Mohon tunggu...
Iqbal Kautsar
Iqbal Kautsar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemakna INDONESIA. Pencerita Perjalanan. Travel Blogger. \r\nwww.diasporaiqbal.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dieng Plateau, Nirwana Sunyi Anak-anak Gimbal

6 Agustus 2012   16:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:10 7431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_205132" align="alignright" width="351" caption="Telaga Merdada, salah satu kawah mati yang bermetarmofosis menjadi telaga eksotik. @iqbal_kautsar"]

13442642972013835698
13442642972013835698
[/caption]

Inilah Dieng. Kawasan yang menjadi ensiklopedi pengetahuan lengkap tentang aktivitas alam beserta manusia penghuninya. Menyediakan beragam interaksi yang sarat dengan ‘indigenousity’. Tiap lembaran Dieng adalah perpaduan penampang vulkanik alam dengan kehidupan manusia menaklukkan alamnya. Intisarinya tersurat pada aktivitas vulkanik, pesona alam, kekuatan manusia, keluhuran budaya beserta ladang penghidupannya.

Saya kini palingkan muka ke segala penjuru arah Dieng. Tak ada jenuhnya. Cakrawala saya terbentur dinding-dinding bukit Dieng yang menjulang gagah. Namun, tiap kali menghadap ke dinding-dinding Dieng, saya menangkap selalu ada romantika tentang kekuatan manusia. Ini tentang masyarakat Dieng yang dengan upaya gigihnya memberdayakan tanah Dieng. Menghidupkan Dieng. Mengubah Dieng menjadi Nirwana sesungguhnya untuk kehidupannya. Sebagai tempat yang bisa menghidupi ribuan orang.

Suatu perjuangan keras. Setiap lekuk perbukitan Dieng mereka jamah. Anugerah kesuburan tanah Dieng berhasil dikonversikan setiap jengkalnya menjadi lahan kentang, sayuran dan buah-buahan. Terciptalah ladang-ladang penghidupan tempat mereka bersandar dan berjuang .

Bahkan, itu tidak cukup. Masyarakat Dieng tak gentar menyandingkan ladang-ladangnya dengan kawah-kawah Dieng. Saya menyaksikan ladang-ladang mereka hanya sepelemparan batu dari kawah-kawah. Ini seperti sebuah kontradiksi. Batas antara ladang kehidupan dengan kawah kematian begitu dekat. Hampir tak teraba, tak berbau, tak terlihat.

Gambaran itu adalah sebuah tanda. Tatkala ditarik menuju pembacaan wilayah universal Dieng. Tanda yang menyiratkan masyarakat memandang Dieng tak lagi menakutkan. Dan, sepertinya memang demikian sepanjang usia zaman. Dieng selalu lebih baik dilihat dari sisi positif. Dieng lebih banyak memberikan kebermanfaatan.

[caption id="attachment_205135" align="aligncenter" width="550" caption="Mengkonversi gunung menjadi lahan pertanian. Bukti masyarakat menghidupkan Dieng. @jauharii"]

13442648021636379497
13442648021636379497
[/caption]

Saya berprasangka mereka melihat kawasan bencana hanyalah sebuah ketakutan berlebihan. Meski sadar bencana setiap saat bisa menerkam, masyarakat tetap tinggal laksana tidak ada gejolak di dalam perut bumi Dieng. Berpikirlah positif. Mereka adalah kaum yang percaya Tuhan, beragama Islam. Semua sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebuah takdir mereka berada. Hidup dan mati di tanah Dieng.

Lantas saya teringat ‘kesaktian’ Kyai Kolodete. Barangkali inilah bukti masyarakat Dieng benar-benar terwarisi kesaktian Kyai Kolodete, leluhurnya. Kyai Kolodete dahulu dengan kesaktiannya berani membuka tanah Dieng yang masih antah berantah. Kini masyarakat Dieng dengan ‘kesaktian jiwa raga’ teguh melanjutkan keberaniannya, memberdayakan Tanah Dieng. Sebuah amanah yang kokoh melintasi zaman. Meski irama sunyi bencana suatu saat nanti bisa nyaring bernyanyi. Iramanya bisa hadir tak terduga menghapus semua keindahan.

Namun, semoga saja tidak. Semoga utopia.

***

Dalam perjalanan pulang ke Jogja, hati terasa seperti ada yang mengganjal. Ini bukan tentang kemolekan alam Dieng. Kalau ini pasti terngiang. Pasti tak ada cukupnya mengeksplorasi alam dan budaya Dieng.

Ini tentang penasaran saya pada Kyai Kolodete. Jika memang Kyai Kolodete nyata pernah hidup dan meninggalkan jejak di Dieng, di manakah makam, petilasan atau pekaringannya?

Saya dapatkan info ada pekaringan Kyai Kolodete di puncak Gunung Kendil, salah satu puncak kaldera Dieng. Suatu referensi menarik mengungkap Dieng dari sisi lain. Inilah yang menggerakkan saya ingin kembali ke Dieng untuk keempat kalinya.

Rasanya saya perlu berziarah mengenang kehidupan Kyai Kolodete. Menemuinya. Mengenang ‘kekuatan’ menitiskan rambut gimbalnya melintasi zaman. Mengenang perjuangan dan keberanian merintis Negeri yang dikepung potensi bencana tapi tak pernah surut menciptakan pesona luar biasa.

Dan, terpenting mengenang Kyai Kolodete yang berhasil memulai yang tiada duanya di dunia ini. Menginisiasi Dieng, sebuah nirwana penuh ‘indigenousity’ yang senyap penuh kerentanan bencana.

[caption id="attachment_205018" align="aligncenter" width="568" caption="Kompleks Candi Arjuna Dieng. @jauharii"]

13442443981245074646
13442443981245074646
[/caption]

[caption id="attachment_204987" align="aligncenter" width="553" caption="Kaldera Dieng. Sisa letusan hebat masa lalu. Sekarang menjadi pusat peradaban Dieng. @jauharii"]

13442409151193843611
13442409151193843611
[/caption] [caption id="attachment_205139" align="aligncenter" width="554" caption="Papan peta wisata Dieng dari Dieng Plateau Hotel. @jauharii"]
1344266978996841000
1344266978996841000
[/caption]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun