengkong
[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Salah satu dermaga menuju Nusa Gede. @iqbal_kautsar"][/caption]
“Untuk menuju Nusa Gede, makam Prabu Dipati Arya Kencana, pengunjung terlebih dahulu harus menaiki perahu dayung mengelilingi Situ Lengkong” jelas Mamat, seorang nahkoda perahu dayung tatkala saya ingin menyewa sebuah perahu dayung di dermaga tepi Situ Lengkong.
Sewa satu perahu seharga Rp 125.000,-. Biaya perahu bisa juga dihitung per orang yakni Rp 5.000,-, dengan catatan perahu akan berangkat setelah terisi penuh 25 orang. Saya beruntung, ada rombongan dari Padang yang juga akan berkeliling Situ Lengkong. Kami share biaya perahu. Tak perlu menunggu lama, kami langsung memulai perjalanan di air Situ Lengkong.
[caption id="" align="alignright" width="363" caption="Seperti kayuhan sepeda. @iqbal_kautsar"][/caption] Mamat, sang nahkoda terlihat bersemangat mengayuh pedal. Perahu ini dijalankan bukan menggunakan mesin tempel. Namun, menggunakan mekanika gerak yang ditimbulkan dari kayuhan pedal layaknya mengayuh sepeda. Disediakan juga dayung. Terlihat beberapa penumpang mendayung, seakan-akan ikut membantu gerak perahu. Padahal, perbuatan demikian hanya sekedar merasakan sensasi naik perahu dayung saja. Tetap saja, perahu bergerak karena kayuhan sang nahkoda. [caption id="" align="alignright" width="363" caption="Gerbang Nusa Gede. Menuju makam. @iqbal_kautsar"][/caption] Sampailah di pendaratan Nusa Gede. Sebuah gerbang bergapura, bertembok putih dengan hiasan cat warna hijau. Ada prasasti bertuliskan bahasa Sunda di kedua sisi tembok gapura itu. Tampak juga ada dua patung harimau di depan gapura, seakan-akan merekalah penjaga gerbang Nusa Gede. Konon, harimau ini memiliki kaitannya dengan sejarah Panjalu. Keduanya dikenal sebagai mitos Maung Panjalu. Yang satu adalah jantan: Bongbang Larang, yang satu adalah betina: Bongbang Kancana. Jarak dari dermaga perahu sampai gapura Nusa Gede sebenarnya tak jauh, hanya sekitar 200 m.
Dari belasan penumpang itu, hanya saya dan sepupu saya yang berziarah di makam. Sisanya sekedar mengunjungi Nusa Gede untuk menikmati lebatnya hutan. Menikmati kicauan burung-burung yang saling bersahut-sahutan.
Perjalanan pulang ke dermaga adalah paling dinantikan. Setidaknya oleh sebagian besar rombongan. Pulang berarti mengelilingi sebagian besar Situ Lengkong. Berada di atas perahu tentu mengasyikkan sembari menikmati pemandangan Situ Lengkong dengan perbukitan-perbukitan hijau yang terhampar mengelilinginya. Beberapa kami berpapasan dengan perahu lain. Ketika mereka tersenyum, kami pun berbalas senyum.
Pada suatu momen, kami takjub dengan burung-burung kecil yang keluar dari hutan Nusa Gede. Dari perairan, hutan Nusa Gede kelihatan sangat lebat. Dia kelihatan perawan, tidak terlihat sejengkal tanah bekas tebangan.
Selain sebagai tempat dikeramatkan, Nusa Gede adalah hutan lindung yang ditetapkan sejak zaman Belanda. Pada tanggal 21 Februari 1919, dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Besluit van den Gouverneur-Genreaal van Nederlandsch Indie) nomor 6 tahun 1919, hutan Nusa Gede menjadi hutan lindung. Oleh karena itu, Nusa Gede pun senantiasa alami sepanjang zaman. Setidaknya ada 30 jenis pohon berdiri kokoh mengabadikan Nusa Gede dengan beberapa jenis margasatwa sebagai penghuninya.
Di tengah air situ, saya tergiring pandangan oleh seorang penduduk yang sedang menjala ikan dengan sampan mungilnya. Dia berkali-kali mencoba tapi sepertinya belum berhasil. Namun, dia tetap sabar dan tawakal. “Di Situ Lengkong, banyak ikan mujair, nila dan bawal. Namun, sekarang sudah tak melimpah seperti dulu” kata Mamat.
[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Seorang penduduk setempat sedang menjala ikan di Situ Lengkong. @iqbal_kautsar"][/caption]
[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Memancing di sekitar Nusa Gede. @iqbal_kautsar"][/caption]
Meski begitu, Situ Lengkong tetap juga menjadi daya tarik bagi para pemancing. Begitu lah yang saya tangkap dari aktivitas pemancing di tepi daratan Nusa Gede. Mereka memancing menggunakan perahu. Rasanya, mereka begitu menikmati hobinya, walau mendapatkan ikan di Situ Lengkong tidaklah mudah. Membutuhkan kesabaran dan kecermatan.
[caption id="" align="alignright" width="363" caption="Para peziarah sedang menunggu untuk menyeberang. @iqbal_kautsar"][/caption] Setengah jam kami di atas air, mengelilingi Situ Lengkong dan Nusa Gede nya. Kami akhirnya mendarat dengan selamat. Hari sudah sore, matahari makin mendekat di ufuk barat. Namun, semakin sore, bukan semakin sepi. Malahan pengunjung semakin banyak. Semakin sore, semakin tua orang-orang yang berkunjung. Puluhan rombongan orang tua berpeci hitam, berkopyah putih, berbaju koko bagi laki-laki atau berjilbab bagi perempuan kian menyesaki dermaga. Mereka menunggu giliran menyeberang ke makam di tengah Nusa Gede.
Ternyata, Nusa Gede, Situ Lengkong, Panjalu merupakan salah satu destinasi ziarah utama di Jawa Barat bagian selatan. “Sehari pengunjung bisa mencapai ribuan orang untuk berziarah ke makam Mbah Panjalu, kebanyakan dari Jawa Timur.” pungkas Mamat sembari saya berpamitan keluar dari dermaga. Saya pun melangkah pulang dari Situ Lengkong. Membawa kesan alami dan religi.
[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Perahu dayung mengelilingi Situ Lengkong. @iqbal_kautsar"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Berpapasan dengan peziarah lain di atas Situ Lengkong. @iqbal_kautsar"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Dermaga Situ Lengkong dari atas air. @iqbal_kautsar"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H